Sastra

Cerpen; Santri Nekad

×

Cerpen; Santri Nekad

Sebarkan artikel ini

Part I

Seberang kelas satu Tsanawiyah yang terkenal dengan kelas Abu Nawas terdengar ricuh. Ya, Abu Nawas adalah sosok yang terkenal dengan kecerdikannya dalam menghadapi suatu masalah. Humoris dan agak nakal menjadi tambahan karakter pada tokoh Abu Nawas. Sesuai dengan pemberian nama pada kelas Tsanawiyah ini, penghuninya humoris sehingga sering membuat suasana gaduh dengan tawa mereka. Sama dengan karakter Abu Nawas, kecerdikan dan kepandaiannya dalam menguasai mata pelajaran tak bisa dihiraukan. Adib Ali Fikri yang mendapat isim laqob Ilul ini merupakan salah satu santri yang terkenal dengan pemikiran kreatif sesuai kaidah namun tak sesuai dengan keadaan.

“Besok puasa wajib, Lul,” kata Ari sambil bersandar di tembok yang sudah dilukis banyak kisah oleh santri maupun alumni dari Pondok Pesantren Maharotur Riyadh.

“Iya. Aku tahu,” jawab Ilul dengan rona kebimbangan.

Kemarin sore pengurus keamanan pondok memanggil Ilul yang sedang mencuci baju di samping kamar mandi. Derit timba dengan karet hitam yang mulai keropos termakan panas dan hujan. Ilul mengisi bak yang berisi baju kotor miliknya. Kang Yusuf memanggilnya untuk segera datang ke kantor keamanan karena ada panggilan dari orang tuanya.

“Ilul, bapak belum bisa ngirim uang saku. Kali ini kita gagal panen. Semua tanaman padi potong leher.”[1] Kata bapak dengan suara paraunya.

Tak ada respon dari Ilul. Sebelumnya hidup tercukupi. Sebulan pertama di pondok, makan enak tanpa kekurangan sedikitpun. Bahkan jika tak ada lauk dia memilih tidak makan. Kini bayangan hidup susah ada di depan pelupuk matanya. Banyak bayangan bagaimana dia akan hidup tanpa uang. Sekejap bayangan Bibi Tun terlintas. Ejekan perih di samping kursi rotan depan rumah masih teringat jelas. Detail ucapan dan mimik wajah masih saja menguasai pikiran Ilul.

            “Lul, kok diam saja. Bapak lagi ngomong juga!” suara tegas bapak membangunkan Ilul dari lamunan kekhawatirannya.

            “Eh-eh, iya Pak. Iya, gak apa-apa. Ilul bisa puasa kok.”

            “Maafkan, Bapak. Tapi segera bapak usahakan cari uang saku buat kamu. Jaga diri baik-baik. Ngaji sing sregep,” pinta bapak pada putra tunggalnya.

            Telepon jadul diletakkan kembali di atas meja pengurus. Ilul masih terdiam. Langkah apa yang harus ia lakukan untuk menyambung hidupnya. Tak mungkin jika dia menunggu kiriman dari rumah yang tak pasti datangnya. Pandangan Ilul menuju kaca luar. Banyak santri bersarung membawa kitab dengan tangannya. Mereka berjalan menyusuri jalan aspal hitam. Tanpa alas kaki merupakan hal lumrah bagi santri. Beberapa dari mereka kembali ke kamar. Ada juga yang mampir ke kedai dekat masjid untuk membeli jajan rentengan atau memesan kopi cap Brontoseno dengan harga sesuai kantong.

            “Keadaan mereka pasti sama denganku, sama-sama kurang. Tapi mereka menutupi dan tetap berjalan tanpa rasa khawatir. Pastinya aku mampu seperti mereka. Dan aku mampu merubah mindset seseorang yang merendahkanku,” batin Ilul.

            Satu per satu niat Ilul ditata kembali. Masa lalu yang menyebalkan karena menjadi korban bully ing membuatnya bangkit. Terlebih kalimat pedas yang keluar dengan mudahnya dari mulut Bibi Tun dan senantiasa terngiang, “Anak manja gak akan bisa hidup di pondok. Paling-paling dapet seminggu gak betah minta pulang.”

            Ya, kalimat itu menjadi alarm bagi Ilul jika dia down menghadapi masalah hidupnya. Ilul bertekad merubah dirinya yang semula introvert karena lingkungan sekolah yang tidak mendukung. Postur tubuh besar dan gemuk dengan skill pas-pasan dan tak memiliki bakat seperti ayahnya yang memiliki keterampilan qiro’[2]. Banyak keluarga menghujatnya sehingga dia mendapat tekanan dari banyak pihak.

“Huft, aku harus merubah mindset. Aku harus cari cara bagaimana aku bisa bertahan di sini tanpa kiriman dari orang tua,” ujarnya dengan nada tinggi.

`           Di balik beningnya jendela, seorang santri memegang kotak makan di dekat emperan toko kitab Al Bukhori. Toko yang menjadi tempatnya untuk menikmati hangatnya seduhan mi instan. Makannya lahap tanpa menghiraukan santri yang lewat. Tak disadari bumbu kriuk menempel di pipi dekat mulutnya. Di dalam ruangan keamanan, Ilul hanya bisa menelan ludah.

            “Kenapa aku gak jualan mi aja, ya? Kan lumayan,” ide Ilul tercetus begitu saja.

            Keadaan terhimpit yang membuatnya nekad untuk berjualan di area pondok. Hari Senin dan Kamis adalah hari wajib bagi santri untuk melakukan puasa sunnah. Selain bentuk kewajiban santri, hal itu juga sebagai riyadhah santri dalam menuntut ilmu. Hasil menuntut ilmu akan jauh berbeda jika dalam pelaksanaan dibarengi riyadhah.

            Di koridor depan taman sekolah, Ilul menjajakan dagangannya. Di bawah pohon jambu ia menggelar dagangannya. Selain rindang, pohon jambu yang tengah berbuah lebat itu bisa dia manfaatkan buahnya sebagai pengganjal perut sekaligus camilan.

Lokasi berjualan lumayan aman dari gerak pengurus. Belakang kamar santri adalah tempat tongkrongan santri selepas ngaji atau sekedar diskusi membahas permasalahan ringan atau muthola’ah kitab. Di pinggir halaman kecil terdapat sungai kecil yang masih bersih airnya. Jembatan kecil memanjang menjadi tempat favorit santri untuk nglalar hafalan. Satu kardus mi instan yang terdiri dari beberapa varian sudah siap. Mulai dari rasa soto sampai rasa hot jeletot. Semua sudah disiapkan.

            “Eh, Kang,” panggil Ilul pada salah satu santri kelas Ibtida’ yang lewat di depannya.

            Kang menjadi panggilan khas santri putra. Ada juga kang menjadi panggilan khas masyarakat Jawa untuk memanggil kakak laki-laki.

            “Iya ada apa, Kang?” santri yang memiliki ketinggian badan di bawah Ilul itu mendekat.

            “Puasa gak?” tanya Ilul sambil berbisik. Mata Ilul tampak mengawasi keadaan sekitar. Khawatir jika aksinya diketahui pihak keamanan.

            “Iya puasa lah, Kang. Emang kenapa sih?” wajah santri itu tampak kebingungan dengan tingkah Ilul yang seperti maling. Tolah-toleh dalam bahasa Jawanya.

            Mulut Ilul mendekat. Suara lirih di depan telinga santri berkopyah rajut itu.

            “Laper gak?”

            “Ya namanya juga puasa, Kang.”

            “Aku sedia mi. Mendung begini paling enak makan mi instan. Asapnya kemedul. Rasanya wuiiih jangan ditanyakan lagi. Mau gak?” seru Ilul menawarkan dagangan dengan cara halus.

            “Tapi, Kang,” raut wajah anak laki-laki itu tampak khawatir. Alisnya menyatu menandakan bahwa dia khawatir jika ketahuan.

            “Hah, udahlah. Lagian ini kan puasa sunnah. Kalau wajib beda lagi hukumnya.” Ilul masih saja menggodanya. Senyum tipisnya terus merayu agar mau ikut caranya.

            Santri itu diam bimbang antara membatalkan atau tetap lanjut puasa. Mengingat jika dibatalkan maka dia akan mendapat ta’ziran yang lumayan berat baginya. Mengkhatamkan lalaran nadzam kitab Aqidatul awam tujuh kali khataman di lapangan pondok putri. Dan pastinya membutuhkan waktu lama bagi dia yang masih pemula dalam membaca tulisan Arab. Satu sisi lain tubuhnya sudah mulai lemas karena sewaktu sahur dia tidak makan apa-apa kecuali air mineral saja. Keyakinannya mulai goyah namun seakan-akan malaikat bersayap putih datang dan memberi petunjuk agar tetap meneruskan puasanya.


[1] Bercak kecoklatan di area daun padi. Jika dibiarkan akan menyebar pada batang padi yang menyebabkan batang padi membusuk

[2] Membaca Al Quran dengan lagu

Editor : Ummi Ulfatus Sy