Esai

Pedoman Magang FTIK 2025 Dinilai Terlalu Membebani: Mahasiswa Jadi Pegawai Administrasi Dadakan

×

Pedoman Magang FTIK 2025 Dinilai Terlalu Membebani: Mahasiswa Jadi Pegawai Administrasi Dadakan

Sebarkan artikel ini

Urupedia.id- Ada satu hal yang rupanya paling dipercaya oleh pejabat pendidikan kita: bahwa mutu dapat lahir dari tumpukan dokumen.

Tahun berganti, fakultas berubah, pejabat berganti, namun keyakinan itu tidak pernah mati. Pedoman Magang FTIK 2025 adalah bukti baru dari keyakinan lama: kalau bisa dibuat ribet, kenapa harus sederhana?

Pedoman ini tidak sekadar ambisius. Ia rakus: rakus aturan, rakus lampiran, rakus form, seolah pendidikan hanya bisa berdiri jika seluruh dunia tunduk pada tabel dan tanda tangan.

Mahasiswa datang untuk belajar mengajar, tetapi pedoman menyambut mereka dengan administrasi yang cukup untuk mengelola satu kementerian kecil.

Mahasiswa diwajibkan mengisi jurnal harian, jurnal konsultasi, instrumen observasi, perangkat ajar empat sesi, laporan magang, laporan lesson study, dokumentasi foto–video, hingga lampiran-lampiran yang jumlahnya bisa membuat orang kantor pun geleng-geleng kepala. Ini bukan pedoman magang; ini maraton administratif yang dibungkus dengan nama pendidikan.

Kalau semua berkas ini disusun, mungkin tingginya bisa melewati mimbar dekan. Dan lucunya, kita masih menyebut ini “magang”, bukan “pelatihan mengarsip tingkat lanjut”.

Ketika dunia pendidikan di luar negeri sedang membicarakan inovasi pedagogis, kita sibuk memastikan format tanda tangan berada di kolom kiri atau kanan.

Lesson study?

Ah, bagian favorit pedoman ini.

Sebuah metode refleksi yang seharusnya lentur dan kolektif diubah menjadi ritual sakral wajib untuk setiap mahasiswa, dengan pengamat, kamera, evaluasi, berita acara, dan serangkaian lembar yang jumlahnya cukup untuk membuat satu kelas kehilangan oksigen.

Pedoman tampaknya benar-benar yakin bahwa refleksi itu hanya mungkin terjadi jika difoto dari tiga sudut berbeda.

Padahal sekolah bukan studio sinetron. Guru pamong bukan figuran. Mahasiswa bukan kameramen.

Tetapi pedoman seperti tidak peduli. Ia hanya menyampaikan satu pesan:

“Ikuti prosedur dulu, pikirkan esensinya nanti.”

Soal kehadiran, pedoman ini tampaknya terinspirasi dari jadwal buruh pabrik.Mahasiswa wajib hadir 23–33 hari efektif, 5–8 jam per hari, seolah mereka tidak punya kuliah lain, tidak punya tugas, tidak punya hidup.

Ini magang atau kerja paksa sukarela? Tuntutannya seperti pegawai penuh waktu, tetapi haknya seperti mahasiswa yang harus tetap “bersyukur”.

Guru Pamong dan Dosen Pembimbing Magang juga kebagian “hadiah”: daftar tugas yang panjang seperti khutbah Jumat.

Mereka harus hadir di pembukaan, observasi, perangkat ajar, empat kali praktik, lesson study, refleksi, penilaian laporan, hingga penutupan.

Dan pedoman sama sekali tidak bicara soal insentif. Mungkin pembuat pedoman mengira guru pamong hidup dari semangat pengabdian dan udara pagi.

Kita menuntut guru pamong bekerja seperti konsultan profesional tanpa membayar mereka sepeser pun. Ini bukan idealisme, tapi eksploitasi yang dipoles dengan kalimat akademik.

Puncak komedinya?

Magang Inisiatif.

Namanya terdengar bebas “inisiatif”, tetapi syaratnya lebih ketat dari seleksi beasiswa luar negeri: IPK tinggi, lembaga harus akreditasi A, minimal delapan rombel, sepuluh mahasiswa dari empat prodi, wajib luar kota, dan belum pernah bekerja sama.

Pertanyaannya sederhana: Siapa sebenarnya yang boleh ikut? Atau lebih tepatnya: siapa yang sebenarnya diminta menyerah?

Pedoman Magang FTIK 2025 memperlihatkan satu hal: kita haus kontrol, bukan kualitas. Kita mencintai prosedur lebih dari pembelajaran.

Kita bangga pada ketebalan dokumen, bukan kedalaman refleksi. Mahasiswa tidak butuh lebih banyak form.

Guru pamong tidak butuh lebih banyak lampiran.

Dosen pembimbing tidak butuh lebih banyak kewajiban. Yang kita butuhkan adalah akal sehat, entah hal itu terselip di mana saat pedoman ini disusun.

Jika magang ingin menjadi ruang tumbuh, bukan ruang tersedak administrasi, maka pedoman ini harus direvisi dari akar. Bukan ditambal, bukan diperhalus.

Harus direvisi total, dengan satu prinsip: bahwa pendidikan dijalankan oleh manusia, bukan mesin fotokopi.

Oleh: David Yogi Prastiawan

Advertisements