Feature

Bagian I: Biografi dan Perjalanan Heroik Bapak Wiono, Pendiri Madrasah Diniah Soca Seganten Desa Sumberdem

×

Bagian I: Biografi dan Perjalanan Heroik Bapak Wiono, Pendiri Madrasah Diniah Soca Seganten Desa Sumberdem

Sebarkan artikel ini
Sebelah kiri, foto Bapak Wiono (Dok. Istimewa-Ummi)

Urupedia-Pagi menjelang siang di hari Jumat itu penulis berbincang santai dengan narasumber, sesekali beliau mengepulkan rokok dan menyeruput kopi. Beliau memaparkan cerita dengan sangat detail, setiap bagiannya dijelaskan dengan rinci dan sempurna.

Pada saat itu wilayah sekitar masih berupa persawahan dan belum banyak rumah kokoh berdiri di sekitarnya. Bapak Wiono merupakan anak sulung yang lahir dari rahim Ibu Sri Utamah. Tepat kelahirannya di Desa Kampung Baru, Kecamatan Wonosari Kabupaten Malang. Bayi ini lahir pagi hari menjelang subuh, masyarakat sekitar mengistilahkannya dengan julung kembang, bayi yang terlahir seiring terbitnya fajar. Terdapat asumsi bahwa bayi yang lahir pada saat fajar menyingsing rawan dimakan oleh harimau, maka dari itu bayi tersebut disembunyikan. Bayi tersebut disembunyikan di sebuah tempat yang disebut juglangan. Tujuannya agar nanti diambil dan seakan dilahirkan kembali seusai subuh. Filosofinya, karena sudah terlanjur lahir dari guwa garba nya ibu menjelang subuh dan dianggap waktu itu berbahaya, maka disembunyikan dahulu ke dalam juglangan yang merupakan guwa garba bumi. Kemudian nantinya akan terlahir kembali dari sana. Dengan kelahirannya menjelang subuh ini banyak orang yang memimpikan sosok beliau cerah terang benderang sebagaimana matahari terbit.

Menginjak umur enam tahun, beliau diboyong ke Desa Sumberdem dan mengenyam pendidikan di sana. Beliau mengenyam pendidikan dimulai pada tingkat sekolah dasar di SDN Sumberdem III. Karena wilayah Sumberdem pada saat itu masih berupa sawah dan dipenuhi pepohonan, maka berangkat ke sekolah pun harus melewati persawahan. Jalan yang dilalui masih berupa bebatuan. Betapa penuh kesederhanaan kehidupan pada saat itu, sarapan pagi hanya dengan sepotong singkong atau umbi bakar lalu berangkat ke sekolah, itupun jika ada yang dimakan. Anak-anak sekolah masa itu belum seperti sekarang yang memakai sepatu dengan rapi, mereka hanya memakai sandal.

Suatu ketika, Bapak Satiman, ayah dari Wiono memberikan ia sepatu. Karena merasa eman maka sepatu itu hanya ditenteng ketika berangkat ke sekolah, ketika mendekati gedung sekolah, mencuci kaki di sungai sebelah lalu baru sepatu dipakai. Bahkan ketika kelas diakhiri dengan doa, sepatu pun dilepas kembali untuk ditenteng, berjaga-jaga agar ia tidak mudah rusak. Beliau bercerita bahwa anak-anak pada masa itu memiliki pemikiran jika sepatu itu dipakai terlampau sering maka akan mudah rusak, maka dari itu jarang dipakai agar awet. Anak-anak zaman sekarang jika sepatu itu rusak maka mereka akan berfikir untuk mencari ganti dan membelinya. Ketika masa itu jangankan membeli sepatu, untuk membeli sesuapan nasi pun butuh keringat yang begitu deras mengalir. Ketika Wiono kecil menginjak kelas 1 SD, Bapak Satiman menjadi tukang kebun di SDN Sumberdem III. Di mana sebelumnya bekerja di pasar untuk membuat lincak, tempat berjualan para pedagang yang terbuat dari bambu.

Setiap pulang dari pasar, Wiono kecil sering dibawakan roti terang bulan. Di sinilah orang terdahulu sebenarnya sudah mengetahui ilmu parenting, jikalau membelikan barang atau makanan anak itu jangan diajak langsung ke tempatnya namun dibelikan dan dibawakan ke rumah. Tujuannya, ketika si anak ingin membeli tidak akan merengek dan menangis sejadi-jadinya dan bersikeras ke tempat di mana barang/makanan itu dibeli. Demikian yang dipaparkan Bapak Wiono.

Perlengkapan sekolah masa itu pun belum sesempurna saat ini, tas sekolah yang dipakai adalah tas kresek, dengan buku berupa kertas buram yang merupakan olahan dari bambu, serta alat tulisnya memakai pensil. Beliau masih ingat betul dengan pabrik yang mencetak kertas buku itu pabrik ‘Leces’ yang terletak di Probolinggo.

Anak-anak sekolah dasar kelas 1-2 diharuskan memakai pensil sementara jika menginjak kelas 3 baru boleh menggunakan alat tulis bolpoin. Beliau mengingat filosofi tersebut yang disampaikan oleh seorang guru yang mengajarnya di bangku MTs. Guru itu mengawalinya dengan pertanyaan, “Kenapa anak kecil tidak boleh memakai bolpoin?” Lalu ia melanjutkan,”Karena kesalahan anak kecil itu masih bisa dihapus. Tapi jika mereka sudah menginjak dewasa mereka harus berhati-hati jangan sampai melakukan kesalahan.” Setiap goresan yang dituliskan harus penuh kehati-hatian agar tidak sembrono. Ini bukan hanya sekadar filosofi antara pensil dan bolpoin saja melainkan kehidupan yang begitu kompleks. Ketika menginjak usia baligh, anak-anak pun harus berhati-hati dengan tindakan dan ucapan yang mereka lontarkan agar meminimalisir kesalahan. Karena hal itu akan menjadi penilaian bagi orang lain.

Ketika Wiono kecil memasuki kelas 4 bangku sekolah dasar, setiap malamnya ia dan adiknya yang bernama Suhariyono diajak untuk nyuluh (mencari; red) ikan  dan belut di sawah oleh Bapak Satiman. Beliau menceritakan dua kaleng selalu penuh dengan ikan dan belut. Setiap malam minggu personil bertambah, Bapak Sukirnadi, tetangga sebelah rumah juga andil dalam mencari ikan dan belut. Hasil penangkapan ikan dan belut pun lebih banyak mencapai tiga sampai empat kaleng. Pada akhirnya mencari ikan menjadi hobi tertentu bagi Wiono ketika bangku SMP.

Sesekali beliau menyelingi dengan kisah romantisme masa lalu yang begitu epik, alam yang masih begitu asri dengan tanaman yang melimpah. Hewan seperti monyet pun masih berkeliaran di sekitar rumah dan berlarian kemana-mana. Buah-buahan sekeliling rumah masih begitu sering dijumpai untuk sekadar dijadikan camilan dan dibawa sekolah, buah-buahan itu sudah jarang sekali ditemukan saat ini, seperti buah gowok, rau, dan buahnya rotan. Beliau menuturkan meski buah rotan itu berasa sepat, namun tetap dimakan karena memang tidak ada jajanan lain. Beliau mengilustrasikan buah gowok seperti bentuk buah apel namun ukurannya kecil.

Pada akhir sesi, menit ke-16 beliau memberikan wejangan untuk senantiasa berkehidupan sehat sebagaimana sunah rasul, menyediakan ruang dalam perut untuk sepertiga makanan, sepertiga minuman, dan sepertiga udara. Kemudian menganjurkan untuk tidak minum langsung ketika usai makan.

Perjalanan kedua

Pagi hari Selasa sebelum beliau berangkat bekerja, saya menanyakan beberapa hal. Usai sarapan dengan sepiring nasi dan lauk pauk sayur mayur, kami melangsungkan perbincangan. Menjelang lulusan kelas 6, nama Lulut Eko Wiono diganti menjadi Anut Eko Wiono. Sempat ingin diganti nama menjadi Syaifuddin Zuhri namun Bu Kus, kepala sekolah pada saat itu tidak memperbolehkan mengganti total nama asli, hanya boleh sebagian. Pergantian nama itu dikarenakan keminderan Wiono terhadap nama Lulut yang dipakai oleh seorang perempuan dan sering mendapat gojlokan dari teman-teman kecilnya. Dengan begitu, Wiono kecil sempat murung dan merasa tidak percaya diri beberapa waktu. Akhirnya Bapak Satiman memberikan nasihat dan menggantikan namanya dari Lulut menjadi Anut. Sebenarnya Lulut dan Anut memiliki makna yang sama, yakni patuh dan taat, nurut. Secara keseluruhan, Anut Eko Wiono memiliki arti ‘manut nang barang siji’ (taat/patuh pada satu hal yang dijadikan pedoman). Eko berarti satu dan Wiono bermakna tangguh.

Setelah kelulusan dari Sekolah Dasar, ia menghendaki untuk melanjutkan studi di Pesantren. Namun hal ini hampir tercegah oleh Bu Kus, karena tidak memperbolehkannya melanjutkan studi di sana. Bu Kus menyarankan melanjutkan studi di daerah Kepanjen ataupun sekitarnya. Di sisi lain, Bapak Satiman tetap menyarankan untuk pergi ke pesantren menimba ilmu agama. Bapak Satiman mengatakan bahwa sebagai orang tua beliau tidak memiliki banyak harta sehingga tidak dapat memberikan warisan kekayaan namun hanyalah pengetahuan dan ilmu. Hal ini diingat Bapak Wiono hingga masa tua. orang tua tak memiliki harta benda dunia, bisanya hanya memberikan fasilitas sederhana dan secukupnya untuk sekolah dan menimba ilmu. Oleh karenanya, dalam mencari ilmu harus penuh kesungguhan dan kerja keras. Ketika sudah mendapatkan ilmu tersebut diamalkan dlam kehidupan. Bapak Satiman sangat berpegang teguh pada dhawuhnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Bapak Wiono memaparkan bahwa beliau pernah memberikan nasihat, jikalau seseorang ngugemi ilmu, maka harta benda dan pangkat akan ikut dengan sendirinya.

Latar Belakang Pendidikan

Beliau melanjutkan studi di MTs Wahid Hasyim, Ngajum selama tiga tahun. Ketika masa ini, terdapat satu kenangan yang beliau ingat. Karena tidak mengikuti upacara bendera, dihukum untuk membeli semen. Hal ini dilatar belakangi oleh keadaan ekonomi. Wiono kecil memilih untuk jalan kaki daripada naik angkot dan membayar 50 rupiah. Merasa perjuangan orang tuanya begitu berat dan besar karena sudah menyekolahkan lima orang anak. hukuman ketidakhadirannya mengikuti upacara bendera tidak segera ditunaikan karena memang tidak ada uang untuk membeli semen. Akhirnya sang Guru mendatangi rumah Wiono. Setelah mengetahui keadaan yang sebenarnya dari kondisi keluarga dan rumah gubuk yang sederhana itu (rumah yang terbuat dari anyaman bambu dan beberapa bagiannya berlubang). Wiono memperagakan dan menggambarkan bunyi jendela rumah yang jika dibuka akan menimbulkan suara karena saking tua dan lapuknya. Beliau menggambarkan peta rumah saat itu dengan detil, ada dua buah kamar, ruang tamu, dan dapur serta lumbung penyimpanan makanan. Rumah itu dibagi menjadi dua bagian, sebelah utara untuk kamar dan ruang tamu dan sebelah selatan untuk kamar mandi dan lumbung. Dua guru itu tidak tega bahkan sampai meneteskan air mata akhirnya mereka membebaskannya dari hukuman. Wiono pun juga dibebaskan dari biaya uang gedung dan SPP.

Jika malam tiba dan mendengarkan suara ‘nguk, nguk, nguk,’ sontak semua anggota keluarga merasa ketakutan bahkan semua warga desa. Suara itu berasal dari mobil ‘petrus’ penembak misterius. Penembak misterius itu menculik para sasaran pada karung dan membawanya ke daerah Sobrah dan menembaknya di sana.

Masa Pendidikan Pesantren

Beliau mengenyam pendidikan pesantren seusai menamatkan pendidikan madrasah tsanawiyah. Melanjutkan madrasah aliyah ke MA Hasanuddin Siraman, Blitar sambil nyantri di Pesantren Hidayatul Mubtadiien. Karena Wiono begitu iba dengan orang tuanya, kondisi ekonomi tidak memungkinkan, ia menimba ilu di pesantren dengan ngabdi di ndalem Yai. Agar ia diberikan tugas dan kewajiban oleh Mbah Yai maupun Bu Nyai. Pesantren pertama yang  beliau tempati adalah milik Mbah Yai Najib, suatu ketika karena ingin membantu Yai, Wiono pergi ke kebun dan mencari Mbah Yai Nadjib namun di sana yang ditemuinya justru sosok sepuh yang tak lain adalah abahnya Yai Nadjib. Akhirnya Wiono diberi satu petak sawah untuk ditanami beragam tanaman agar dirawat.

Seusai menginjak kelas dua aliyah, Wiono menimba ilmu di beberapa pesantren tak hanya di Siraman saja, yakni pesantren di daerah Selotumpuk (Selatan Wlingi), beliau tergiur mondok di sini karena MTQ 1 Nasional. Menggali ilmu qira’ah dengan dalam bersama Yai. Yai Makashi (Popoh), Tangkil alim ilmu falak se-Jawa Timur pada masanya. Mondok di Kasim, Yai Harun. Salah satu puteranya, “Gus Yusuf” termasuk ahli Quran. mondok di Gading, di Tlogo Mbah Yai Ali, Ploso Kediri.

Pada saat itu Wiono menderita penyakit paru-paru basah, hanya menyisakan tubuh kurus kering tulang dan kulit. Pada suatu malam, ia frustasi dan keluar ke tengah kebun yang rimbun. Ia terbayang sosok lelaki sepuh lalu menyuruhnya untuk merokok. Akhirnya Wiono  merokok dan itu menjadi obat dari sakitnya.

Di pesantren Gondang, Wiono dihukum karena tidak mampu membayar seragam akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari Pesantren. Kemudian Wiono beralih ke Talun, ia diterima dengan baik meski tidak memakai seragam pesantren. Di sana ia menjadi murid kesayangannya Gus Zaki, bahkan sempat diberi beberapa kitab, di antaranya lima jilid kitab fenomenal Al Ghazali, “Ihya’ ulumuddin” terbitan Beirut. Jika ditotal 8 tahun lebih mengenyam pendidikan pesantren. Selama aliyah mondok tiga tahun, dan pasca aliyah mondok lagi selama 5 tahuhan.

Untuk berkeliling dan pergi ke beberapa pesantren, Wiono mengayuh sepeda onthel pemberian pegawai telkom, tetangga Mbok Rondo. Mbok rondo ituyang katanya merupakan istri dari tokoh agama saat itu, ia tidak memiliki anak dan ahli waris sementara suaminya telah meninggal. Maka daripada para tetangga yang mengurus, para warga sekitar meminta beberapa anak pondok untuk merawatnya. Ndilalah, Wiono dan salah satu temannya, Qomar dicondongi si Mbok. Akhirnya mereka berdua yang setiap hari mengechek keadaan Mbok. Karena tetangga sebelah merasa kasian, maka memberikan sepeda onthel untuk Wiono pulang pergi dari rumah si Mbok ke pesantren.

Di pesantren Siraman saat berada di kelas 2, Wiono juga mengajar qiraah, nahwu dan shorof. Suatu hari, Wiono tak tahu menahu jika sang Guru qari berhalangan hadir karena sakit. Akhirnya atas mandat yang didengar dari beberapa santri putri, Wiono ditunjuk sebagai badal Ustadz tersebut. Saat itu, Wiono mengajar kakak kelas juga, tak hanya santri yang sebaya. Kemudian keesokan harinya sambil bercerita dengan gelagat senyum dan sedikit tertawa, ia mengatakan bahwa ia langsung tenar. Ketika pagi hari, ia berada di serambi masjid dan terlihat beberapa santri putri berjejeran di pagar masjid meliriknya.

Ketika berada di Pesantrennya Mbah Yai Nadjib, Wiono sering diajak keluar ke mana mana menghadiri undangan. Sebelum beliau berangkat, Wiono diperintahkan untuk memijat. Di sana, Wiono juga merawat dua anak perempuannya, salah satunya yang kecil bernama Fia yang saat ini menjadi dosen UNIRA Malang. Terakhir perjalanan mondoknya di Pondok Imam Syafii Bangkalan Madura selama satu minggu. Di sana ia mempelajari kitab yang mempelajari Al Quran dilengkapi dengan dalil haditsnya.

Pernikahan

Wiono muda merasa iba dengan tenaga orang tuanya yang harus menyekolahkan lima anak sekaligus, tiga diantaranya adalah anak dari saudara-saudaranya. Di saat ramadan, Wiono muda berkeliling musala ke musala guna mengechek dan mengontrol mereka yang menghidupkan malam suci dengan lantunan kalam suci, dan memberikan arahan untuk mematikan mikrofon musala jika sudah menginjak jam 10 malam, dikarenakan dapat mengganggu istirahat warga. Dari sini penulis mulai memberikan analisa bahwa pemikiran Bapak Wiono menghargai liyan, memiliki rasa tenggang rasa dan toleransi mengingat masa itu warga sekitar belum begitu paham betul tentang Islam itu sendiri dan orang-orang sekitar desa banyak yang memiliki sifat keras. Di sisi lain, Wiono muda berseberangan pemikiran dengan salah satu tokoh, mengingat pengeras suara tadarusan itu tokoh tersebut berasumsi kenapa harus dimatikan diatas jam sepuluh padahal juga digunakan sebagai syiar Islam. Namun di sini Wiono muda berusaha memahami betul peta dan pola sosial keragaman watak dan karakter warga. Syiar Islam pun tetap berjalan namun dengan cara perlahan dan dengan cara yang penuh sabar.

Bapak Satiman semakin renta dan sakit-sakitan, karena merasa iba Wiono muda meminta beliau untuk segera melamarkan seorang gadis. Beliau menawarkan dua orang gadis dari dusun sebelah namun belum direstui oleh semesta. Satu gadis teman di saat sekolah menengah pertama dan satu lainnya merupakan santri generasi pertama yang diajarnya sepulang dari pesantren.

Sosok Wiono muda kemudian menaruh hati kepada seorang wanita yang bernama Erik Indra Yanti, yang merupakan gadis tetangga Dusun, yakni Sumbergelang. Hal ini sempat menimbulkan ketidakridaan Bapak Satiman karena terdapat suatu hal yang mengganjal di hati. Ketika saat itu memang agama Islam belum tersebar secara menyeluruh dan dipahami oleh elemen masyarakat Desa Sumberdem. Sehingga beberapa dusun ada yang acuh dan sempat memberikan olokan kepada mereka yang menyebarkan ilmu keagamaan.

Erik Indra Yanti merupakan gadis yang lahir dari pasangan Ibu Karep dan Bapak Tomo Dain (pada saat itu terkenal dengan pejagal sapi). Wiono memilih Erik karena sempat mendapatkan informasi dari gurunya bahwa di dusun sebelah ada seorang wanita yang memiliki tekad kuat untuk menimba ilmu meski rela harus berjauhan dan rela berpisah dengan orang tua. Tak jarang Erik mendapatkan olokan dari beberapa saudara dan pencegahan dari orang tua. Namun ia tetap maju terus untuk bertahan menimba ilmu di Pesantren Gondang.

Seusai mengisi acara keagamaan, Wiono dan beberapa rekan santri sesekali mengunjungi rumah Erik. Mereka mendapatkan sambutan hangat dan suguhan cenil yang akan menjadi bakal dagangan esok pagi di pasar. Karena saat itu Ibu Karep memang bermata pencaharian sebagai pedagang cenil di pasar Sumberdem…..(bersambung)

Index