Urupedia – Membaca kisah hidup bapak guru bangsa satu ini memang tiada habisnya. Banyak hal yang bisa kita petik dari kisah-kisah perjuangannya, utamanya tentang kemanusiaan. Nilai luhur yang diajarkannya tidak begitu saja hilang dan sirna setelah mangkatnya pada 2009 silam. Nilai-nilai tersebut tetap terjaga, lestari dan diajarkan oleh para muhibbinnya. Abdurrahman Adhakhhil atau kerap disapa Gus Dur adalah salah satu pemikir Islam yang berkebangsaan Indonesia. Gus Dur juga merupakan presiden Indonesia ke-4.
Ada hubungan menarik antara Gus Dur dan masyarakat Tionghoa Indonesia. Pada era orde baru diskriminasi terhadap kaum-kaum Tionghoa banyak dilakukan oleh pemerintah. Tindakan represif pelarangan kegiatan peribadatan di tempat umum oleh kalagan Tionghoa, alhasil tempat peribadatan (Klenteng) menjadi sepi. Tidak ada suka ria layaknya hari raya pada umumnya. Tidak ada kegiatan peribadatan, tidak ada lampion di jalanan, tidak ada atraksi barongsai untuk ditampilkan, tidak ada atribut cina di manapun.
Namun ada pengecualian tertentu, semua boleh dilakukan dan ditampilkan, asalkan tidak di tempat umum. Semuanya tertuang jelas pada Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sejarah kelam tersebut tercatat akibat adanya rivalitas politik. Perayaan tahun baru Cina atau Imlek selama 32 tahun tidak pernah dirasakan oleh masyarakat Tionghoa.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah saat itu memang tidak mencerminkan kebhinekaan dan amanat undang-undang dasar yang jatuhnya melukai rasa kemanusiaan bangsa kita. Belajar dari itu, Gus Dur dengan berani mengambil langkah. Beliau mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan digantikan dengan Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Adanya Keppres ini sekaligus menjadi pertanda penghapusan rasialitas terhadap masyarakat Tionghoa.
Hendra Kurniawan mencatat kisah ini dalam bukunya Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020: 58). Perlu diketahui bahwa kebebasan memeluk agama atau kepercayaan telah dilindungi oleh konstitusi, tepatnya pada Pasal 28 huruf E jo 29 ayat 2. Layaknya agama-agama lain yang diakui oleh negara, masyarakat Tionghoa sejak saat itu bebas melaksanakan peribadatan.
Masih dalam buku yang sama, Hendra Kurniawan (2020: 58) mencatat tujuan dari perayaan Imlek adalah untuk menyambut musim semi setelah melalui musim dingin. Mereka menyambut suka cita musim semi layaknya menyambut kehidupan kembali setelah kematian, dimana musim semi menandakan mulai tumbuhnya tanaman-tanaman setelah terlihat mati tertimbun rimbun dinginnya salju.
Imlek diawali dengan membersihkan dari sampah dan debu-debu, yang nilai filosofisnya menggambarkan pembersihan diri dari kotoran batin guna menyambut tahun baru nanti. Penyambutan tahun baru bagi masyarakat Tionghoa dilakukan dengan keadaan tubuh bersih dari noda dan kotoran diri. Seperti dalam Islam dilakukannya zakat fitrah dalam menyambut idul fitri untuk menyucikan harta dan diri. Diri bagaikan tanah yang kosong kembali dan siap untuk ditanami.
Imlek di Indonesia sendiri sering tercatat dirayakan di bulan Januari-Februari. Di bulan-bulan ini yang memasuki musim panen buah-buahan dan curah hujan yang tinggi. Masyarakat Tionghoa pada saat merayakan tahun baru ini juga melakukan sedekah dan berbagi makanan untuk membantu sesama.
Menariknya, ada juga dari masyarakat Tionghoa yang datang ke pemakaman leluhur sebagai bentuk penghormatan serta merapal doa. Pada prinsipnya Imlek adalah bentuk syukur atas nikmat yang telah dikaruniakan Tuhan pada tahun-tahun sebelumnya, dengan harapan di tahun depan akan banyak karunia yang melimpah.
Karunia yang melimpah sendiri juga mempunyai hubungan dengan musim hujan di Indonesia. Mereka percaya bahwa apabila terjadi hujan menjelang perayaan Imlek, maka aka nada harapan dan rejeki di tahun barunya nanti. Selain itu, Imlek juga menjadi lambang keharmonisan dalam tata masyarakat bumi. Bersyukur kita hidup di Indonesia yang damai ini. Tulisan ini ditulis untuk mengenang jasa kemanusiaan Gus Dur pada masyarakat Tionghoa dan hari raya Imleknya.
Penulis: Muhamad AjiP (Bengkalis, 23 Januari 2023/1 Rajab 1444 H)
Editor: Ummi Ulfa