Esai

Peran Literatur Muda Terhadap Lingkungan Hidup

×

Peran Literatur Muda Terhadap Lingkungan Hidup

Sebarkan artikel ini
Seminar KOMET

Urupedia.id- KOMET adalah organisasi mahasiswa yang baru berdiri sekitar dua bulan. Meski usianya masih sangat muda dan anggotanya belum banyak, keberanian mereka patut diapresiasi karena langsung mengambil langkah besar: menyelenggarakan diskusi bertema lingkungan hidup.

Acara tersebut dipandu oleh Bela sebagai moderator, sementara para narasumber terdiri dari Bu Titik selaku pembina KOMET, Pak Harun sebagai aktivis lingkungan hidup, serta Haris Fajar yang dikenal sebagai aktivis muda Tulungagung.

Lingkungan hidup menjadi topik yang selalu relevan untuk diperbincangkan. Isu-isu ekologis berkembang begitu cepat dan menampakkan dampak nyata di sekitar kita.

Sejak abad ke-20 hingga abad ke-21, persoalan lingkungan terus menguat, dan menjelang akhir tahun 2025 ini berbagai problem tampak semakin nyata: pembukaan tambang baru, pencemaran sungai, praktik illegal logging, penggunaan plastik sekali pakai, hingga pelanggaran lingkungan yang ironisnya dilakukan oleh pihak yang seharusnya menjaga aturan.

Diskusi yang diadakan KOMET tentu menjadi langkah positif.

Namun, menurut pandangan saya sebagai salah satu peserta yang hadir, upaya tersebut tidak boleh berhenti pada satu kegiatan saja.

Masih banyak ruang literasi yang perlu dieksplorasi lebih dalam, terutama dengan mengaitkannya pada pemikiran para filsuf yang jauh sebelumnya sudah memikirkan relasi manusia dan alam dalam menghadapi arus kemajuan zaman.

Dari sinilah tantangan besar bagi KOMET sebagai komunitas literatur muda muncul. Mereka memikul peran penting untuk menggerakkan kesadaran di kalangan anak muda lainnya.

Materi yang diperoleh dalam diskusi kemarin setidaknya bisa menjadi modal awal. Salah satu gagasan yang menarik adalah tentang peran manusia dalam mengendalikan alam semesta.

Pak Ayub—salah satu peserta sekaligus alumni pesantren—menegaskan bahwa manusia adalah khalifah di bumi, pembawa amanah dari Tuhan untuk menjaga kehidupan.

Pandangan ini diperkuat oleh pemateri, Pak Harun, yang mengingatkan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan manfaat bagi lingkungan.

Bu Titik juga memberikan dukungan melalui perspektif akademiknya sebagai dosen Bahasa Indonesia sekaligus pembina organisasi.

Namun, bagi saya pribadi sebagai penulis dan pendengar diskusi, penggunaan dalil agama dalam ruang akademis perlu ditempatkan secara tepat.

Dalam kajian ilmiah, pembahasan masalah lingkungan idealnya dikaitkan juga dengan pandangan para pemikir besar.

Misalnya Hasan Hanafi dengan konsep antroposentrisme, yang memposisikan manusia sebagai pusat alam semesta. Ada pula ekosentrisme, yang menilai seluruh makhluk hidup dan benda tak hidup memiliki nilai intrinsik yang sama demi keseimbangan alam.

Selain itu, teori biosentrisme menekankan bahwa semua makhluk memiliki hak moral untuk hidup. Sementara zoosentrisme memperluas etika hingga mencakup keseluruhan semesta, bukan hanya manusia dan hewan.

Ketiga teori tersebut tidak sempat saya sampaikan dalam diskusi, namun setelah dipikirkan kembali, pandangan-pandangan itu penting untuk menambah kekayaan perspektif mengenai etika lingkungan.

Harapannya, teman-teman KOMET dapat memperluas literasi lingkungan hidup tidak hanya melalui kegiatan diskusi, tetapi juga lewat karya nyata yang mencerminkan keseriusan mereka.

Sebagai penutup, saya berharap KOMET mampu terus berkembang sebagai ruang intelektual muda yang kritis sekaligus produktif dalam isu lingkungan.

Kita menantikan kegiatan-kegiatan selanjutnya yang lebih inspiratif dan memberi dampak nyata. Terima kasih atas kesempatan dan antusiasme dalam memperkuat literasi ekologis.

Oleh: Kismita Anggota Komunitas Literasi atau KOMET

Advertisements