Judul Buku : Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah
Pengarang : K.H Husein Muhammad
Penerbit : IRCiSoD
Tahun terbit : 2020
Jumlah halaman : 234 halaman
Peresensi : Ummi Ulfatus Syahriyah
“Apabila kehidupan kita hari ini masih belum sudi melihat secara jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, dan jika kita masih terus mengabaikan, bahkan mengingkari fakta bahwa sebagian perempuan lebih unggul daripada sebagian laki-laki, secara intelektual maupun spiritual, maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan.” (hal. 65) Sementara tujuan tertinggi manusia diciptakan tak lain adalah untuk ilmu pengetahuan dan keadilan, sebagaimana yang dikutip pengarang dari Abu Bakar ar-Razi.
Buya Husein—sapaan akrab beliau, K.H Husein Muhammad—berusaha memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender melalui beragam tulisan dalam buku-bukunya. Salah satu buku dari beberapa sekian bukunya, berusaha menumbuhkan kembali sejarah ulama perempuan yang sempat tenggelam—entah karena minim media dan tulisan yang mempublish ataukah memang maraknya budaya patriarki—.
Kita tahu bahwa sematan kata ‘ulama’ bermakna orang yang berpengetahuan/berilmu. Secara konteks ulama bermakna orang yang memahami dan mendalami ilmu din/agama. Dalam hal ini, mayoritas yang dikenal khalayak adalah ulama laki-laki. Jarang perempuan ulama yang menonjol dan dinarasikan dalam tulisan pada publik.
Buku ini membuka kacamata kita untuk mengenal mereka para perempuan ulama yang menduduki panggung sejarah dengan keilmuwan yang luar biasa, sehingga mekahirkan generasi yang hebat. Selain itu buku ini menyadarkan kita akan peran dan eksistensi perempuan dalam kehidupan, baik lingkup kecil dalam keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia. Buku ini berisi lima bab yang membahas tentang deklarasi Kongres Ulama Perempuan (KUPI) yang meneguhkan eksistensi perempuan, definisi perempuan ulama, biografi para perempuan ulama sepanjang sejarah, perjuangan perempuan Indonesia untuk keadilan dan kesetaraan gender, pelibatan para ulama dalam keadilan gender, serta ditutup dengan narasi Buya Husein tentang keistimewaan perempuan sebagaimana dikutip dari al-Haddad dalam mukaddimah bukunya, “Imra’atuna fi as-Syari’ah wa al-Mujtama’”.
Sebagian kutipan tersebut berbunyi, “Perempuan adalah separuh jiwa bangsa dan umat manusia dengan potensinya yang besar dalam seluruh aspek kehidupan. Bila kitamerendahkannya dan membiarkannya menjadi hina dina, maka itu adalah bentuk perendahan dan penghinaan kita atas diri kita sendiri dan kita rela dengan kehinadinaan kita.” (hal. 220) Mafhum mukhalafah dari narasi ini adalah bahwa memuliakan dan menghargai perempuan adalah bentuk cinta dan penghormatan kita atas eksistensi kita sendiri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mulia tidaknya seseorang tergantung pada bagaimana ia menghargai perempuan.
Diantara biografi perempuan ulama yang diulas dalam buku ini yakni Khadijah binti Khuwailid, Asma binti Abu bakar, Aisyah binti Abu bakar, Zainab binti Ali bin Abi Thalib, Amrah binti Abdurrahman, Sukainah binti al-Husein, Rabiah Al Adawiyah Al-Bashriyyah, Nafisah binti al Hasan, Zubaidah binti Abu Ja’far al Manshur, Khadijah binti Sahnun, Sutaitah (Amat al Wahid), Aisyah binti Ahmad al Qurthubiyah, Karimah al Marwaziyyah, Syuhdah Fakhr an-Nisa, Fatimah as Samarqandi, Fatimah binti al-Mutsanna, Fatimah binti Abbas al-Baghdadiyyah, Asiyah al-Ba’uniyah, Teungku Fakinah, Fatimah al-Banjari, Nabawiyyah Musa, Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari, Asma al-Murabit, Rahmah el-Yunusiah, Nazhirah Zainuddin, Aisyah binti As-Syathi’, Siti Walidah Ahmad Dahlan, Huda Sya’rawi, Zainab al-Ghazali, Amina Wadud Muhsin.
Dilihat dari judulnya memang buku ini berkisah tentang biografi perempuan ulama. Jadi buku ini mayoritas mengisahkan biografi ulama perempuan sebagaimana nama-nama yang peresensi tulis si atas. Di dalam kisah tersebut penuh ibrah perjalanan hidup para perempuan ulama yang sangat menginspirasi. Bahkan diantara mereka menjadi bagian dari lahirnya ulama-ulama besar sekelas Imam Syafi’i dan Ibnu Arabi. Dari para ulama perempuan tersebut ada yang menggeluti dunia tasawuf, menjadi wanita hebat dengan sikap wira’i dan kezuhudannya, keilmuwannya yang amat luas, serta perjuangannya yang sangat getol dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Beberapa ibrah yang dapat kita ambil dari kisah perempuan ulama dari buku ini adalah untuk senantiasa semangat belajar. Stereotip yang disematkan pada perempuan yang mengatakan bahwa ‘mengapa perempuan sekolah setinggi-tingginya pada akhirnya juga berakhir menjadi ibu rumah tangga?’ layaknya harus kita sikapi dengan tegas dan bijaksana. Nabawiyyah Musa, salah seorang feminis Mesir abad ke-19 menyatakan bahwa kemajuan perempuan adalah faktor dibalik kemajuan bangsa-bangsa. Bahkan para ulama perempuan dalam buku ini tak jarang yang akhirnya melajang dan tidak menikah karena mendedikasikan dirinya untuk kelimuwan dan memperjuangkan hak perempuan.
Secara keseluruhan, buku ini membuka mindset kita untuk senantiasa memperjuangkan keadilan gender. Dari sejarah perempuan ulama yang telah kita baca akan membuka pola fikir agar tidak diskriminatif. Karena di Indonesia sendiri masih kerap kali ditemui ketidakadilan dalam memperlakukan perempuan. Sehingga perbincangan dan perdiskusian antar aktivis perempuan masih begitu masif untuk memperjuangkannya. Diantara problematika yang dihadapi adalah kekerasan terhadap perempuan yang masif, kesadaran akan kekerasan yang semakin berkembang dan meluas bahkan mengancam eksistensinya, tantangan dan perlawanan dari kelompok keagamaan tradisional. Akan tetapi para pejuang keadilan gender ini memiliki keyakinan bahwa keadilan bagi perempuan adalah sesuatu yang sangat mungkin dan harus diwujudkan sehingga kajian yang dilakukan para aktivis perempuan begitu santer. Selain tantangan yang bersifat kultural juga terdapat tantangan yang sifatnya struktural, yakni berupa kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan.
Ulama sangat perlu untuk melibatkan diri dalam hingar bingarnya isu gender. Alasannya teks-teks dalam agama akan menjadi corak yang sangat mempengaruhi konstruk sosial setelah diterjemahkan oleh para ulama.
Satu hal yang peresensi ingin tahu jawabannya dari buku ini adalah di bagian mana pengarang memosisikan diri ketika mendapati argumen dan pandangan para feminis yang berseberangan dengan syariat sebagaimana Amina Wadud yang sempat mengambil langkah kontroversial saat menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dan perempuan. Meski di dalam narasi buku ini telah disebutkan bahwa Amina Wadud mengambil hadis dari Ummi Waraqah yang dianggap memiliki tingkat validitas yang lebih tinggi daripada hadis yang melarang. Di dalamnya diterangkan bahwa kualitas individulah yang menjadi ukuran seseorang sebagai pemimpin, bukan jenis kelamin.
Terlepas dari pendapat peresensi tersebut, Buya Husein dalam mengemas buku ini menginginkan para pembaca untuk membuka pola pikirnya atas eksistensi dan peran perempuan sehingga tercipta kehidupan yang berkeadilan bagi perempuan.