
Urupedia.id- Kemudahan akses informasi melalui alat digital telah mengubah pola komunikasi tradisional menjadi lebih cepat, efisien, dan interaktif.
Tidak hanya itu, dalam era postmodern, masyarakat sangat dekat dengan media sosial dan teknologi digital yang menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari.
Jean Baudrillard, filsuf Prancis, mengembangkan konsep simulacra dan teori simulasi yang menjelaskan bagaimana dalam masyarakat modern yang sangat didominasi oleh media, batas antara realitas dan representasi menjadi kabur.
Menurutnya, realitas sosial tidak lagi murni sebagai sesuatu yang objektif, melainkan telah terdistorsi dan dimanipulasi oleh representasi media, sehingga menciptakan “kenyataan” baru yang sering kali lebih dominan daripada realitas asli itu sendiri.
Fenomena ini memunculkan konsep hiperrealitas, di mana masyarakat digital tidak hanya menerima realitas yang ada, tetapi juga aktif membentuk citra dan kepentingan ideologis melalui media sosial dan platform digital lainnya.
Setiap pengguna media digital menampilkan versi diri yang sering kali merupakan konstruksi ideal atau strategi yang dapat mempengaruhi persepsi kolektif terhadap kenyataan.
Dengan demikian, media sosial dan teknologi digital bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga arena di mana realitas diproduksi dan direproduksi secara terus-menerus dengan dimensi ideologis yang kompleks.
Pengembangan konsep ini penting untuk memahami bagaimana masyarakat kontemporer mengalami dunia yang semakin terhubung secara digital dan bagaimana realitas yang mereka alami sudah sangat dipengaruhi oleh produksi media dan teknologi digital.
Analisis Media pers Mahasiswa
Krisis legitimasi media tanpa etika merupakan fenomena kritis yang sedang melanda industri pers, termasuk pers mahasiswa, di Indonesia saat ini. Degradasi etika dalam praktik jurnalistik menyebabkan media
kehilangan kepercayaan publik dan mereduksi nalar kritis menjadi komoditas perhatian (attention).
Pers mahasiswa sebagai bagian dari ekosistem media seharusnya menjadi ruang pendidikan dan latihan kritis, namun ketika etika dilemahkan, maka peran strategis ini justru terdistorsi menjadi alat untuk menarik perhatian semata tanpa mempertimbangkan kedalaman analisis dan integritas informasi.
Krisis legitimasi media ini telah diperparah oleh tekanan ekonomi dan dominasi raksasa digital global seperti Google, Meta, dan TikTok yang menguasai pasar iklan, sehingga pendapatan media lokal menurun drastis dan menyebabkan PHK massal, juga di kalangan media mahasiswa.
Ketergantungan media, termasuk pers mahasiswa, pada iklan dan perhatian publik memaksa mereka untuk mengutamakan konten yang mudah menarik klik dan viral, bukan konten yang mendidik dan kritis.
Hal ini menyebabkan jurnalisme berubah fungsi menjadi komoditas bisnis yang mengedepankan popularitas ketimbang ketulusan dan tanggung jawab etis.
Jean Baudrillard dalam konteks ini bisa memberikan perspektif tambahan mengenai simulasi dan hiperrealitas, di mana media, termasuk pers mahasiswa, tidak hanya merepresentasikan realitas, tetapi menciptakan realitas baru yang seringkali bias dan dimanipulasi demi kepentingan ideologis dan komersial.
Akibatnya, nalar kritis yang sebenarnya harus diasah dan dikembangkan, kini justru dijual sebagai produk yang mudah dikonsumsi oleh pasar perhatian digital, mengorbankan independensi dan integritas jurnalistik.
Untuk mengatasi krisis ini, perlu ada reformasi etika dan pendanaan yang lebih transparan dan independen agar pers mahasiswa mampu menjalankan fungsi sosialnya dengan baik sebagai agen pendidikan dan pengontrol sosial.
Dewan Pers dan berbagai lembaga telah menginisiasi dana jurnalisme untuk menjaga keberlangsungan media yang kredibel dan bebas dari tekanan ekonomi-politik yang merusak.
Pendekatan ini juga penting diterapkan di lingkungan pers mahasiswa agar mereka dapat kembali berfungsi sebagai ruang kritik yang sehat dan bukan sekadar alat perebut perhatian massa.
Dengan demikian, krisis legitimasi media tanpa etika yang terjadi sekarang bukan hanya persoalan bisnis media konvensional, tetapi juga tantangan bagi pers mahasiswa dalam mempertahankan nilai-nilai jurnalistik kritis di tengah tekanan pasar dan ekspektasi komersial yang semakin menguat.
Memperkuat etika dan independensi dalam pers mahasiswa adalah langkah penting untuk melawan degradasi nalar kritis yang terjebak dalam logika komoditas attention tersebut.
Kritik atas pelanggaran etika media pers Mahasiswa
Media pers mahasiswa, yang seharusnya menjadi wadah penyebaran berita positif dan menjunjung tinggi kepentingan maslahat mahasiswa serta masyarakat luas, justru terkadang mengutamakan jumlah viewers dan atensi semata.
Kondisi ini menjadi perhatian serius yang perlu dievaluasi oleh pihak pers dengan menekankan pentingnya pengajaran etika dan prosedur jurnalistik dalam setiap proses penulisan.
Ketika nilai-nilai etika diabaikan, integritas dan kredibilitas penulis serta media itu sendiri menjadi terancam, sehingga substansi pemberitaan menjadi terabaikan.
Ketergantungan pada popularitas dan framing opini yang cenderung mengarah pada penggiringan pendapat secara kacau menyebabkan media mahasiswa kehilangan fokus terhadap fungsi utamanya sebagai agen nalar kritis dan pengontrol sosial.
Profesi jurnalis mahasiswa yang semestinya melatih analisis kritis justru terkikis oleh tekanan untuk menghadirkan konten yang sensasional demi mendapatkan perhatian lebih.
Hal ini memperburuk krisis etika yang nyata di kalangan pers mahasiswa, di mana media tidak lagi menjadi ruang edukasi tetapi berubah menjadi alat komersialisasi perhatian.
Dalam konteks ini, penting bagi lembaga pers dan pihak akademis untuk merevitalisasi pendidikan jurnalistik yang menekankan kode etik dan prosedur peliputan yang benar.
Pembinaan yang berkelanjutan dan pengawasan internal harus menjadi prioritas agar pers mahasiswa dapat kembali berfungsi sebagai media yang mendidik, kritis, dan berintegritas.
Selain itu, dukungan dari Dewan Pers dan institusi pendidikan juga sangat dibutuhkan untuk melindungi kebebasan pers mahasiswa sekaligus menjaga kualitas dan etika pemberitaan di era digital yang penuh tantangan ini.
Dengan demikian, evaluasi mendalam terhadap praktik pemberitaan pers mahasiswa mutlak diperlukan agar mereka tidak terjebak dalam perangkap mendapatkan perhatian tanpa mengindahkan substansi dan integritas jurnalistik.
Memperkuat pondasi etika dan prosedur penulisan dalam pers mahasiswa adalah langkah awal yang krusial demi keberlangsungan media yang sehat, kritis, dan berdaya guna dalam mengabdi bagi kepentingan mahasiswa dan masyarakat luas
Salah satu media pers mahasiswa terbesar di regional Tulungagung adalah akun Instagram @dimensipers milik UIN SATU Tulungagung.
Dalam beberapa postingannya, terkait masalah pemira UIN SATU, media ini seharusnya lebih memperhatikan keaktualan dan objektivitas berita sesuai dengan kode etik pers.
Bukan berbasis gosip tapi juga data kongkrit dan wacana yang kuat. Tetapi sayangnya media ini sibuk klarifikasi di komentarnya, dan segera berbenah diri untuk menata wacana yang kuat dan faktual.
Jurnalis harus bekerja secara independen, profesional, akurat, dan berimbang, serta tidak beritikad buruk. Publikasi yang hanya berupa screenshoot dari grup chat WhatsApp, misalnya, sangat bertentangan dengan etika jurnalistik dan dapat merusak kredibilitas dalam menyajikan berita yang jelas dan benar.
Kode etik pers juga menuntut kewajiban untuk tidak menyebarkan berita bohong atau fitnah, menghormati hak narasumber, menghindari penyalahgunaan profesi, serta segera melakukan koreksi apabila terdapat kesalahan.
Ketidakakuratan dan penyebaran hoaks sering kali muncul akibat tekanan untuk menjadi yang pertama memberitakan atau kurangnya proses verifikasi data. Hal ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi menimbulkan kesalahpahaman di lingkungan kampus.
Oleh karena itu, sangat penting bagi media pers mahasiswa untuk selalu menjaga integritas, menjalankan fungsi jurnalistik dengan baik, dan mematuhi kode etik demi terciptanya informasi yang dapat dipercaya dan mendidik masyarakat kampus.
Oleh karena itu, penegakan kode etik adalah harga mati bagi eksistensi Persma.
Kode etik bukan sekadar daftar aturan, melainkan kompas moral yang mengarahkan setiap aktivitas jurnalistik mahasiswa.
Upaya penegakan harus dimulai dari internal organisasi, melalui edukasi etika yang berkesinambungan, mekanisme self-correction yang ketat, dan pertanggungjawaban yang transparan atas setiap kesalahan yang dilakukan, termasuk melalui ralat.
Pers mahasiswa harus senantiasa menyadari bahwa kemerdekaan pers yang mereka nikmati datang seiring dengan tanggung jawab sosial yang besar, yakni untuk menjaga idealisme dan integritas profesional demi kepentingan publik yang lebih luas
Oleh: Gading Haryo, Mahasiswa UIN SATU






