
Urupedia.id- Beberapa waktu ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh tayangan salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, yang menyoroti kehidupan para santri dan kiai.
Tayangan tersebut memunculkan kontroversi dan kemarahan publik karena dianggap melecehkan martabat pesantren dan ulama.
Salah satu narasi yang disorot ialah penggalan kalimat “kiai kaya raya tapi umat kasih amplop,” yang secara jelas menunjukkan framing negatif terhadap sosok kiai sebagai pemimpin spiritual (Rahardjo, 2022).
Framing ini diperparah dengan adegan visual yang menampilkan santri memberikan amplop sambil jongkok, seolah menggambarkan relasi feodal dan eksploitatif.
Tayangan semacam ini bukan sekadar bentuk pemberitaan, melainkan merupakan representasi simbolik dari serangan budaya terhadap lembaga keagamaan tradisional.
Dalam konteks sosiologis, hal ini mencerminkan ketegangan antara nilai-nilai modernitas media dan nilai-nilai tradisional pesantren (Geertz, 1960).
Reaksi Publik dan Perdebatan
Tayangan tersebut memunculkan perdebatan antara dua kubu besar yakni pihak yang menganggap tayangan itu sebagai kritik realistis terhadap fenomena sosial, dan pihak yang menilainya sebagai bentuk penghinaan terhadap martabat pesantren.
Sebagian masyarakat berpendapat bahwa gaya hidup mewah sebagian kiai memang merupakan fenomena nyata yang layak dikritisi.
Namun, mayoritas santri, alumni pesantren, serta masyarakat Nahdliyin menolak narasi tersebut karena dianggap menyesatkan dan tidak kontekstual (Munawwir, 2023).
Secara faktual, pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang beroperasi dengan sumber daya terbatas.
Para kiai dan ustaz seringkali menerima honor yang sangat kecil. Kehidupan sederhana mereka menjadi bagian dari nilai asketis (zuhud) dalam tradisi keilmuan Islam tradisional (Dhofier, 2011).
Tradisi penghormatan santri terhadap kiai, seperti mencium tangan atau berjalan jongkok (ngesot), bukanlah bentuk feodalisme, melainkan ekspresi ta’dzim, yakni penghormatan spiritual yang berakar kuat dalam budaya pesantren.
Bagaimana Sosiologi Memandang?
1. Perspektif Teori Konflik
Menurut Karl Marx, Ralf Dahrendorf, dan Lewis Coser, masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang saling bersaing untuk memperoleh sumber daya yang terbatas—baik ekonomi, status, maupun nilai-nilai simbolik (Coser, 1956; Dahrendorf, 1959).
Dalam kasus ini, konflik antara Trans7 dan komunitas pesantren dapat dilihat sebagai perebutan legitimasi nilai dan otoritas simbolik.
Trans7 sebagai media massa merepresentasikan kekuatan ekonomi dan ideologis modern yang berupaya membentuk opini publik melalui framing yang provokatif untuk menarik perhatian penonton dan memperoleh keuntungan (McQuail, 2010).
Sebaliknya, komunitas pesantren—seperti Lirboyo—mewakili kekuatan moral dan spiritual yang mempertahankan legitimasi tradisional berbasis nilai agama.
Ketika media menggugat praktik pesantren, hal itu dipersepsikan sebagai ancaman terhadap status sosial dan simbol identitas mereka.
Reaksi keras berupa seruan boikot dan tuntutan hukum dari kalangan santri dan PBNU dapat ditafsirkan sebagai bentuk “perlawanan simbolik” (symbolic resistance) untuk menegaskan kembali kehormatan dan otoritas moral mereka di tengah tekanan modernitas media (Bourdieu, 1991).
2. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Teori interaksionisme simbolik yang digagas oleh George H. Mead dan Herbert Blumer berfokus pada bagaimana individu memberi makna terhadap simbol-simbol sosial melalui proses interaksi (Blumer, 1969).
Dalam kasus ini, terjadi benturan makna simbol antara media dan komunitas pesantren.
Bagi Trans7, simbol seperti “amplop” dan “cium tangan” dimaknai sebagai tanda ketergantungan dan eksploitasi.
Namun, bagi masyarakat pesantren, simbol yang sama memiliki makna spiritual yang sakral artinya penghormatan terhadap guru dan upaya memperoleh keberkahan (barokah). Perbedaan interpretasi ini menjadi sumber utama konflik kultural.
Respon kolektif para santri dalam bentuk aksi sosial dan digital—seperti tagar boikot Trans7—menunjukkan bagaimana identitas sosial dibangun dan dipertahankan melalui interaksi simbolik di ruang publik digital (Turkle, 2011).
3. Perspektif Fungsionalisme Struktural
Dari perspektif fungsionalisme, yang dikembangkan oleh Talcott Parsons dan Émile Durkheim, masyarakat dipandang sebagai sistem yang terdiri dari berbagai institusi sosial yang saling berhubungan dan berfungsi menjaga keseimbangan sosial (Parsons, 1951).
Dalam konteks ini, media dan pesantren seharusnya berfungsi sebagai agen sosialisasi yang saling melengkapi—media sebagai penyebar informasi, pesantren sebagai penjaga moralitas sosial.
Namun, tayangan Trans7 justru berperan disfungsional karena menimbulkan ketegangan sosial dan mengganggu keseimbangan hubungan antara dua institusi tersebut (Durkheim, 1895).
Pemulihan fungsi sosial dilakukan melalui mekanisme korektif, seperti permintaan maaf publik dari pihak Trans7, teguran dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan langkah hukum untuk mengembalikan harmoni sosial.
Kasus ini menunjukkan bagaimana media massa dapat berperan ganda—sebagai agen informasi dan sekaligus sumber konflik sosial—ketika gagal memahami konteks kultural objek yang diberitakan.
Dalam perspektif sosiologis, konflik antara Trans7 dan pesantren bukan hanya soal penghinaan verbal, tetapi pertarungan simbolik antara modernitas sekuler dan nilai-nilai spiritual tradisional.
Melalui kacamata teori konflik, interaksionisme simbolik, dan fungsionalisme, kita memahami bahwa fenomena ini merupakan cerminan dinamika sosial yang kompleks antara kekuasaan media, identitas keagamaan, dan legitimasi moral.
Oleh karena itu, diperlukan kesadaran etis dan literasi budaya yang lebih tinggi di kalangan jurnalis agar media dapat menjalankan fungsinya secara konstruktif dalam masyarakat plural seperti Indonesia.
Referensi
- Blumer, H. (1969). Symbolic Interactionism: Perspective and Method. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.
- Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Cambridge: Polity Press.
- Coser, L. A. (1956). The Functions of Social Conflict. New York: Free Press.
- Dahrendorf, R. (1959). Class and Class Conflict in Industrial Society. Stanford: Stanford University Press.
- Dhofier, Z. (2011). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.
- Durkheim, É. (1895). The Rules of Sociological Method. New York: Free Press.
- Geertz, C. (1960). The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press.
- McQuail, D. (2010). McQuail’s Mass Communication Theory. London: Sage Publications.
- Munawwir, A. (2023). Resistensi Kultural Pesantren terhadap Media Modern. Jurnal Sosiologi Agama, 9(2), 112–130.
- Parsons, T. (1951). The Social System. Glencoe: Free Press.
- Rahardjo, M. (2022). Etika Media dan Representasi Agama di Televisi Indonesia. Jurnal Komunikasi Islam, 8(1), 34–52.
- Turkle, S. (2011). Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other. New York: Basic Books.






