
Dalam narasi sejarah Indonesia, terdapat sejumlah tokoh yang berhasil melintasi batas ideologis dengan cara yang radikal tanpa mengorbankan integritas pribadi mereka. Salah satu sosok yang langka dalam konteks ini adalah KH. Achmad Dasuki Siradj, seorang ulama dari pesantren yang memilih untuk terlibat dalam jalur politik melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan tersebut tidak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga membongkar asumsi lama yang menyatakan bahwa Islam dan komunisme adalah dua kutub yang saling meniadakan.
KH. Dasuki Siradj lahir pada tanggal 23 Mei 1903 di Surakarta, dari sebuah keluarga yang menjunjung tinggi tradisi pesantren. Pendidikan awalnya diperoleh di berbagai pondok pesantren ternama, termasuk Pondok Pesantren Djamsaren di Surakarta, pesantren di Kasingan (Rembang), serta Lasem—daerah yang dikenal sebagai pusat intelektual dan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Dari latar belakang inilah, ia tumbuh menjadi sosok yang religius sekaligus peka terhadap ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat kolonial Hindia Belanda.
Perjalanan ideologis KH. Dasuki mengalami titik balik signifikan pada tahun 1924 ketika ia aktif dalam organisasi masyarakat yang memperjuangkan hak-hak buruh dan petani. Kegiatan ini dianggap subversif oleh pihak Belanda, yang mengakibatkan ia diasingkan ke Boven Digoel, sebuah kamp tahanan politik di Papua yang terkenal dengan kondisi yang sangat keras. Selama sepuluh tahun di sana, pengalaman pengasingan ini menjadi momen formasi yang krusial. Ia tidak hanya mengalami penderitaan sebagai tahanan politik, tetapi juga memperoleh kesempatan untuk melakukan kontemplasi ideologis yang mendalam. Dalam keputusasaan kolektif tersebut, ia menyadari urgensi perjuangan keadilan sosial, yang kemudian ia reinterpretasikan melalui lensa nilai-nilai Islam.
Setelah dibebaskan, KH. Dasuki mengambil langkah politik yang jarang diambil oleh ulama pada masa itu, yaitu bergabung dengan Partai Komunis Indonesia. Di mata banyak orang, langkah ini tampak sebagai sebuah paradoks. Namun, dari perspektif KH. Dasuki, keputusan tersebut bukanlah sebuah pengkhianatan terhadap iman. Dalam pidatonya di Konstituante, ia dengan tegas menyatakan, “Saya belum pernah pergi dari Islam” (Elsa Online). Ia meyakini bahwa Islam bukan hanya sekadar serangkaian ritual ibadah, melainkan juga sebuah ajaran yang mendorong umatnya untuk membela kaum yang tertindas dan memperjuangkan keadilan struktural.
Puncak perjalanan politiknya tercapai ketika ia terpilih sebagai anggota Konstituante Republik Indonesia melalui Pemilihan Umum 1955, mewakili Fraksi PKI. Di forum konstitusi tersebut, ia tampil sebagai orator handal yang menyuarakan pemikiran Islam secara progresif. Ia membela Pancasila sebagai fondasi negara, menilai Pancasila sebagai solusi tengah antara negara berbasis agama dan sekularisme mutlak. Katanya, “Kami mendukung Pancasila karena menjamin kebebasan semua agama. ” Sikap ini mencerminkan pandangan Islam yang inklusif dan bersahabat dengan keberagaman ideologi serta keyakinan.
Kehadiran KH. Dasuki dalam Partai Komunis Indonesia menjadi simbol penting bahwa politik kiri tidak selamanya identik dengan ateisme, sama halnya dengan Islam yang tidak harus selalu bersifat konservatif. Ia merupakan figur yang menjembatani dua kutub ideologis yang selama ini dianggap saling meniadakan. Kehadirannya menantang narasi hegemonik yang memposisikan Islam dalam satu dimensi sebagai anti-komunisme, atau komunisme sebagai anti-agama.
Warisan KH. Dasuki
Warisan KH. Dasuki tidak hanya terhenti pada karier politiknya. Ia juga mewariskan semangat intelektual dan progresif kepada keluarganya. Putranya, Prof. Achmad Baiquni, telah tercatat sebagai fisikawan nuklir pertama Indonesia dan pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Gadjah Mada. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran kritis dan semangat kebangsaan KH. Dasuki terus dilanjutkan dalam bentuk kontribusi ilmiah di bidang lain yang tak kalah penting.
Sayangnya, sejarah sering kali tidak bersikap adil terhadap tokoh-tokoh seperti KH. Dasuki Siradj. Setelah peristiwa tahun 1965, keterlibatannya dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) telah menyebabkan namanya hampir terlupakan dari ingatan kolektif bangsa. Akan tetapi, dalam beberapa tahun terakhir, telah muncul upaya untuk memahami kembali sosok-sosok seperti beliau yang mampu menjembatani Islam dan paham kiri dengan pendekatan damai dan substantif.
Dalam konteks Indonesia saat ini, di mana polarisasi ideologis—terutama antara identitas keagamaan dan sikap kritis terhadap kapitalisme atau otoritarianisme—kembali menguat, sosok KH. Dasuki menjadi relevan untuk dikaji kembali. Ia menunjukkan bahwa seorang Muslim dapat berpikir progresif tanpa kehilangan ikatan dengan akar agamanya, serta bahwa nilai-nilai keadilan sosial dapat berfungsi sebagai jembatan antara Islam dan ideologi kiri.
Dari pesantren hingga Digoel, dari PKI menuju Konstituante, KH. Dasuki Siradj adalah contoh nyata bahwa jalan menuju keadilan dapat ditempuh dengan memegang dua obor sekaligus: iman dan kesadaran kelas. Dalam dunia yang semakin terbagi antara “yang religius” dan “yang kritis,” beliau menunjukkan bahwa keduanya dapat hadir dalam satu entitas yang sama—yakni sebagai individu seorang santri.
Daftar Pustaka:
- Konstituante. net. “Profil KH. Dasuki Siradj. ” [https://www. konstituante. net/id/profile/PKI_achmad_dasuki_siradj](https://www. konstituante. net/id/profile/PKI_achmad_dasuki_siradj)
- Elsa Online. “KH. Ahmad Dasuki Siradj: Saya Belum Pernah Pergi dari Islam. ” [https://elsaonline. com/kh-ahmad-dasuki-siradj-saya-belum-pergi-dari-islam](https://elsaonline. com/kh-ahmad-dasuki-siradj-saya-belum-pergi-dari-islam)
- Perpustakaan Online 1965–1966. “KH. A. Dasuki Siradj, Ayah Fisikawan Nuklir Pertama Indonesia. ” [https://19651966perpustakaanonline. wordpress. com](https://19651966perpustakaanonline. wordpress. com)
- Fakta Kini. “Fenomena Kyai Haji Komunis. ” [https://www. faktakini. info/2021/04/fenomena-kyai-haji-komunis-ada-kyai. html](https://www. faktakini. info/2021/04/fenomena-kyai-haji-komunis-ada-kyai. html)