Ketika sore telah tiba, anak-anak pulang dari sekolah. Tampak dua pemuda sedang melangkahkan kaki keluar dari pintu kelas. Mereka mengenakan seragam putih abu-abu dengan dasi yang melingkar pada lehernya. Pemuda satu menampakkan wajah santai dengan kacamatanya. Perawakannya pendek dengan potongan rambut rapinya. Ia merupakan pemuda yang telah menyatu dengan buku. Teman-teman sekelasnya memanggilnya “Sandi”. Sedangkan satu pemuda yang tengah menyulutkan korek api pada batang rokoknya dengan gaya rambut fade haircut. Perawakanya lebih tinggi daripada Sandi, berbadan Brick (padat dan menyebar ke seluruh badan), ia mendapatkan julukan “Gendon”. Sedangkan nama aslinya adalah Jamal.
Suasana kelas masih gaduh, banyak murid yang sibuk berjalan keluar-masuk kelas sambil bercakap-cakap dan membawa makanan dari kantin sebelah. Tak lupa iringan hembusan angin dari arah jendela yang sesekali menggebraknya. Langit pun tampak semu kemerahan, awan-awan putih sesekali bergerak dan berputar. Daun-daun kering bertebangan tersapu oleh angin. Dengan suasana yang seperti itu Sandi dan Jamal hendak pergi meninggalkan sekolah, namun sekejap Sandi melihat seseorang yang tak asing baginya, yang sedang menikmati suasana taman berbunga di depan pintu kelasnya. Sandi bengong, tiba-tiba Jamal menepuk bahunya dari belakang.
“Kau lagi menengok apa, Sand?” tanya Jamal penasaran.
“Engkau lihat tidak, paman itu? Setiap kita pulang sekolah beliau selalu memandangi taman-taman bunga depan kelas kita. Terkadang sambil berdiri dengan tangan memegang dagu, kadang duduk termenung sembari memperhatikan bunga-bunga begitu lama,” ujar Sandi.
“Maksudmu Pak Wijaya? Beliau memang selalu seperti itu, mungkin hal itu beliau lakukan semata karena memang menyukai bunga-bunga di taman.Tapi kamu harus hati-hati dengan paman itu. Banyak sekali gosip yang beredar mengenai dirinya. Kadang ia melihat tanaman sambil tertawa-tawa aneh seperti,” seketika Jamal menghentikan ucapan dan Sandi menoleh ke arahnya karena begitu penasaran.
“Seperti bagaimana, Mal?”
“Ahh, kau ini! kau tidak lihat beliau senyum-senyum sendiri melihat bunga-bunga itu, kan sangat aneh,” jelas Jamal.
“Bukannya beliau sangat bahagia ketika melihat bunga-bunga itu? Wajar kan? Toh memang indah, bunga itu nampak berwarnai-warni menjadi satu kesatuan yang utuh walaupun berbeda jenisnya seperti semboyan Bhineka Tunggal Ika, “ timpal Sandi dengan nada polos.
“Aduuh San, kau ini malah membelanya. Pokoknya aku sarankan kau hati-hati jika tidak ingin ketularan seperti …,” ucap Jamal terpotong. Ia lantas melangkahkan kaki, beranjak meninggalkan Sandi. Ia menoleh ke belakang dengan menggerak-gerakkan telunjuk di atas dahinya. Sandi pun mengikutinya dan mereka beranjak pulang.
Namun, semua hal yang dilihatnya tadi membuat pikiran Sandi begitu terombang-ambing bagai ombak di tepi pantai yang menghantam karang. Sungguh membuatnya begitu penasaran. Beliau memang terpandang sangat aneh di sekolah. Entah kenapa murid-murid juga sering kali menjauhinya, apakah memang sebab beredarnya gosip? Bagaimana mungkin gosip bisa sebegitu kuat mempengaruhi? padahal belum tentu kebenarannya.
Bisa dikatakan hal ini sudah keteraluan karena membuat Paman itu menjadi kesepian dan dijauhi banyak orang. Bahkan tak ada yang pernah menyapanya sama sekali. Ia merupakan seorang tukang kebun di sekolah yang memang menyukai berbagai jenis varian bunga. Setiap pagi dan sore setelah selesai membersihkan halaman sekolah, ia menyirami bunga di taman. Sesekali beliau duduk mengamati bunga-bunga itu sambil tersenyum simpul dan kadang pula tertawa.
“Aargh, entah apa yang membuatnya seperti itu, sungguh aneh sekali dan bikin pikiranku penasaran, apakah ada yang menarik dari bunga-bunga itu? Bukannya itu hanyalah bunga saja,” gumam Sandi sambil meletakan buku cerita di atas wajahnya.
***
Keesokan harinya, sekitar pukul setengah tiga sore bel berbunyi ‘kring … kring … kring,’ sebuah tanda panggilan untuk melepas lelah, semua murid berbondong-bondong meninggalkan kelas. Hingga suasana kelas menjadi sunyi, hanya menyisahkan bekas-bekas pelajaran yang belum terhapus di papan tulis. Angin pun ikut menghempaskan tirai jendela, hanya tersisa Sandi yang masih duduk terdiam memberhatikan buku pelajaran biologinya, pikirannya masih terbayang-bayang seseorang di taman itu.
‘Dok …’ suara benda yang bertabrakan dengan bangku meja memecahkan lamunan Sandi.
“Engkau kenapa, San nglamun memperhatikan buku biologi itu?” tanya Jamal. Ia keheranan memperhatikan temannya yang sedang berlaku aneh hari ini. Meskipun matanya masih sama saja terlihat hitam bersinar namun seakan-akan tidak berisi, kosong. Apalagi halaman buku yang ia pegang tetap pada poisisi semula, tak berubah sama sekali.
“Tidak ada apa-apa”, sangkal Sandi. Ia membalikan bukunya lembar demi lembar, lalu disingkapkannya ke dalam tas.
“Mal, engkau mau ikut aku sebentar ke suatu tempat!”
Seketika Jamal menatap matanya, karena ada sedikit kilauan cahaya yang barangkali menandakan sesuatu yang amat penting, jika diperhatikan dari sorot wajahnya pun terlihat serius. Dengan kondisi kelas yang hanya ada mereka berdua sekarang ini, membuat Jamal ikut penasaran, “Baiklah mau ke mana?”
“Ayolah ikut saja, nanti kamu akan tahu,” ajak Sandi sambil menarik kedua tangannya.
Selang beberapa waktu, mereka berdua meninggalkan ruangan. Melangkahkan kaki menuju ke pekarangan yang penuh dengan bunga bermekaran. Hal itu membuat Jamal mulai penasaran apa yang ingin dilakukan oleh temannya itu. Pikirannya pun ikut menebak apakah memang benar Sandi ingin berjumpa dengan sosok paman tua itu? Tentu hal itu membuat Jamal mulai angkat bicara, sambil berjalan memegang pundak Sandi yang sedang melangkah ke sana dengan sorot pandangannya memperhatikan bunga-bunga yang ada di tanam.
“San, ada apa engkau sebenarnya? Disana ada Pak Wijaya, apa yang ingin kau lakukan? Kau tidak takut dengan beliau?” ucap Jamal dengan nada jengkel sambil berbisik-bisik. Namun Sandi tetap melangkahkan kakinya, “Hus, kau nanti akan tahu,” timpal Sandi balik.
Akhirnya mereka berdua tiba di samping Pak Wijaya yang sedang berdiri memperhatikan bunga-bunga. Ia memegang dagu dan menampakkan sorot pandangan yang terlihat amat serius.
“Permisi pak,” salam Sandi sambil tersenyum.
Kehadiran Sandi dan Jamal membuatnya terkejut, seolah-olah sedang menginjak duri kumis kucing, sorot matanya pun terasa ada aura-aura yang melenyapkan gerak angin. Melihat kehadiran kedua pemuda tersebut yang mengganggu, Pak Wijaya menatap kduanya, “Iya, ada apa, Nak? Apakah ada sesuatu yang bisa Bapak bantu?”
Tiba-tiba suasana menjadi canggung, hembusan angin mulai terasa kembali dan langit di sore hari terasa ceria, dengan ragu-ragu Sandi mulai memberanikan diri untuk menyampaikan keinginannya yang selama ini mengganjal dalam pikirannya, “ Ah! Tidak paman, kami datang kesini hanya penasaran dengan apa yang paman lakukan berdiam diri memandang tanaman-tanaman tersebut”
“Ohh itu … saya lagi baca bunga-bunga di taman ini, Nak,” ucap pak Wijaya dengan suara kalemnya.
Sontak mereka berdua terkejut dengan apa yang diucapkan oleh beliau yang membuat pikirannya semakin tak karuan. Lalu, Jamal memberanikan diri untuk bertanya, “Maksud bapak bagaimana saya sama sekali tidak mengerti?”
“Lha iya, memang itu yang bapak lakukan saat ini baca bunga, ” ujarnya sekali lagi.
Kedua pemuda itu sangat kebingungan dengan kondisi saat itu. Kedua pemuda itu tidak habis pikir dengan apa yang Paman tua itu katakan, pikirannya terombang-ambing dengan perkataan yang irasional. Kedua kepala pemuda itu langsung menoleh ke arah bunga-bunga yang ada di taman itu.
“Bukannya bunga tidak memiliki angka, huruf, atau sandi-sandi, bagaimana mungkin bapak ini bisa membacanya?” gumam Sandi, membuat pikirannya berjalan kian terus-menerus tanpa arah tujuan yang menyakinkan.
Sambil menghadap ke arah beliau. Mereka berdua tetap melanjutkan percakapannya yang membingungkan.
“Bagaimana paman bisa membaca bunga, bukankah bunga itu tidak memiliki angka, huruf, tanda-tanda seperti pada buku pelajaran maupun buku cerita fiksi, bukankah paman hanya mengamati saja?”
Sekilas, sorot pandang pak Wijaya mulai memperhatikan wajah Sandi dengan tersenyum sambil menjawab pertanyaannya, “Begini Nak, mungkin kalian masih kebingungan dengan maksud saya. sebelum itu kalian duduklah di sampingku, akan saya jelaskan lebih lanjut.”
Mendengar perkataan pak Wijaya kedua pemuda itu dengan ragu-ragu akhirnya menuruti ajakan beliau.
“Saya memang sedang membaca bunga tidak hanya memperhatikannya tapi saya juga ikut membacanya sampai masuk ke dalam cerita bunga tersebut, seperti buku cerita fiksi. Mungkin kalian pernah membacanya contoh saja cerita kancil, yang membuat saya tertawa saat dulu membacanya, sama halnya dengan apa yang saya lakukan ini.”
Pak Wijaya terus melanjutkan perkataannya sambil memandang ke arah bunga itu, “Memang inilah yang saya rasakan ketika baca bunga sampai ikut terbawa alur ceritanya, coba kamu bacalah bunga mawar dan bunga melati di sana dan apa yang kamu peroleh!” ujar pak Wijaya dengan tangan yang mengarah ke bunga mawar dan melati.
Dengan sigap kedua pemuda itu fokus ke arah telunjuk tangan pak Wijaya yang mengarah ke bunga-bunga itu dan mulai membacanya. Namun, yang hanya ada di pandangan kedua pemuda itu hanyalah mawar yang bergerak terhembus angin dan daunnya ada yang luruh mencium tanah. Selain itu, bunga melati juga sama saja dengan warna putihnya ada yang masih tertutup belum mekar dan ada lebah yang mengitarinya juga kupu-kupu yang kadang bersinggah di sana.
“Saya masih kebingungan membaca bunga itu, mungkin paman bisa jelaskan lagi maksud paman?” ucap Sandi kebingungan dan penasaran.
“Baiklah, saya akan menunjukkan yang saya baca dari bunga mawar dulu, ketika aku membaca bunga mawar itu rupanya bunga mawar memiliki sifat yang pemberani dan memikat orang untuk mencintainya dan menciumi harumnya. Namun jika orang tersebut menyakiti bunga mawar dengan sengaja, maka mawar akan menyarangnya dengan menggunakan duri yang ada di rantingnya. Seperti cerita fiksi kan tapi itu memang kenyataan karakter bunga mawar ketika kamu membacanya Nak, sebelum Bapak lanjutkan, bolehkan bapak mengetahui nama kalian berdua?” jelasnya.
“Rupanya pak Wijaya ini tidak seperti gosip yang dikatakan oleh Jamal, orangnya sebenarnya ramah jika kita mau mengajaknya berbicara,” pikir Sandi.
“Kalau saya namanya Sandi paman, sedangkan di samping saya ini Jamal,” jawab Sandi antusias.
Setelah mengetahui nama mereka, pak Wijaya mulai melanjutkan perkataannya kembali, “Kedua, bunga melati. Saat bapak membaca bunga melati. Bapak mengetahui bahwa bunga melati memiliki bau yang khas harumnya berbeda dengan bunga lainnya, melati ini memiliki sifat lemah lembut, penyayang ketika ada orang disampingnya akan merasa nyaman dan tenang, kegelisahan akan hilang jika berada bersama bunga melati. Sebenarnya perlu kalian ketahui juga, bawah tidak hanya baca bunga saja, jika ingin mengetahui karakter semua yang ada di bumi ini. Cukup, sesekali bacalah alam, kau akan menemukan makna dibalik cintanya kupu-kupu sampai melupakan sayap pelanginya,” jelasnya kembali.
Mendengar penjelasan pak Wijaya yang kian menarik dan sambil memperhatikan bunga-bunga dan juga kupu-kupu yang sedang asik mengitari bunga-bunga itu, sungguh aneh bagi Jamal yang sedang fokus ke arah taman itu, pikirannya sudah tak lagi dapat menampung perkataan pak Wijaya, barangkali memang sudah mulai mencair pikiran Jamal.
“Bukannya alam ini begitu luas, lalu bagaimana kami bisa membacanya dan menemukan cintanya kupu-kupu sampai melupakan sayap pelanginya seperti yang bapak bilang,” tegas Jamal, memandang wajah beliau sambil menggaruk rambutnya dengan tangan kanan.
“Benar katamu Nak Jamal, alam ini memang luas tapi lihatlah sekitar kita bukankah ini juga termasuk alam, coba kamu baca alam ini! Kau akan menemukan cerita bunga-bunga yang bergoyang-goyang, menemukan cerita pohon yang menjatuhkan daunya dan buahnya”, jelasnya, sambil tangannya menunjukan ke berbagai tempat di taman itu.
Lalu pak Wijaya menunjukan tangannya ke arah kupu-kupu yang sedang terbang kian kesana-kemari dan singgah di berbagai bunga, sambil melanjutkan perkataannya tadi. “Kau lihat kupu-kupu itu?”
“Lihat paman”
“Sebenarnya, saat kamu membaca kupu-kupu. Kamu akan menemukan karakter seperti kita layaknya manusia, kamu lihat kupu-kupu yang berduaan itu. Sebenarnya mereka sedang bermesrahan menikmati alam ini, dan kau lihat kupu-kupu yang berwarna lorek coklat yang terbang menyendiri, itu adalah kupu-kupu yang memiliki sifat pemalu. Dan engkau lihat kupu-kupu yang singgah di bunga itu, sebenarnya kupu-kupu itu sedang menikmati cintanya dengan makanan kesukaannya.”
Pak Wijaya mulai melanjutkan ucapannya, sambil menyuruh mereka berdua membaca suasana yang ada saat ini, “ seperti halnya angin. Angin juga memiliki dua sifat kadang baik dan kadang juga kasar, angin yang baik akan memberikan kita kenikmatan akan rasa nyaman, seperti angin sepoi. Namun angin juga memberikan kerusakan seperti angin topan. Sama halnya juga api yang identik dengan kejahatan yang melahap segalanya, namun api juga bisa bersikap ramah dan kadang pula memberikan kehangatan saat kita kedinginan, begitu pula air.”
Tiba-tiba pak Wijaya berdiri dan berpamitan kepada kedua pemuda itu, seketika angin juga ikut menyambut kepergiannya bersamaan dengan suara burung-burung dan suara air mancur yang ada di dekat taman itu. Saat pak Wijaya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan pekarangan. Kala itu Jamal mulai berkata lagi, “Aku sungguh kaget San … rupanya pak Wijaya orangnya berpendidikan dan berpengetahuan luas tidak seperti orang-orang katakan”
Namun Sandi masih melamun memikirkan perkataan Pak Wijaya, sambil membaca situasi yang ada di taman bunga itu. Matanya masih saja fokus memperhatikan apa yang tadi dikatakan oleh beliau.
“Mungkin yang di maksud pak Wijaya tentang kupu-kupu yang melupakan sayap pelanginya, ketika kupu-kupu itu singgah pada bunga itu, tapi tidak membentangkan sayapnya, namun menyatukan sayapnya menjadi satu kesatuan yang utuh untuk bercinta dengan bunga dan bersatu bersama alam. Ya mungkin seperti itu,” pikir Sandi.
Penulis: Rijal Pratama
Editor: Ummi Ulfa. S
Untuk mendapatkan berita dan tulisan ter-update dari kami bisa bergabung ke grup Telegram melalui link berikut (KLIK DISINI)