EkonomiEsaiNasional

Pengendalian Reproduksi dan Kemiskinan: Kritik atas Kebijakan yang Bias terhadap Rakyat Miskin

×

Pengendalian Reproduksi dan Kemiskinan: Kritik atas Kebijakan yang Bias terhadap Rakyat Miskin

Sebarkan artikel ini
https://www.antaranews.com/berita/2444749/undp-indonesia-catat-kemajuan-pada-dimensi-utama-kemiskinan

Urupedia.id- Rencana kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengenai bansos bersyarat vasektomi menuai polemik. Niat baik mengurangi angka kemiskinan melalui pengendalian kelahiran justru semakin mengekspos kegagalan negara dalam mengatasi kemiskinan struktural. Kebijakan ini menyederhanakan masalah dengan menyalahkan jumlah anak tanpa menyentuh akar ketimpangan ekonomi yang lahir dari sistem kapitalistik.

Selain problematik secara nilai agama dan kemanusiaan, kebijakan tersebut menunjukkan lemahnya pendekatan negara dalam menangani ketimpangan. Alih-alih memperbaiki sistem distribusi kekayaan, negara justru mengalihkan beban kepada tubuh dan kehidupan warga miskin. Mereka kerap menjadi objek penyesuaian dan penghematan. Ketika gas langka atau harga beras dan cabai naik, rakyatlah yang diminta berhemat, sementara segelintir elit hidup nyaman tanpa beban.

Bukan hanya kali ini, ide yang mirip namun lebih ramah rakyat miskin pernah diajukan oleh mantan mantan Menko PMK era Jokowi-Ma’ruf, Muhadjir Effendi. Beliau menyarankan agar dibuatkannya fatwa pernikahan Cinderella, dimana orang kaya menikahi gadis miskin untuk memutus rantai kemiskinan.

Kabarnya ini tidak pernah terealisasi, sebab pernikahan Cinderella tidak pernah ada dalam dunia nyata, pun orang kaya jua merasa pemerintah mulai mengontrol tubuh dan kehidupan pribadi mereka, mereka bilang ini menodai nilai kebebasan pribadi yang dijamin demokrasi. Maka penolakan mereka berbuah manis, dan fatwa itu tidak ramai dibawa dalam ruang-ruang diskusi kebijakan publik.

Namun ketika kebijakan menyasar rakyat miskin, persetujuan publik dan negara seolah lebih mudah didapat. Kelompok miskin cenderung menjadi pihak yang harus terus berkompromi, bahkan dalam hal-hal mendasar seperti mengontrol tubuh mereka sendiri.

Pemerintah sering kali mengalihkan tanggung jawab struktural menjadi beban moral rakyat: saat gas langka, masyarakat diminta bersabar; ketika harga beras dan cabai naik, rakyat dianjurkan berhemat atau mengubah pola konsumsi. Di sisi lain, tidak ada tekanan serupa terhadap kalangan elite yang menikmati stabilitas dan keuntungan ekonomi. Ketimpangan ini mencerminkan bahwa arah kebijakan publik lebih berpihak pada pelanggengan kenyamanan segelintir orang, bukan pada keadilan sosial yang menyeluruh.

Padahal, data dan realita menunjukkan bahwa kemiskinan bukan karena banyaknya anak, melainkan karena ketidakadilan sistem ekonomi yang memperkaya hanya segelintir orang. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 mencatat bahwa sebesar 60% penduduk miskin bekerja di sektor informal, seperti pertanian kecil, buruh harian, dan pekerja tanpa perlindungan sosial yang memadai. Hal ini mencerminkan kemiskinan yang bersifat struktural akibat ketimpangan akses terhadap pekerjaan layak dan distribusi sumber daya.

Dan menurut laporan Oxfam International tahun 2021 bertajuk “Inequality Kills”, satu persen orang terkaya di dunia menguasai lebih dari 50% kekayaan global. Di Indonesia, laporan Oxfam dan INFID (2017) menunjukkan bahwa empat orang terkaya di Indonesia memiliki kekayaan yang setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Karena itu kebijakan vasektomi hanya akan menjadi salah satu dari sekian banyat alat represif baru dalam mengontrol rakyat miskin, bukan mengatasi ketimpangan. Bahkan di kemudian hari akan menjadi masalah baru.

Berkaca pada Jepang, rendahnya angka kelahiran justru menimbulkan kekhawatiran akan kekurangan tenaga kerja dan melemahnya perekonomian. Dari situ kita belajar bahwa populasi bukanlah musuh, tetapi bisa menjadi kekuatan ekonomi apabila didukung sistem yang adil. Sebaliknya, jika si kaya terus mengeruk sumber daya dan hanya menyisakan “donasi” untuk si miskin, maka pola ketergantungan akan tumbuh, melahirkan kemiskinan kultural

Islam membolehkan pengaturan kelahiran, namun tidak membenarkan pemaksaan dan penghentian total reproduksi dengan cara vasektomi yang hasilnya permanen. Kebijakan bansos bersyarat vasektomi bahkan dapat dikategorikan sebagai bentuk penindasan, karena menjadikan hak sosial warga bergantung pada pengendalian tubuh mereka.

Islam memandang bahwa setiap anak yang lahir ada jaminan rezeki dari Allah. Maka, tugas lanjutannya adalah mengelola bumi dengan baik dan menciptakan sistem distribusi kekayaan yang adil agar setiap ayah yang pulang mampu membawa cukup uang untuk keluarganya, agar seorang Ibu berbelanja bisa sesuai dengan kebutuhannya, agar seorang kakak mudah mendapat pekerjaan impiannya, atau adik yang tidak terancam pendidikannya.

 Islam menolak kapitalisme yang hanya menguntungkan segelintir orang dan menciptakan kemiskinan struktural yang massal. Solusi Islam bukan membatasi kelahiran, melainkan menata ulang sistem ekonomi agar berkeadilan, kepemilikan rakyat atas sumber daya dan tanggung jawab penuh negara terhadap pemenuhan kebutuhan mereka.

Sudah saatnya narasi sumbang yang menyalahkan rakyat miskin dihentikan. Bukan jumlah anak yang perlu diubah, tetapi sistem ekonomi yang diubah karena gagal menciptakan kesejahteraan yang merata. Sudah saatnya sistem ekonomi Islam mulai didiskusikan, karena ia menempatkan manusia dan keadilan sebagai pusat kebijakan.

Sudah saatnya narasi yang menyalahkan rakyat miskin dihentikan. Bukan jumlah anak yang perlu dibatasi, tetapi sistem ekonomi yang harus dibenahi. Ketimpangan ekonomi harus ditangani dengan reformasi struktural, bukan dengan pengendalian tubuh warga miskin. Pemerintah dan masyarakat sipil perlu membuka ruang diskusi kebijakan yang lebih adil, termasuk mengevaluasi sistem distribusi kekayaan, memperluas akses perlindungan sosial, dan mempromosikan ekonomi berbasis keadilan distributif.

Selain itu, sudah waktunya sistem ekonomi Islam dipertimbangkan sebagai alternatif: bukan karena identitas agama semata, tetapi karena menawarkan model keseimbangan antara hak individu, tanggung jawab sosial, dan keadilan struktural. Inilah langkah konkret untuk menciptakan kesejahteraan yang sejati, bukan sekadar kosmetik kebijakan yang represif.

Referensi