Berita

Soal Larangan Salam Lintas Agama, Gus Yahya: Tidak Semua Salam adalah Ibadah

×

Soal Larangan Salam Lintas Agama, Gus Yahya: Tidak Semua Salam adalah Ibadah

Sebarkan artikel ini
urupedia media urup berita nasional Kick OFF Harlah Satu Abad Nahdlatul Ulama PBNU Usung Tema ini
Tangkapan layar Ketua Umum PBNU Gus Yahya -TVNU-Youtube

Urupedia Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, yang akrab disapa Gus Yahya, menegaskan bahwa anggapan semua salam sebagai ibadah tidaklah tepat. Menurutnya, salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu termasuk dalam ibadah formal.

“Karena ada klaim bahwa assalamualaikum adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen),” ujar Gus Yahya dalam Halaqah Ulama di kantor PBNU Jakarta, Selasa (11/6/2024), menyikapi fatwa MUI terkait ijtima ulama soal larangan salam lintas agama.

Gus Yahya menjelaskan bahwa salam yang digunakan dalam pidato atau pertemuan lebih berfungsi sebagai simbol kerukunan antarumat beragama, bukan sebagai ibadah. Ia memberi contoh praktik keagamaan di Turki dan tindakan Paus Fransiskus yang tidak selalu memulai pidato dengan salam tertentu, yang menimbulkan pertanyaan apakah salam tersebut dianggap mencampurkan ibadah atau tidak.

“Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?,” kata Gus Yahya seperti dikutip dari situs resmi NU.

Lebih lanjut, Gus Yahya menjelaskan bahwa salam “Namo Buddhaya” sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme. Namun, ia menekankan bahwa Buddhisme tidak memiliki konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti agama-agama lain. Meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.

“Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?,” jelasnya.

Gus Yahya juga mengingatkan pentingnya perubahan pola pikir di kalangan ulama dan pemikir Islam mengenai lintas agama. Ia menilai bahwa banyak fuqaha masih dipengaruhi oleh pola pikir era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya memahami konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Ke depan ini menjadi krusial lagi karena sekarang ini berbagai aktor yang sangat kuat bertarung melakukan mainstreaming dari gagasan-gagasan agar menjadi mindset dari masyarakat,” ungkapnya.

Ia mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam upaya mainstreaming yang tidak jelas asal-usulnya, sehingga tidak menganggap gagasan tersebut sebagai bagian dari fatwa agama.

“Gagasan-gagasan yang asal-usulnya tidak jelas seperti sekularisme dapat menjadi bagian dari strategi mainstreaming yang mempengaruhi tokoh agama dan ulama untuk memberikan persetujuan, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari agama. Ini sejak lama, dan kita harus berpikir jernih dalam soal itu,” pangkasnya.