
Malang, 25 Oktober 2025– Urupedia.id-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Malang Raya menyatakan sikap tegas terhadap dinamika yang tengah terjadi di Kabupaten Gorontalo Utara (Gorut), khususnya mengenai polemik Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu yang belakangan ramai diperbincangkan.
Isu ini telah bergeser dari substansi awal—yakni dugaan adanya praktik percaloan dalam proses administrasi PPPK—menjadi perdebatan yang sarat intrik politik.
Hal tersebut justru mengaburkan semangat transparansi dan pengawasan publik.
BEM Malang Raya memandang peristiwa ini bukan sekadar perbedaan pandangan administratif, melainkan ujian terhadap kedewasaan demokrasi dan etika komunikasi publik di daerah.
Ketegangan bermula ketika anggota DPRD Gorontalo Utara, Dheninda Chaerunnisa, menyampaikan imbauan kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap potensi adanya praktik calo dalam proses administrasi PPPK.
Pernyataan itu disampaikan dalam kapasitasnya sebagai legislator yang menjalankan fungsi kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan publik di daerah.
Tujuan dari imbauan tersebut adalah melindungi masyarakat agar tidak menjadi korban praktik ilegal yang dapat mencederai prinsip keadilan dan meritokrasi dalam sistem kepegawaian.
Namun, pernyataan itu justru menuai respons keras dari Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Gorontalo Utara, Hamzah Sidik Djibran, yang membantah secara terbuka melalui siaran langsung di media sosial pada Rabu (15/10/2025).
Hamzah menegaskan bahwa isu percaloan tidak benar dan hanya bersumber dari dugaan tanpa dasar.
Ia menyatakan bahwa tidak ada praktik permainan uang dalam proses PPPK di lingkup pemerintah daerah.
Pernyataan tersebut kemudian diperkuat oleh anggota Solidaritas PPPK Paruh Waktu, Indra Dianan Jaya, yang menyebut bahwa kelompoknya bekerja secara transparan tanpa indikasi calo.
Keduanya bahkan mengaitkan sumber isu ini dengan pernyataan Dheninda, seolah-olah imbauan tersebut telah menimbulkan keresahan publik.
Situasi semakin memanas ketika muncul video Dheninda saat menghadiri aksi demonstrasi di depan Kantor DPRD Gorontalo Utara.
Rekaman tersebut menyoroti gestur tubuhnya dan dianggap sebagian warganet sebagai bentuk ejekan terhadap orator aksi.
Video itu menjadi viral setelah diunggah oleh akun media sosial @feedgramindo dan langsung memicu gelombang komentar negatif.
Sejumlah pihak, termasuk Koordinator Aksi Aliansi Masyarakat Peduli Gorut (AMP-Gorut), menyampaikan kekecewaan atas sikap sang anggota dewan dan menilai tindakannya tidak pantas.
Padahal, konteks sebenarnya dari kehadiran Dheninda adalah menjalankan tanggung jawab lembaga legislatif untuk menerima aspirasi masyarakat, bukan untuk mempermalukan pihak mana pun.
Menanggapi tudingan tersebut, Dheninda Chaerunnisa melalui akun media sosial pribadinya memberikan tanggapan yang menunjukkan kedewasaan dan keteguhan.
Di akun Facebook miliknya, ia menulis, “Seribu kebaikan tidak menjadikan seseorang malaikat, tetapi satu kesalahan bisa membuatnya tampak jahat.”
Ia menegaskan bahwa dirinya tetap teguh karena masyarakat yang mengenalnya tahu siapa dirinya dan apa yang diperjuangkannya.
Melalui Instagram, ia juga menulis bahwa tidak akan mengotori lisan dan jarinya untuk membalas kebencian, karena bahkan kebaikan pun bisa dilihat sebagai kesalahan oleh mereka yang tidak suka.
Dalam klarifikasi yang disampaikan langsung kepada BEM Malang Raya pada Jumat (24/10/2025), Dheninda menjelaskan bahwa langkahnya tidak bermaksud menyerang siapa pun, tetapi murni merupakan bagian dari fungsi pengawasan legislatif agar proses kebijakan publik berjalan transparan, jujur, dan berintegritas.
Ia juga menegaskan bahwa tudingan yang mengaitkan pernyataannya dengan intrik politik pasca pilkada dan serangan terhadap pihak eksekutif adalah tidak berdasar.
“Saya menjalankan fungsi lembaga, bukan kepentingan politik,” ujarnya tegas.
Pernyataan ini memperlihatkan kesadaran konstitusional bahwa seorang legislator wajib menjalankan peran pengawasan tanpa harus takut terhadap tekanan politik atau opini publik yang menyesatkan.
BEM Malang Raya menilai bahwa pernyataan Hamzah Sidik dan Indra Dianan yang membantah isu calo tanpa membuka ruang verifikasi publik menunjukkan kekeliruan berpikir secara hukum dan administratif.
Ketiadaan laporan resmi bukan berarti tidak ada indikasi pelanggaran.
Dalam perspektif hukum administrasi dan hukum tata negara, validitas sebuah dugaan tidak selalu bersandar pada formalitas hukum, tetapi juga dapat berangkat dari fakta sosial dan testimoni masyarakat yang memiliki relevansi administratif.
Bahkan laporan dari aktivis publik Efendi Dali, S.H., kepada Maestro-News.com pada (16/10/2025) memperkuat bahwa terdapat masyarakat yang mengaku dimintai uang oleh oknum tertentu untuk meloloskan nama dalam seleksi PPPK.
Fakta ini memperlihatkan bahwa dugaan praktik percaloan memiliki dasar empiris yang layak ditelusuri melalui mekanisme resmi.
Secara yuridis, tindakan Dheninda justru sejalan dengan amanat Pasal 20A UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan kepada DPRD untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan publik.
Imbauan agar masyarakat tidak mempercayai calo adalah bentuk peringatan moral yang diizinkan oleh hukum dan termasuk tindakan preventif dalam menjaga tata kelola pemerintahan daerah.
Dalam prinsip hukum tata negara modern, pencegahan terhadap potensi penyimpangan jauh lebih mulia daripada menunggu bukti pelanggaran terjadi.
Dari sisi sosiologis, tindakan Dheninda mencerminkan politik etis yang berpihak kepada masyarakat kecil—terutama para tenaga honorer dan calon PPPK yang kerap menjadi korban praktik percaloan.
Ia berupaya mengedukasi publik agar tidak terjebak dalam praktik transaksional yang melanggar asas keadilan sosial.
Serangan terhadap dirinya justru menunjukkan rendahnya budaya demokrasi lokal yang belum mampu membedakan antara kritik substantif dengan serangan personal.
Ketika seorang wakil rakyat dihukum karena mengingatkan masyarakat agar tidak tertipu, maka yang dirugikan bukan hanya individu itu, melainkan juga integritas lembaga perwakilan dan moral publik secara keseluruhan.
Dalam kajian filosofis, langkah Dheninda merepresentasikan nilai hukum progresif sebagaimana dikemukakan Prof. Satjipto Rahardjo, bahwa hukum harus hidup dan melindungi manusia, bukan sekadar menunggu formalitas prosedural.
Imbauan seorang legislator untuk mencegah ketidakadilan merupakan tindakan moral yang menghidupkan nilai-nilai hukum substantif.
Hukum yang baik adalah hukum yang menjaga nurani masyarakat, dan seorang wakil rakyat yang berani mengingatkan publik tentang potensi penyimpangan adalah wujud nyata dari filosofi keadilan sosial itu sendiri.
Sebagai Koordinator Daerah BEM Malang Raya sekaligus pemuda Gorontalo yang sedang menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, saya, Gilang Dalu, merasa perlu menyampaikan pandangan ini bukan karena kedekatan politik dengan siapa pun, melainkan karena keprihatinan atas arah demokrasi lokal yang mulai kabur dari substansinya.
Isu yang seharusnya menjadi ruang evaluasi kebijakan kini malah dipelintir menjadi arena politik balas budi pasca pilkada.
Padahal, demokrasi sejati menuntut keberanian berpihak pada kebenaran dan moral publik, bukan pada kepentingan kekuasaan.
BEM Malang Raya menegaskan bahwa isu dugaan calo PPPK harus diselesaikan melalui mekanisme transparan dan berbasis data, bukan dengan menyerang individu yang berusaha memperjuangkan integritas kebijakan publik.
Masyarakat harus diberikan pemahaman bahwa fungsi legislatif bukan sekadar menyetujui kebijakan, tetapi juga memastikan kebijakan itu berjalan sesuai asas keadilan dan hukum yang hidup di tengah masyarakat.
Oleh karena itu, BEM Malang Raya menyerukan agar seluruh pihak di Gorontalo Utara menahan diri, menghindari narasi politisasi, dan mengembalikan diskursus ini pada koridor akal sehat serta prinsip demokrasi yang bersih.
Kasus ini seharusnya tidak menjadi panggung persekusi opini, tetapi momentum memperkuat moralitas publik dan kepercayaan rakyat terhadap wakilnya.
Karena pada akhirnya, politik yang benar bukan tentang siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling berani menjaga nurani rakyatnya.






