Feature

Kyai Marzuki: Kadang Tidak Suka, Itulah yang Terbaik

×

Kyai Marzuki: Kadang Tidak Suka, Itulah yang Terbaik

Sebarkan artikel ini
Kyai Marzuki: Kadang Tidak Suka, Itulah yang Terbaik

Ustad Ahmad Marzuki S. Th. I, M. Pd. I atau yang kerap disapa dengan Ustadz Marzuki, sosok kyai muda yang masyhur dengan ketabahan yang luar biasa. Beliau lahir di Rembang, 10 November 1978. Tepat pada hari pahlawan, ketika para aktivis pemuda Surabaya bersama para santri melawan tentara NICA. Kyai Marzuki dilahirkan dari keluarga yang religius dan sederhana sehingga semua elemen tersebut mempengaruhi kepribadiannya. Sejak kecil, beliau dididik dan dilatih untuk belajar agama dengan tekun. Ketika mengenyam pendidikan dasar/madrasah ibtidaiyah beliau mulai mempelajari berbagai ilmu gramatika Bahasa arab, seperti nahwu dan sorof. Pengajar madrasah tersebut mayoritas berasal dari alumni Madrasah Ghazaliyah Sarang sehingga kurikulum yang digunakan berasal dari madrasah tersebut. Maka, tak hayal jika usai menamatkan pendidikan dasar, ia sudah mahir memaknai kitab kuning.

Santri Generasi Pertama

Kyai Marzuki lulus dari Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1991. Sehari setelah kelulusan, ayahnya membawa Kyai muda ke Demak untuk menimba ilmu pada Kyai Alimun Syahri yang menjadi muassis sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Bustanul ‘Usyaqil Quran Kendal Kaliwungu Jawa Tengah. Tidak ada jeda istirahat ataupun berlibur selayaknya anak-anak lain, Kyai muda langsung dibawa ke pondok pesantren untuk fokus belajar Al Quran. Di Pondok Arjowinangun ini, Kyai muda menjadi santri generasi pertama.

Keinginan ayahnya kuat terhadap putranya agar menjadi penghafal Al Quran membuat Kyai Marzuki muda harus berjuang penuh mewujudukan keinginan ayahnya meskipun hal itu bersebrangan dengan keinginannya. Tidak pernah terlintas sedikitpun Kyai Marzuki muda untuk menjadi hafidz Quran. Keinginannya sederhana hanya ingin mondok dan madrasah diniyah untuk menekuni kitab kuning, itu saja.

Mulai Menghafal Al Quran

Kyai Marzuki muda membutuhkan waktu satu tahun untuk belajar Al Quran bin nadzr[1].Tepat usia 13 tahun, beliau mulai menapaki perjuangan menghafal kalam ilahi. Lika-liku hidup tentunya sudah menjadi kodrat seluruh makhluk. Begitu juga dengan putra dari pasangan H. Darsuki dan Hj. Darsi ini menyelami dunia Al Quran dengan susah payah. Tepat pada tahun 1996, Kyai Marzuki muda mampu menyelesaikan hafalan Al Quran bil ghaib dengan sempurna dalam jangka waktu dua setengah tahun.

Di balik rentang waktu yang singkat, Ustadz Marzuki muda merasa sangat kesulitan dalam menghafal. Namun, waktu yang dimilikinya tak pernah terbuang sia-sia. Nderes adalah kegiatan rutin, diistiqomahkan untuk menghafal kalam suci. Tak jarang Ustadz Marzuki muda menangis dalam kesendirian. Kamar adalah tempat yang bisa menerima tangisan yang tak pernah usai. Hampir setiap hari menangis karena ucapan gurunya, “Ngaji kok panggah salah wae  (Mengaji kok tetap salah terus; red)”. Perjuangan maksimal sudah dikerahkan namun hal itu masih kurang.

Di tengah proses menghafal, keadaan hatinya berubah sehingga Ustadz Marzuki muda memutuskan untuk berhenti menghafal. Pikiran itu muncul ketika stigma-stigma semakin menjatuhkan semangatnya, “Orang kalau menghafal Al Quran terus lupa, maka dia dosa”. Hal ini membuat Ustadz Marzuki muda takut untuk melanjutkan menghafal Al Quran lagi. Kegundahan hatinya membawanya pulang dan mengadu pada Sang ibu yang menjadi pelipur lara. Karena hanya Ibu yang punya rasa welas dan mengerti dengan keadaannya. Remaja ini meminta pada Ibunya untuk istirahat sehari saja dari menghafal karena beliau merasa lelah dan patah semangat. Hal ini dikarenakan stigma-stigma negatif yang terlontar sehingga membuat semangat menghafalnya justru menghilang.

Di balik pembicaraan ibu dan putranya itu, ayahnya mendengar dan marah. Beliau meminta Ustadz Marzuki muda untuk kembali ke pondok dan menyelesaikan hafalan. Remaja yang tengah mengadu itu hanya bisa pasrah dan menuruti perintah ayahnya untuk kembali memperjuangkan Al Quran dan segera mungkin menyelesaikan hafalan.

Di sisi stigma-stigma negatif berkeliaran dan terngiang di pikiran Kyai Mrzuki muda, terdapat stigma-stigma positif yang memberikan ia semangat dan bangkit dari keterpurukan. Teman adalah segalanya, pelipur lara, motivatir, dna oenghibur. Salah satu temannya berkata, “Orang yang hafal Al Quran dijaga Allah dari pikun”. Kalimatnya seakan menjadi antitesis dari pernyataan sebelumnya, yakni yang menjaga hafalan pada diri manusia adalah Allah. Lalu ketika Allah menjaganya, apakah mungkin ia lupa? Satu kalimat ini membawa pengaruh besar terhadap spirit Ustadz Marzuki muda. Mengubahnya menjadi pribadi yang tekun dan ulet. Meskipun Ustadz Marzuki lebih muda dibandingkan teman lainnya namun, ia tak kalah jauh di bidang prestasi. Ustadz Marzuki memiliki semangat yang membara untuk menimba ilmu dan menghafalkan Al Quran.

Proses menghafal Al Quran

Waktu sudah disetting dengan baik. Bangun sebelum shubuh adalah rutinitas yang tak pernah terlewatkan. Jika tidak bangun sebelum shubuh maka Ustadz Marzuki muda tidak bisa mengaji karena setelah shubuh ada kegiatan setoran hafalan dan harus menghadap guru. Oleh karena itu, sebelum hafalan harus dipersiapkan dengan matang. Menjelang shubuh lebih tepatnya setelah qiyamul lail, santri dengan tekad kuatnya ini murojaah hafalan yang sudah dibuat saat sebelum tidur. Tiba waktu shubuh, Ustadz Marzuki muda mengumandangkan adzan. Menunggu imam datang, Ustadz Marzuki muda nderes lagi sambil menyapu lantai sebelum digunakan untuk shalat santri.

Ustadz Marzuki muda mengabiskan harinya untuk belajar. Jika kyai tidak menyuruhnya, maka nderes menjadi kegiatannya. Semaan dengan teman menjadi kegiatan selanjutnya. Santri dengan prinsip yang kuat ini datang satu jam sebelum kegiatan semaan dimulai untuk mempersiapkan hafalan terlebih dahulu. Setelah semaan ada jeda waktu istirahat bagi santri. Tidak bagi Ustadz Marzuki muda, Al Quran tidak ditutup melainkan diteruskan nderesnya sampai lelah dan tertidur. Tidak ada jeda waktu baginya untuk sekedar bermain dengan teman-temannya.

Tiba waktu dzuhur, Ustadz Marzuki muda bangun lebih awal. Sosok dengan kedisiplinan penuh ini tidak pernah meninggalkan jamaah. Salah satu hal yang ia anggap sebagai sebuah kesalahan besar ialah ketika ia dibangunkan oleh Kyai untuk shalat berjamaah. Seharusnya dengan kesadaran, menggerakkan dirinya bangun dari tidur dan menunaikan jamaah.

Setelah jamaah dzuhur, santri bil ghoib[2] wajibnderes  Al Quran. Akan tetapi, tidak bagi santri kelahiran Rembang ini.  Ia lebih memilih untuk mengaji kitab karena kecenderungan Ustadz Marzuki muda sebenarnya bukan Al Quran melainkan kitab. Sedari dulu Ustadz Marzuki punya keinginan untuk mendalami kitab. Prinsip yang ia tanamkan sedari dulu, mencari dan mengejar apa yang menjadi keninginannya hingga dapat.

Salah satu guru Ustadz Marzuki dalam mengkaji kitab kuning adalah Kyai Abdul Kholiq.  Beliau merupakan sosok yang wira’I dan istiqomah dalam mengajar, serta ikhlas dalam mengajarkan ilmu. Beliau merupakan sosok yang dermawan dan dikagumi banyak orang. Maka, tak pelak jika beliau menjadi salah satu guru favorit Kyai Marzuki muda. Ustadz Marzuki sering menyebut nama beliau di setiap tengadah tangan serta tak pernah alfa dalam memberikan hadiah fatihah.

Setelah jamaah maghrib, pesantren tidak mengadakan kegiatan khusus, kegiatannya bebas. Ustadz Marzuki muda menggunakan waktu ini dengan mengaji Al Quran bin nadhr meskipun sudah di tingkat bil ghaib. Semaan ketiga bagi santri bil ghaib dilaksanakan ba’da isya’. Ustadz Marzuki muda memilih mengaji kitab. Meskipun nyantri di pondok Quran, Ustadz Marzuki lebih banyak mengaji kitab. Ketika ada pengajian kitab di luar, santri yang terkenal dengan tekad kuatnya ini tak pernah meninggalkan mengaji kitab. Selesai mengaji kitab di luar, Ustadz Marzuki tidak menggunakan waktunya untuk istirahat terlebih dahulu. Al Quran diambil dan nderes mempersiapkan hafalan untuk setoran besok. Tepat pukul 22.00 Ustadz Marzuki muda mengakhiri ngajinya kemudian beristirahat.

Dinamika hafalan

 Selayaknya orang menghafal, pastilah ada cobaan maupun ujian yang datang untuk menguji ketegaran dan kesabaran. Mulai dari juz awal sampai juz 19, Ustadz Marzuki muda menghafal dengan lebih keras. Karena sulitnya menghafal, setiap mengaji Ustadz Marzuki muda meneyetorkan satu halaman.

Pada saat Ustadz Marzuki muda mengaji dan mendengar salah satu gurunya menceritakan beberapa kisah inspiratif, Ustadz Marzuki muda bertafakkur bagaimana cara orang itu bisa sukses, bagaimana orang itu terang hatinya. Semua jawaban terkait bacaan, amalan dan inspirasi yang lain selalu diterapkan dalam kehidupannya. Menjelang juz 20 ada perubahan yang terjadi pada diri Ustadz Marzuki muda. Pikiran terbuka dan menghafal menjadi mudah. Sebelum menginjak juz 20, setiap setoran hanya menambah satu halaman akan tetapi setelah menapakinya, mulai ada perkembangan pesat bahkan sehari bisa setoran sebanyak dua sampai tiga halamna.

Berkat ketekunan dan keistiqomahannya, waktu dua setengah tahun cukup baginya untuk menyelesaikan hafalan. Tiba waktu majlis 30 juz, Ustadz Marzuki bersama satu temannya, mampu mengikuti majlis ini dengan sekali duduk 30 juz.

Ustadz Marzuki muda pun sering mendapatkan kalimat pujian dari gurunya, “Andaikan santri di pondok seperti Marzuki semua, pasti tidak butuh yang namanya pengurus. Tidak harus diperintah, dita’zir terlebih dahulu namun dia sudah jalan sendiri.

Akhirnya, keseimbangan antara Al Quran dan kitab membuahkan hasil. Hafalan Al Qurannya yang telah berproses sekian lama membuat Kyai Muda ini sering diajak semaan di luar pesantren bersama Sang Kyai. Sekitar tahun 1993-1994, Kyai muda diajak ke Jakarta oleh Sang Kyai untuk memenuhi undangan semaan disana. Hal ini menjadi sebuah keistimewaan tersendiri bagi Kyai muda ini.

Penulis: Arini Bintan

Editor: Umi Ulfa. S


[1] Langkah awal belajar Al Quran

[2] hafalan

Untuk mendapatkan berita dan tulisan ter-update dari kami bisa bergabung ke grup Telegram melalui link berikut (KLIK DISINI)