Feature

Bagian II: Biografi dan Perjalanan Heroik Bapak Wiono, Pendiri Madrasah Diniah Soca Seganten Desa Sumberdem

×

Bagian II: Biografi dan Perjalanan Heroik Bapak Wiono, Pendiri Madrasah Diniah Soca Seganten Desa Sumberdem

Sebarkan artikel ini
Sebelah kiri, foto Bapak Wiono (Dok. Istimewa-Ummi)

Urupedia- Cikal bakal berdirinya madrasah bermula dari kegelisahan Wiono sepulang pesantren. Pada tahun 1996, ia mendatangi beberapa pemuda untuk dinegoisasi dan diajak belajar bersama. Akhirnya mereka bersepakat untuk belajar keagamaan bersama dengan beberapa materi pesantren seperti fikih dan nahwu. Pada saat itu kitab nahwu yang dipakai lumayan berkelas bagi pemuda desa yang belum pernah sama sekali mengenyam pendidikan pesantren, yakni Jurumiyah dan Al Imrithy. Selanjutnya pada 1998, beliau mendirikan organisasi pemuda yang berada di Sumberdem yang disebut dengan “OPIS” kepanjangan dari Organisasi Pemuda pemudi Islam Sumberdem. OPIS ini diketuai oleh Wiono dan wakil organisasi Purwati yang sekarang menjabat sebagai Lurah Desa Sumberdem. OPIS sempat mengadakan pengajian umum di lapangan yang dihadiri oleh beberapa tokoh agama pada saat itu, baik tokoh agama Islam maupun agama Kristen. Karena pada saat itu memang kehidupan keberagaman di Sumberdem begitu rukun sehingga melibatkan beragam unsur ketika mengadakan acara besar.

Setelah berdirinya OPIS, Wiono merintis berdirinya khataman Al Quran yang diadakan di Masjid (kidul). Dua putra kecilnya sering diajak khataman dan mengikuti pembelajaran yang dilakukan. Pada tahun 2008, beliau diamanahi tanah wakaf di Desa Sumberingin. Kemudian tanah itu dikelola sedemikian rupa hingga menjadi tempat ibadah. Awal mula mendirikan madrasah di musala kecil itu yang nampak berdindingkan anyaman bambu amat sederhana menampung 8 santri. Namun lambat laun santri itu bertambah. Wiono berinisiatif untuk mengajukannya kepada Kementerian Agama. Beliau merupakan sosok yang amat sederhana. Beliau menceritakan ketika menyetorkan proposal pengajuan pendirian madrasah itu menggunakan sepeda yang biasa digunakan untuk mencari pakan kambing, serta beralaskan sandal jepit. Beberapa waktu kemudian, pihak Kementerian menyurvei tempat, mereka terkagum karena tempat sekecil dan sesederhana di desa itu bisa menerima dan didatangi oleh banyak santri. Dengan dukungan masyarakat dan pemerintahan akhirnya diterbitkan sertifikat wakaf.

 Fungsi tanah wakaf sebagai mushala terhenti karena lokasinya berdekatan dengan masjid baru. Sehingga tempat itu sampai saat ini diberdayakan menjadi Taman Pendidikan Al Quran (TPQ) dan Madrasah Diniyah (Madin) saja. Marasah semakin berkembang pesat, fasilitasnya pun semakin memadai. Dari sebuah gubuk sederhana berdinding anyaman bambu, dibangun menjadi dinding tembok. Lalu gedung yang mulanya hanya satu lantai akhirnya ditambah lagi lantai dua.

Beliau mendirikan madin dan TPQ ini dengan nama “Soca Seganten.” Ada dua alasan mendasar yang melatar belakangi penamaannya. Pertama, diambil dari nama Pesantren seorang kiai yang berada di daerah Dilem, Kepanjen dengan nama Pesantren Al ainul Bahiroh, yang artinya pandangan yang luas. Jika dialih bahasakan menjadi bahasa jawa menjadi “Soca Seganten.” Kedua, nama Soca Seganten tak secepat dan sesingkat itu muncul tiba-tiba. Seusai Wiono menyalin tulisan layang manuskrip dari nenek moyangnya, beliau menyimpulkan bahwa kepahaman seseorang akan ajaran tauhid yang berada dalam layang tersebut bisa diraih dengan kejelian seseorang melalui pandangannya. Pandangan di sini tak hanya pandangan mata saja melainkan pandnagan bathiniyah yang berupa hati. Karena mata dzahiriyah saja tidak cukup melainkan perlu dilihat dengan dimensi lain melalui mata bathin. Malam harinya, ia bermimpi ditemui oleh empat raja dari kerajaan besar, yakni mulai dari Kerajaan Blambangan sampai Kerajaan Mataram.

Keesokan harinya setelah malam hari menuntaskan penyalinan layang dan mendapatkan ide dengan munculnya istilah, ‘Soca’ Wiono pergi ke sungai. Di sana ia menemukan sebuah keris kecil yang beliau sebut sebagai “Eyang Jangkung Sengkelat”. Jangkung itu menjaga dan sengkelat itu seperti kilat. Dengan dua kesimpulan itu ada tiga kata kunci yang ia dapatkan, yaitu angka empat, keris, dan mata. Dari sini ia melukiskan sebuah logo selama kurang lebih 46 hari.

Dakwah Menggunakan Metode Walisongo; Akulturasi Budaya

Di sela kesibukannya, ia menyempatkan untuk kami wawancara dan lontarkan pertanyaan, meski hanya lima menit pun. Tak lupa dengan kepulan asap rokok yang menjadi ciri khasnya, sesekali ia menyedot tembakau gulung itu di sampingku. Aku bertanya bagaimana cara ia menyebarkan ajaran Islam di lingkungan desa. Beliau memaparkan bahwa tata cara dakwah yang digunakan sebagaimana tata cara yang dipakai oleh sesepuh beliau zaman dahulu, yakni sebagaimana yang digunakan para wali, terkhusus Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang. Tata cara dakwah yang digunakan kedua wali tersebut yakni melalui wayang kulit dan pembacaan tembang macapat. Alasan penggunaan metode ini adalah karena tetap melestarikan local wisdom yang mendarah daging di masyarakat. Kita ketahui bersama bahwa Nusantara pada era sebelum kedatangan Islam mayoritas penduduknya beragama Hindu dan Budha. Hal ini tak jauh beda dengan wilayah Sumberdem ini, jadi Bapak Wiono menggunakan tembang macapat sebagai sarana dakwah. Sampai hari ini, tembang macapat tetap digemari oleh masyarakat. Di dalam tembang tersebut berisikan nilai-nilai tersirat yang terdapat pada Al Quran dan as-Sunnah.

            “Filosofi macapat amatlah luas,” tutur beliau. Macapat dapat diartikan sebagai maca barang papat (membaca perkara empat; red).

Maca barang papat itu nafsu yang setiap hari menjadi penghalang, yang menggoda perjalanan seseorang untuk suluk tarekat/ mendekatkan diri kepada Allah. Itu yang utama. Sementara nafsu itu dibagi menjadi; lawwamah, amarah, shufiyah, dan muthmainnah,” imbuhnya.

Rangkaian cerita baik dalam pewayangan maupun tembang macapat itu tersusun secara sistematis yang tak lepas dari sistem turunnya ayat pertama yakni Quran Surat Al-Alaq ayat 1-5, yang berbunyi; “Iqra bismi rabbikalladzi kholaq”. Perintah pertama ketika Al Quran diturunkan adalah perintah untuk membaca. Sehingga berdasarkan ayat tersebut, hal terpenting bagi orang yang menjalani kehidupan adalah dengan membaca, membaca dilakukan untuk mengetahui dan mengenal jati dirinya. Para wali bahkan sampai saat ini sistem iqra masih relevan digunakan untuk sarana dakwah, yakni melalui tembang macapat. Misalkan saja ketika perintah iqra diaplikasikan pada Bahasa Jawa—beliau kemudian menembangkan sebuah lagu—

Kaweruhono dumadine wujud ira, hu Allah. “ (Ketahuilah kejadian adanya dirimu; red)

Untuk menafsirkan tembang tersebut beliau mengimbuhkan tembang lagi, ‘Golekono wujud loro sangkanira’ ada dua bentuk sisi pada manusia, yakni sisi lahir dan batin, semua serba dua, ada dimensi ruh dan jasad. Kedua hal ini harus kita pahami kemudian melakukan muhasabah/intropeksi sehingga pada puncak tertingginya mencapai tingkatan ‘bersyukur’ tentang kita terlahir ke dalam dunia melalui perantara kedua orang tua. Maka status legalitas kedua orang tua itu sangatlah penting. Bahkan rida Allah terletak pada rida kedua orang tua dan kemarahan Allah pun terletak pada kemarahan orang tua. Pada sebuah hadis riwayat Abdullah bin Umar disebutkan:

رضا اللهِ في رضا الوالدينِ وسخطُ اللهِ في سخطِ الوالدينِ

Saya melanjutkan pencarian data di sela acara Diklat Banser Kecamatan Wonosari yang bertempatan di Madin Soca Seganten, madrasah diniyah yang didirikan oleh Bapak Wiono. Saat itu beliau sedang duduk sendiri sembari menikmati hidangan karena menunggu kedatangan Kiai Solikhin. Kemudian saya melontarkan beberapa pertanyaan.

Jam terbang dakwah beliau terbilang cukup padat, apalagi sebelum menghempasnya corona hampir setiap hari beliau ada jadwal pengajian. Beberapa jadwal yang harus beliau penuhi diantaranya; malam Jumat Legi mengisi majelis ta’lim putra-putri di Dusun Ambyaan; Jumat Legi sore mengisi majelis ta’lim jamaah tahlil putri Dusun Sumberingin; malam Sabtu Pahing mengisi majelis ta’lim jamaah istighosah se-Desa Sumberdem; setiap malam Ahad mengisi majelis ta’lim pada jamaah salat maghrib di Dusun Ambyaan bagian atas (lokasi bertepatan di bawah bukit doa/bukit zion); dan setiap hari mengisi kuliah subuh di masjid At Taawun Dusun Sumberingin. Sebenarnya ada beberapa jadwal majelis ta’lim yang sebelumnya aktif di luar Desa bahkan di luar Kabupaten, namun semenjak menghempasnya covid-19, majelis tersebut sudah tidak aktif lagi.

Sebelumnya beliau pada Rabu Wage mengisi majelis ta’lim di Dusun Ampelgading, Kabupaten Blitar. Jarak tempuh antara rumah dan lokasi lumayan dekat, terhitug 3,6 km. Setiap kali berangkat mengisi majelis, beliau mengendarai sepeda dengan ciri khas ban trilnya ala pendaki gunung. Karena memang masyarakat gunung terbiasa pergi ke wilayah hutan sekitar jadi sudah bukan hal aneh jika para warga mengendarai sepeda dengan ban berciri khas pendaki. Sementara mengisi majelis ta’lim di Desa Sumbertempur pada malam Ahad Pon. Materi dakwah yang disampaikan adalah materi tauhid yang terkandung dalam Kitab Al Hikam karya Ibnu Athaillah As Sakandary. Namun terdapat hal unik pada metode dakwah yang disampaikan, beliau seringkali mengutip tembang-tembang jawa sebagai bentuk pelestarian budaya. Penyebaran dakwah Islam dilakukan bukan melalui arabisasi semata melainkan diselingi dengan kekayaan budaya lokal. Karena memang pada hakikatnya dakwah para walisongo terdahulu menggunakan akulturasi budaya sehingga masyarakat dapat menerima ajarannya secara perlahan dan memahaminya dengan utuh. Beliau menuturkan bahwa beberapa ajaran tauhid yang diberikan berasal dari kitab turun temurun nenek moyangnya yang isinya memiliki kesamaan dengan layang yang berjudul Layang Wedosasongko. Yang pastinya rujukan utama dan pertama tetap mengacu pada Al Quran dan Hadits, hanya saja isi pada layang tersebut dijadikan pelengkap dan penafsiran dari ayat dan as-sunnah.

Analisis

Seiring berkembangnya zaman, teknologi semakin canggih. Namun Bapak Wiono tetap mempertahankan budaya setempat sebagai media berdakwah. Meski demikian beliau sangat antusias mengikuti perkembangan teknologi. Ketika mencari referensi bacaan dan materi dakwah pun beliau juga seringkali membuka aplikasi maktabah shameela yang menyimpan beragam kitab turats di samping menggunakan beberapa kitab. Sebagaimana jargon yang seringkali dipakai oleh kalangan Nahdliyin, ”Al Muhafadzotu ala al qadim as shalih wa alakhdzu bi al jadid al aslah,” yang artinya mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil suatu kebaruan yang lebih baik. Jika ditafsirkan maka memadukan antara budaya dan modernitas yang ada dengan tetap mempertahankan eksistensi nilai-nilai kebaikan di dalamnya.

Dakwah yang digunakan Bapak Wiono merupakan dakwah dengan pendekatan multikultural. Dakwah dengan pendekatan multikultural menekankan pada pemberdayaan kualitas umat dalam ranah internal serta dialog antar agama dan budaya dalam ranah eksternal. Multikultural memiliki dua cara pandang terhadap agama; yakni agama secara umum dan secara khusus. Secara umum, Islam berarti agama sebagai sikap menjalankan kehidupan yang menyeluruh dalam perilaku sehari-hari. Sementara secara khusus, Islam sebagai institusi agama.

Dakwah multikultural lebih menekankan pada pendekatan kultural dibandingkan dengan cara dakwah harakah/ salafiy jihadiy. Salah satunya sebagaimana yang telah dilakukan Bapak Wiono, berdakwah dengan menggunakan tembang macapat. Macapat merupakan puisi sastra jawa kuno yang memiliki beragam fungsi, yakni fungsi hiburan, estetis, pendidikan, kepekaan batin/sosial, menambah wawasan, serta pengembangan kejiwaan. Tembang macapat pada zaman dahulu juga digunakan sebagai sarana dakwah walisongo. Mengingat bahwa masyarakat Nusantara pada masa sebelum kedatangan Islam mayoritas memeluk agama Hindu dan Budha sehingga nilai-nilai Islam sedikit demi sedikit disalurkan melalui budaya mereka yang sudah mengakar. Paham Islam disebarkan dengan mereinterpretasi dan merekontruksi maknanya berdasarkan pemahaman masyarakat. Meski berpijak pada orisinialitas tradisi namun tetap terbuka terhadap ide-ide perkembangan keilmuwan kontemporer.          

Index