
Urupedia.id- Jumat 28 Oktober 2025, jam 19.00 WIB, Urupedia dan Tualang Buku, Melati Sinebar, dan santri pondok pesantren nurus sabil, menggelar kajian bedah buku Mochtar Lubis, melalui esai panjang Manusia Indonesia (1977), menawarkan cermin yang tidak selalu menyenangkan tentang manusia indonesia.
Acara itu bertempat di PP. Nurus Sabil Putra Tulungagung dengan pembawa masalah bang iwan atau Iiw Kakofoni dan dipandu moderator jurnalis utama Urupedia.id Al- Fatih Rijal. Pembahasan sangat menarik jika mengangkat sosok Mochtar Lubis dalam tulisanya.
Ia menuliskan potret watak sosial-politik masyarakat Indonesia dengan gaya sastrawi yang tajam, kadang menyakitkan, namun tetap relevan untuk dibaca ulang.
Ketika politik Indonesia hari ini masih berkutat pada persoalan patronase, personalisme, hingga romantisme kekuasaan, karya itu kembali terasa aktual.
Membaca ulang Mochtar Lubis berarti menggali bukan hanya karakter manusia Indonesia, melainkan juga kebudayaan politik yang mengelilinginya.

Telaah “Manusia Indonesia” Mochtar Lubis
Mochtar Lubis memeriksa watak manusia Indonesia melalui serangkaian pengamatan sosial yang dibingkai dalam bahasa lugas.
Ia menyebut sejumlah karakter dominan: hipokrisi, feodalisme, enggan bertanggung jawab, cemas pada kebebasan, serta kecenderungan tunduk pada figur kuat.
Karakter-karakter itu tidak diangkat sebagai cacian, melainkan sebagai gejala psikologis-sosial yang tumbuh dari sejarah panjang penjajahan, pola pendidikan otoriter, dan struktur sosial yang tidak egaliter.
Meski bentuknya lebih berupa esei ketimbang penelitian akademis, teks tersebut menaruh perhatian besar pada dimensi batin manusia Indonesia—sebuah cara pandang yang jarang dilakukan pada masa itu.
Ia seolah mengatakan bahwa persoalan politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari lapisan terdalam psikologi kolektif bangsanya.
Lanskap Kritik “Manusia Indonesia” dalam Kebudayaan Politik Indonesia
Jika diletakkan dalam konteks kebudayaan politik, kritik Mochtar Lubis membuka peta masalah yang lebih luas. Ia melihat bahwa karakter manusia Indonesia tidak lahir dalam ruang kosong.
Watak paternalistik, misalnya, tumbuh dari struktur kekuasaan yang menempatkan pemimpin sebagai figur ayah—untouchable, taktis, sekaligus sakral.
Sistem politik kemudian dipenuhi pola patron-klien, budaya sungkan, dan ketaatan yang sering mengalahkan rasionalitas.
Hipokrisi yang ia kritik juga mudah ditemukan pada praktik politik elektoral: moralitas yang ditampilkan di muka publik sering berbeda dengan transaksi yang berlangsung di balik layar.
Kritik itu menjadi relevan ketika kita melihat fenomena politik uang, pencitraan kosong, atau produksi slogan moral yang tidak diikuti konsistensi perilaku.
Mochtar Lubis, dengan caranya sendiri, menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat mensyaratkan manusia politik yang matang.
Tanpa perubahan karakter sosial, prosedur demokrasi akan mudah terjebak formalitas belaka.
Politik Pembangunan dalam Lanskap Mochtar Lubis
Pada masa ketika gagasan Manusia Indonesia dipublikasikan, Indonesia berada di tengah semangat pembangunan yang sangat terpusat.
Negara menjadi pengatur tunggal, masyarakat dianggap sebagai objek yang harus diarahkan, bukan sebagai warga dengan otonomi dan kapasitas kritis.
Dalam kerangka ini, kritik Mochtar Lubis dapat dibaca sebagai reaksi terhadap politik pembangunan Orde Baru yang menuntut stabilitas melalui keseragaman.
Kecemasan terhadap kebebasan, sikap pasif, dan ketundukan pada otoritas dalam watak manusia Indonesia yang ia sebut seakan menyatu dengan model pembangunan yang top-down.
Ia mengingatkan bahwa pembangunan tanpa pemberdayaan karakter hanya melahirkan kemajuan struktural tetapi tidak menciptakan manusia merdeka.
Dengan kata lain, esai itu menyiratkan bahwa politik pembangunan memerlukan fondasi budaya politik yang kritis, egaliter, dan terbuka—sesuatu yang belum sejalan dengan praktik kekuasaan pada masa itu.
Kelemahan Mochtar Lubis dalam Buku Manusia Indonesia
Meskipun tajam dan berpengaruh, karya ini tidak luput dari kelemahan. Setidaknya ada tiga hal yang sering dikritik yakni;
Pertama generalisasi luas, Mochtar Lubis berbicara seolah seluruh manusia Indonesia memiliki sifat-sifat tertentu. Padahal keragaman sosial Indonesia sangat besar.
Ia lebih banyak menyampaikan impresi ketimbang data empiris.
Kedua minim konteks struktural, banyak sifat yang ia sebut sebenarnya merupakan konsekuensi dari struktur sosial-politik, bukan sekadar watak bawaan.
Misalnya feodalisme bisa dipahami sebagai produk relasi kekuasaan, bukan sekadar karakter.
Ketiga Nada pesimis yang dominan, kritiknya penting, tetapi kurang menampilkan ruang untuk potensi positif manusia Indonesia. Akibatnya, pembaca mudah terjebak pada pandangan bahwa bangsa ini hanya berisi kekurangan.
Namun, justru karena keberaniannya menyederhanakan dan mempertegas, karya itu menjadi provokasi intelektual yang kuat.
Membayangkan Anti-Tesa “Manusia Indonesia 2045”
Jika kita mencoba membayangkan kontra-narasi untuk tahun 2045, gambaran manusia Indonesia tidak harus mengikuti pesimisme Mochtar Lubis.
Anti-tesa itu dapat menekankan beberapa karakter baru yang mulai tumbuh di tengah transformasi sosial diantara lain;
Pertama manusia yang berdaya secara digital. Generasi yang lebih melek teknologi memiliki akses informasi luas dan lebih terbiasa berpikir kritis serta independen.
Kedua warga yang otonom dan partisipatif, yakni meningkatnya ruang partisipasi publik, dari komunitas hingga platform digital, membuka peluang lahirnya budaya politik yang lebih deliberatif.
Ketiga yakni identitas yang lebih plural dan terbuka, artinya mobilitas sosial dan interaksi lintas budaya memperkuat toleransi dan mengurangi feodalisme simbolik.
Keempat yakni etos tanggung jawab baru, dalam hal ekonomi kreatif, kewirausahaan, dan tuntutan profesionalisme memunculkan karakter yang lebih menghargai kompetensi daripada patronase.
Tentu idealisasi ini bukan jaminan, namun dapat menjadi visi alternatif, manusia Indonesia yang tidak terjebak pada karakter negatif masa lalu, tetapi bergerak menuju kedewasaan politik yang lebih matang.
Membongkar kebudayaan politik Indonesia melalui kacamata Mochtar Lubis memperlihatkan bahwa persoalan politik tidak hanya soal lembaga dan aturan, tetapi juga soal karakter kolektif.
Meski esai Manusia Indonesia lahir dari konteks sejarah tertentu, gema kritiknya masih terasa hingga kini.
Namun, membayangkan anti-tesanya untuk 2045 menjadi penting agar kita tidak berhenti pada kritik, melainkan bergerak menuju perubahan karakter sosial yang lebih konstruktif dan demokratis.
Oleh: Krisna Wahyu Yanuar, Rakyat Cilik Balerejo






