Esai

Secarik Kenangan KKN Mojoarum: Di Antara Sejarah, Budaya, dan Pengabdian

×

Secarik Kenangan KKN Mojoarum: Di Antara Sejarah, Budaya, dan Pengabdian

Sebarkan artikel ini

Ada banyak cara mengenang sebuah pengabdian, namun salah satu yang paling abadi adalah menuliskannya. Bagi kami, mahasiswa KKN UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang mengabdi di Desa Mojoarum tahun 2024, kenangan bukan sekadar cerita. Ia menjelma menjadi naskah sejarah, riset lapangan, dan dokumentasi lokal yang membentuk buku kecil berjudul “Mojoarum: Napak Tilas Sejarah dan Budaya Lokal.”

Mojoarum bukan desa biasa. Terletak di Kecamatan Gondang, Tulungagung, ia tumbuh di antara hamparan sawah dan lembah bukit, memelihara tradisi yang senyap tapi sakral. Hari-hari pertama kami menjejakkan kaki di tanah desa ini, disambut hangat oleh warga. Sambutan itu tidak berhenti di senyum dan suguhan teh hangat, tapi terus tumbuh menjadi keterlibatan aktif warga dalam setiap langkah kami: riset, wawancara, diskusi, bahkan sekadar obrolan malam di beranda. Ada banyak cara mengenang sebuah pengabdian, tetapi salah satu yang paling abadi adalah menuliskannya. Bagi kami, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung di Desa Mojoarum tahun 2024, kenangan bukan sekadar serpihan peristiwa. Ia telah menjelma menjadi karya, menjadi jejak yang hidup dalam buku kecil “Mojoarum: Napak Tilas Sejarah dan Budaya Lokal.”

Desa Mojoarum bukanlah tempat biasa. Terletak di Kecamatan Gondang, Tulungagung, desa ini dikelilingi oleh hamparan sawah dan perbukitan yang menyimpan kedamaian sekaligus sejarah panjang penyebaran Islam dan budaya lokal. Di sinilah kami ditempatkan. Di sinilah kami belajar, berbagi, dan tumbuh.

Hari-hari awal kami disambut warga dengan kehangatan yang tulus. Bukan hanya dalam bentuk sambutan secara formal, tetapi melalui sikap gotong royong, senyum ikhlas, hingga sepiring nasi hangat di siang hari yang terik. Warga Mojoarum mengajarkan pada kami bahwa pengabdian tidak harus besar, yang penting adalah niat dan keikhlasan.

Namun, seperti setiap perjalanan, tak semuanya berjalan mulus. Kami pun tak lepas dari dinamika internal. Ada perbedaan pendapat, ketegangan kecil, bahkan konflik yang muncul. Tapi dari konflik itu, kami belajar makna sesungguhnya dari kebersamaan. Bahwa meski berbeda, kami tetap satu tim. Walau sempat goyah, kami tetap berjalan bersama, saling menguatkan, saling melengkapi.

Kami mengingat dengan baik malam ketika konflik hampir memecah tim, namun justru berakhir dalam pelukan dan tawa setelah sesi saling bicara dari hati ke hati. Di situlah kami sadar: pengabdian bukan hanya soal kerja, tapi juga tentang tumbuh bersama dalam perbedaan.

Waktu berjalan cepat. Hari demi hari kami isi dengan program sosial, keagamaan, edukatif, dan riset lapangan. Kami menggali cerita dari para sesepuh desa: Mbah Bayan Yani, Mbah Bejan, Pak Maryono. Kami mendokumentasikan sejarah lisan tentang Mbah Maulana Ishak, Mbah Ponco, hingga Mbah Imam Sopingi—tokoh yang selama ini hanya dikenal dalam cerita mulut ke mulut.

Kami mendaki ke Gunung Cilik, mendatangi makam tua, menelusuri tradisi “bersih desa”, menyaksikan kehidupan UMKM seperti kerajinan batu alam, dan mengagumi koperasi perempuan “Arum Sari”. Kami juga larut dalam tradisi tahlilan warga, malam tirakatan, dan gotong royong yang penuh rasa.

Mojoarum memiliki dua dusun: Majan dan Demangan. Tapi dalam catatan sejarah dan lisan, wilayah ini dulunya terbagi ke dalam sejumlah perdusunan kecil yang masing-masing memiliki tokoh, cerita, dan mitologi tersendiri. Kami menyusuri makam-makam tua, memotret batu nisan dengan ukiran yang sudah aus, dan mencatat kisah mistis Gunung Cilik, sebuah bukit kecil yang diyakini menyimpan gamelan keramat.

Di siang hari yang panas, kami duduk bersama Mbah Bayan Yani, Mbah Bejan, dan Pak Maryono—para narasumber utama kami. Mereka tidak hanya bercerita, mereka “niteni”, menyusun kembali peristiwa dari ingatan hidup, dari pengalaman langsung semasa penjajahan Jepang, dari trauma romusha, dari kerasnya zaman, hingga geliat kemerdekaan. Mbah Bejan bahkan masih hafal lagu Indonesia Raya versi Jepang. Kisah-kisah ini tidak tercatat di buku pelajaran sejarah, tapi hidup dalam kata dan nada suara mereka yang parau dan tulus.

Kami juga berziarah ke makam-makam keramat: Mbah Maulana Ishak, yang diyakini sebagai ulama besar penyebar Islam di awal abad ke-15; Mbah Ponco, tokoh kejawen yang diyakini menyatukan beberapa dusun menjadi desa Mojoarum; hingga Mbah Imam Sopingi, prajurit pelarian Pangeran Diponegoro yang menetap dan menyebarkan Islam di daerah Majan. Setiap makam adalah bab sejarah yang tak ditulis tapi dituturkan. Dan kami berusaha mencatatnya sebaik mungkin.

Tentu saja pengabdian kami tidak melulu tentang sejarah. Kami juga belajar tentang bagaimana sebuah komunitas membangun kehidupannya: dari UMKM batu alam Pak Agus, kerajinan teraso Pak Suwandi, hingga koperasi perempuan “Arum Sari” dan karang taruna “Budi Tama”. Desa ini hidup, bekerja, dan bergerak dengan cara yang tenang namun mengakar.

Sebagai mahasiswa, kami juga belajar dari kesederhanaan pola sosial keagamaan mereka. Tradisi tahlilan keliling, taman pendidikan Al-Qur’an untuk orang dewasa, malam tirakatan yang dipenuhi rasa syukur, serta semangat gotong royong yang tak pernah surut. Di Mojoarum, kami tidak hanya meneliti, kami ikut hidup. Kami belajar dari keseharian mereka bagaimana merawat nilai, membangun solidaritas, dan menyemai harapan.

Penulisan buku ini menjadi capaian penting. Ia adalah hasil kolektif, kerja keras, dan dedikasi dari tim. Kami belajar menyunting, mewawancarai, menulis, mendesain tata letak, menyusun foto dan narasi, hingga mencetaknya. Ini bukan sekadar karya ilmiah lapangan, tapi juga bentuk cinta kami pada desa ini.

Lebih dari itu, buku ini adalah hadiah kecil dari kami untuk generasi muda Mojoarum. Semoga buku ini menjadi pintu masuk untuk mengenali jati diri, menyelami akar sejarah, dan membanggakan warisan budaya mereka sendiri. Karena seperti kata Bung Karno, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”—dan sejarah itu, justru sering tersembunyi di tempat yang paling dekat: di desa kita sendiri.

Kini, setelah KKN selesai dan kami kembali ke dunia kampus, tinggal kenangan yang membekas. Tapi kenangan itu telah kami rangkum dalam tulisan, dalam buku kecil ini. Ia bukan hanya untuk dikenang, tapi juga untuk diwariskan. Karena setiap desa punya kisahnya, dan setiap kisah layak untuk didengar, dicatat, dan dirayakan.

Namun puncak dari segala kenangan adalah malam penutupan. Malam itu, aula desa dipenuhi cahaya dan tepuk tangan. Penutupan KKN ditutup dengan pentas seni oleh Mahasiswa KKN Mojoarum. Kami tampil bukan sekadar untuk hiburan, tetapi sebagai bentuk persembahan terakhir dari hati yang tulus. Drama, musik, hingga tari-tarian yang dibawakan menjadi simbol betapa kami telah menyatu dengan desa ini—meski hanya sekejap, namun begitu mendalam.

Lihatlah foto kenangan kami malam itu—wajah lelah yang tersamar senyum, tangan yang terbuka lebar, raut bahagia yang tak dibuat-buat. Di balik sorotan kamera, ada harapan dan doa yang tak terucap: semoga pengabdian ini membawa manfaat bagi desa, semoga kenangan ini selalu hidup dalam hati, semoga pertemuan ini menjadi awal persaudaraan yang tak lekang waktu.

Kami sadar, KKN bukan akhir dari segalanya. Tetapi dari Mojoarum, kami belajar arti tanggung jawab sosial, pentingnya dokumentasi budaya lokal, dan kekuatan cinta pada tanah tempat kita berpijak. Buku yang kami tulis bukan hanya laporan akademik, melainkan bentuk rasa terima kasih, rasa hormat, dan kenangan abadi bagi Desa Mojoarum.

Dan kepada Mojoarum, kami titip satu kalimat: terima kasih telah menerima kami. Kami datang sebagai mahasiswa, kami pulang sebagai bagian dari keluarga.

Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *