
Urupedia.id- Pada masa Orde Baru, sistem pemilihan presiden dan wakil presiden dipilih oleh DPR/MPR RI. Demikian halnya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) tingkat II dan I dipilih oleh DPRD masing-masing.
Tapi, semenjak arus reformasi yang begitu kuat pada tahun 1998, maka sistem pilpres dan pilkada tersebut diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
Awalnya bahwa pilpres yang dipilih oleh DPR/MPR dan pilkada yang dipilih oleh DPRD masing-masing itu sarat dengan money politic.
Tetapi, apakah dengan pilpres dan pilkada yang dipilih oleh rakyat secara langsung itu serta-merta praktik money politic menjadi sirna?
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Menkopolhukam Mahfud MD, pilkada tingkat II dan I hingga pilpres tersebut selalu ada keterlibatan atau kepentingan dari oligarki sebanyak 92 persen.
Lalu KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga meneliti hal yang sama, hasilnya 82 persen ada keterlibatan atau kepentingan oligarki.
Dengan demikian, desakan arus reformasi yang sangat kuat pada tahun 1998 untuk menghilangkan praktik money politic dan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) melalui amandemen UUD 1945 dengan menyelenggarakan pilpres dan pilkada tingkat I dan II secara langsung oleh rakyat menjadi gagal.
Pertama, para elite politik di DPR/MPR RI telah gegabah berani melakukan amandemen UUD 1945.
Kedua, para elite politik di DPR/MPR RI saat itu telah berdosa kepada para faunding fathers yang telah membuat UUD 1945 dengan penuh keprihatinan.
Padahal berdasarkan sila ke-4 Pancasila bahwa sistem pemilihan di negara kita berdasarkan kerakyatan atau perwakilan. Artinya, dengan melakukan penyelenggaraan pemilihan secara langsung itu telah menodai sila ke-4 Pancasila.
Padahal demokrasi yang sesuai dengan nafas kehidupan bangsa kita sesungguhnya berdasarkan kerakyatan dan perwakilan.
Lalu, bagaimana konsep demokrasi dalam tradisi budaya Jawa dan pewayangan?
Demokrasi dalam Perspektif Pewayangan Bagi Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa pada umumnya, tentu tidak asing dengan kesenian pewayangan (wayang kulit) yang telah diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 2003.
Seni pewayangan karya para leluhur orang Jawa tersebut secara umum mengisahkan dua lakon (cerita) besar, yakni cerita Ramayana dan Mahabharata.
Sesuai dengan arti dan maknanya, wayang adalah bayangan atau bayang-bayang (manusia), sehingga diharapkan melalui cerita atau kisah dalam pewayangan itu dapat dijadikan sebagai pelajaran mengenai hidup yang bermakna.
Meski cerita pewayangan tersebut identik dengan nafas Agama Hindu-Budha, tetapi Sunan Kalijaga salah seorang dari Wali Sanga telah memberi isyarat mengenai demokrasi sekitar abad XIV dengan menghadirkan tokoh punakawan atau pamomong para satriya utama yaitu Ki Lurah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Sedangkan, satriya yang dimaksud, misalnya Pandhawa; Prabu Yudhistira, Bima, Arjuna, dan Nakula-Sadewa. Pada prinsipnya Ki Lurah Semar dan anak-anaknya adalah simbol dari rakyat kecil yang mengabdi kepada bendara (tuan)-nya, yaitu para satriya Pandhawa.
Dalam hal ini, punakawan tersebut ada dua jenis, yakni;
Pertama, para punakawan bernama Ki Lurah Semar Gareng Petruk dan Bagong yang menjadi pamomong atau abdi bagi ksatria utama (protagonis) seperti Raden Arjuna, Abimanyu dan sebagainya.
Dalam hal ini peran punakawan itu sinkron dengan amar ma’ruf (mengajak kebaikan).
Kedua, para punakawan bernama Togog Mbilung dan Saraita yang menjadi abdi dalem para ksatria berwatak antagonis (jahat) yang biasanya dipresentasikan para ksatria sabrangan (dari negeri seberang).
Dalam hal ini, para punakawan tersebut memiliki peran nahi munkar (mencegah kejahatan) dengan cara mengingatkan kepada bendara-nya.
Seperti diketahui bahwa dalam pewayangan dikenal ada penguasa di jagad raya yang bermarkas di Kahyangan Jonggring Saloka yaitu Bathara Guru (Sang Hyang Jagad Pratingkah, Bathara Manikmaya).
Dalam mengemban tugasnya, Bathara Guru dibantu seorang Patih (orang kedua) bernama Bathara Narada.
Yang menjadi pembesar di kahyangan adalah para putra Bathara Guru, seperti Bathara Brama, Bathara Bayu, Bathara Wisnu, Bathara Endra, Bathara Kamajaya, dan sebagainya.
Dalam hal ini ada yang menarik berkaitan dengan silsilah Bathara Guru alias Bathara Manikmaya yang ternyata ia adalah adik dari Ki Lurah Semar (Bathara Ismaya) dan Ki Lurah Togog (Bathara Tejomantri).
Ketiganya memang bersaudara putra Sang Hyang Tunggal. Sementara Sang Hyang Tunggal putra Sang Hyang Wenang.
Sang Hyang Wenang kemudian memberikan tugas kepada tiga orang cucunya, yakni;
Pertama, Tejamantri alias Togog bertugas menemani dan membimbing para satriya dari para raksasa di muka bumi.
Kedua, Ismaya alias Ki Lurah Semar mendapat tugas menemani atau membimbing para satria utama di madyapada (bumi).
Ketiga, Manikmaya diputuskan sebagai raja di Kahyangan Jonggring Saloka dengan memimpin para dewa.
Itulah keputusan atau kebijaksanaan Sang Hyang Wenang kepada ketiga orang cucunya, putra Sang Hyang Tunggal. Lalu mereka menjalankan tugasnya masing-masing.
Dalam konteks demokrasi di tanah air, maka Bathara Guru identik dengan para elite pemimpin negeri ini, sementara Togog dan Semar merupakan pengejawantahan dari rakyat kecil.
Para pemimpin yang mewakili eksekutif, legistlatif dan yudhikatif di tingkat pusat identik dengan Bathara Guru, sedang Togog dan Semar adalah penjelmaan rakyar.
Seorang Presiden adalah mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), maka MPR merupakan penjelmaan rakyat Indonesia. Dan, berdasarkan UUD 1945, MPR merupakan lembaga tertinggi negara.
Dalam pewayangan, ketika Bathara Guru sedang menjalankan tugasnya ada kekhilafan atau dengan sengaja melakukan suatu kesalahan, maka seringkali diceritakan Ki Lurah Semar memprotes kebijakan yang salah itu.
Bukan hanya perdebabatan saja, bahkan kerapkali Ki Lurah Semar menghajar Bathara Guru yang bertindak keliru dalam menjalankan kebijakannya.
Barangkali, inilah pesan penting Sunan Kalijaga mengenai demokrasi dalam tradisi pewayangan yang telah mengakar bagi orang Jawa.
Dalam negara demokrasi, kepemimpinan tertinggi berada di tangan rakyat yang direpresentasi oleh lembaga tertinggi negara yaitu MPR (Majelis Permusyawartan Rakyat).
Semar merupakan manifestasi dan sekaligus melambangkan rakyat, sementara Bathara Guru adalah melambangkan seorang pemimpin atau penguasa (eksekutif) di jagad raya.
Ketika seorang pemimpin (Bathara Guru) melakukan suatu pelanggaran dengan mengorbankan atau merugikan para ksatria (para Pandhawa) yang bertugas memelihara kehidupan di muka bumi, maka Semar sebagai representasi rakyat menggugat hingga mengalahkan Sang pemimpin (Bathara Guru).
Dalam demokrasi pewayangan yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga tersebut, meminjam istilah Cak Nun—panggilan akrab budayawan Emha Ainun Nadjib—seperti bulatan atau berbentuk lingkaran. Tidak horisontal an-sich, tetapi juga vertikal.
Dalam hal ini, Semar yang sehari-harinya hanya menjadi lurah di padepokan Karang Kadhempel melambangkan rakyat.
Demikian halnya dengan anak-anaknya Gareng Petruk dan Bagong yang menjadi pamomong para Pandhawa beserta anak-anak mereka.
Semar beserta anak-anaknya yang hampir-hampir tak pernah luput dari tindakan jahat demi kepentingan tertentu yang dilakukan oleh Bathara Guru dan putra-putranya.
Penyelewengan kekuasaan oleh Bathara Guru dapat selalu dipantau dan diawasi oleh Semar, bahkan tak jarang Semar mengambil tindakan atau sebut aja memberi hukuman kepada adiknya Bathara Guru yang melakukan pelanggaran.
Hal itu mengisyaratkan betapa peran rakyat yang dipresentasikan oleh Semar dalam pewayangan itu sinkron dengan makna demokrasi bahwa kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.
Artinya, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi yang kemudian diwakili oleh lembaga tinggi negara DPR RI dan lembaga tertinggi negara MPR RI harus berdaya. Harus memiliki kekuatan dan kedaulatan.
Tetapi, sayangnya MPR kita sekarang ini sudah berbeda dengan yang digagas oleh para faunding fathers di dalam UUD 1945.

Oleh Wawan Susetya, Penulis adalah Sastrawan-budayawan dan pegiat Satu Pena Jawa Timur, tinggal di Tulungagung.






