Amnesti Hasto Kristiyanto dan Dinamika Politik dengan Kehadiran Partai Solidaritas Indonesia “Gajah”

Pada 31 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan keputusan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, atas kasus dugaan perintangan penyidikan KPK dalam perkara Harun Masiku. Keputusan ini menimbulkan kegaduhan publik dan politisasi hukum, sekaligus menyibakkan dinamika kekuasaan antara PDI-P dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang kini dijuluki “partai gajah” karena kedekatannya dengan kekuasaan.

Amnesti ini tak hanya memperlihatkan pergeseran strategi hukum dan rekonsiliasi politik di tubuh elite, tetapi juga mencerminkan pertarungan legitimasi antar parpol pro-rezim. Laporan ini membedah latar hukum, motif politik, serta implikasi amnesti terhadap relasi antar partai, khususnya antara PDI-P dan PSI.

1. Latar Belakang Hukum dan Politik

Kasus Hukum Hasto Kristiyanto

Hasto sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menghalangi penyidikan KPK dalam kasus Harun Masiku. Ia dituding mengetahui keberadaan buronan tersebut namun enggan memberi informasi yang dibutuhkan penyidik.

Kendati status tersangka belum menghasilkan vonis pengadilan, proses hukum telah menjadi alat tekanan politik. Pemberian amnesti oleh Presiden dinilai mempercepat proses rekonsiliasi elite pasca Pemilu 2024. Meski dibingkai secara legal, keputusan ini punya nuansa politis yang kental: penguatan kontrol terhadap oposisi sisa, terutama PDIP yang belum sepenuhnya menyatu dalam koalisi pemerintah.

Landasan Hukum Amnesti

Amnesti merupakan kewenangan Presiden berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945, dengan pertimbangan DPR. Praktik ini lazim digunakan untuk kepentingan rekonsiliasi nasional, seperti pada masa Presiden Abdurrahman Wahid atau pasca kerusuhan 1998.

Namun, dalam konteks Hasto, amnesti terasa janggal karena dilakukan sebelum ada putusan hukum tetap. Artinya, ia belum menjalani proses hukum hingga tuntas. Ini mengindikasikan bahwa amnesti lebih digunakan sebagai instrumen politik ketimbang pemulihan keadilan.

2. PSI dan Fenomena “Partai Gajah”

PSI: Dari Minoritas ke Sentral Politik

Sejak Pemilu 2024, PSI mengalami lonjakan dukungan setelah diduga memperoleh sokongan penuh dari jaringan kekuasaan. Dikenal dengan gaya komunikatif, milenial, dan loyal terhadap Presiden Jokowi, PSI kini tampak menjadi alat politik baru bagi kekuasaan yang ingin merestrukturisasi peta partai, menggantikan dominasi lama seperti PDIP.

Peran PSI dalam menyerang balik PDIP—baik melalui media sosial, kader, maupun representasi parlemen—mengisyaratkan pergeseran struktur hegemonik. PSI tak lagi sekadar partai baru, tetapi telah berevolusi menjadi “partai gajah”: kuat, gemuk sumber daya, dan tak segan menggoyang tatanan lama.

Polarisasi PSI vs PDI-P

Ketegangan PSI-PDI-P memuncak sejak isu “anak haram demokrasi” dilontarkan oleh elite PDI-P pada masa kampanye. PSI membalas dengan narasi “politik meritokrasi melawan politik dinasti.” Ketegangan ini diperparah oleh masuknya PSI ke lingkaran dalam kekuasaan pasca pemilu, sementara PDI-P justru mulai tersisih.

Amnesti Hasto tampak menjadi upaya “menjinakkan” PDIP dan memisahkan barisan oposisi, menjadikan mereka bagian dari kontrol politik pemerintah.

3. Prabowo, Strategi Kekuasaan dan Legitimasi

Prabowo dan Kebutuhan Stabilitas

Presiden Prabowo membutuhkan stabilitas elite untuk melaksanakan agenda nasionalisme ekonomi dan geopolitik. Ia menyadari bahwa polarisasi PDIP-PSI bisa merugikan stabilitas politik jika tidak dikelola.

Amnesti terhadap Hasto bisa dibaca sebagai strategi kooptasi PDIP: memberikan keringanan hukum agar partai tersebut mau “masuk kandang.” Ini mirip dengan strategi yang pernah dilakukan Orde Baru terhadap partai Islam melalui kooptasi dan depolitisasi elite.

Legitimasi Hukum vs Legitimasi Politik

Amnesti Hasto memperlihatkan tarik-menarik antara legitimasi hukum dan legitimasi politik. Secara hukum, amnesti seolah menyelamatkan nama Hasto dari jerat pidana. Namun, secara politik, hal ini mengaburkan batas antara hukum dan kekuasaan. Publik makin sulit membedakan apakah keputusan Presiden benar-benar demi keadilan, atau hanya kalkulasi politik.