
Urupedia.id- Pada hari Rabu, 9 Juli 2025, telah diselenggarakan kegiatan Ansor Talk: Dialog Interaktif Masa Depan Pemilu oleh Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Tulungagung. Bertempat di Bento Coffee, Plosokandang, Tulungagung, kegiatan ini berlangsung dari pukul 18.30 WIB hingga 22.30 WIB. Forum ini menjadi bentuk respons intelektual sekaligus aktivisme pemuda Ansor terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah (pilkada), yang membawa implikasi besar terhadap sistem demokrasi dan tata kelola pemilu di Indonesia.
Acara dibuka oleh moderator Basyaruddin Zainun Nafi’, yang menyampaikan sambutan pembuka penuh semangat nasionalisme dengan mengusung slogan: “NKRI Harga Mati dan Nusantara Milik Kita.” Dalam pengantarnya, ia menekankan pentingnya kader GP Ansor untuk berpikir strategis menyongsong masa depan bangsa, khususnya dalam kerangka demokrasi dan pemilu sebagai manifestasi kedaulatan rakyat.
Sambutan pembukaan kemudian disampaikan oleh Dr. Mukhamad Sukur, M.Pd.I., selaku Ketua PC GP Ansor Tulungagung sekaligus keynote speaker dalam forum tersebut. Beliau mengungkapkan rasa bangganya kepada para pemuda yang lebih memilih hadir dalam diskusi intelektual daripada menghabiskan malam di tempat-tempat tongkrongan. Menurutnya, hal ini merupakan bentuk nyata dari semangat perubahan serta bagian dari implementasi nilai-nilai ASTA BISA, sebuah gagasan utama PP GP Ansor yang menitikberatkan pada penguatan kapasitas kader.
Diskusi inti diawali dengan paparan dari Muksin, M.H., akademisi hukum dari UIN SATU Tulungagung, yang menjelaskan aspek yuridis dari Putusan MK 135. Ia menguraikan bahwa hanya terdapat tiga pasal yang diuji dalam perkara tersebut, yang seluruhnya berkaitan dengan isu keserentakan pemilu. “MK dalam putusannya mengatakan aspek yang kita lihat bukan hanya pada peserta pemilu, tapi aspek pemilih dan penyelenggara pemilu. Maka pertimbangannya ada 5, mulai dari tumpang tindih pelaksanaan pemilu dan pilkada, penguatan kelembagaan penyelenggaraan pemilu, kelembagaan partai politik, aspek pemilih dan absennya revisi undang-undang pemilu,” paparnya dengan lugas.
Pandangan berikutnya datang dari M. Habibi Syafiuddin, M.Si., seorang pengamat politik. Ia menyoroti bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal bisa menjadi peluang untuk memperkuat sistem meritokrasi. Dalam perspektifnya, pemisahan ini memungkinkan partai politik untuk menyiapkan kader secara bertahap dan lebih matang, alih-alih semata mengejar popularitas sesaat.
Dua tokoh muda yang saat ini menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Tulungagung turut memberikan pandangan mereka. Eko Wijianto, M.Pd., yang juga menjabat sebagai Kasatkorcab Banser Tulungagung, mengangkat pengalaman empiriknya sebagai penyelenggara sekaligus pengawas pemilu. Ia menyoroti bahwa sistem lima kotak dalam pemilu sangat membebani, bahkan memicu banyak korban jiwa. Ia menyatakan, “Pemilih cenderung fokus pada pemilu presiden, sementara pemilu lokal seperti DPRD Provinsi terabaikan. Oleh karena itu, pemisahan diharapkan memberi ruang fokus pada setiap level kepemimpinan.”
Sementara itu, Rijal Abdullah, S.IP., M.AP., juga anggota DPRD Tulungagung, menekankan pentingnya pembangunan kelembagaan dalam demokrasi dengan merujuk pada pemikiran Francis Fukuyama. Ia mengutip, “Kata Fukuyama, sebuah negara harus membangun kapasitas kelembagaan dan kekuasaan yang efektif terlebih dahulu sebelum menerapkan sistem demokrasi yang luas. Ini menjadi tantangan hari ini. Kita belum punya sistem yang paten dalam sistem pemerintahan, ini yang dikritik oleh Fukuyama.”
Dari perspektif penyelenggara, Moh. Lutfi Burhani, S.Pd.I., mewakili KPU Tulungagung, menyampaikan tiga alasan utama mengapa pemisahan pemilu menjadi penting. Pertama, karena tahapan pemilu dan pilkada yang saling berhimpitan mengganggu kualitas kerja penyelenggara. Kedua, masa kerja penyelenggara yang hanya sekitar tiga tahun membuat waktu efektif sangat terbatas. Ketiga, sistem lima kotak terbukti membebani, baik bagi pemilih maupun penyelenggara. Oleh karena itu, pemisahan diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Senada dengan itu, Pungki Dwi Puspito, S.Pd.I., dari Bawaslu Tulungagung, menegaskan bahwa apapun keputusan MK, penyelenggara harus bersikap profesional dalam menjalankannya. Namun, ia juga mengingatkan adanya tantangan teknis, termasuk dalam hal regulasi, anggaran, serta potensi meningkatnya praktik money politics. Ia menambahkan bahwa proses pengawasan menjadi lebih rentan karena substansi dan turunan hukum antara pemilu dan pilkada sangat berbeda.
Kegiatan ini tidak berlangsung secara satu arah, melainkan berjalan interaktif dan dinamis. Diskusi mengalir dengan baik, terlihat dari munculnya empat pertanyaan dari audiens yang berasal dari unsur GP Ansor, Aliansi BEM Tulungagung, dan KOPRI Tulungagung. Para narasumber memberikan tanggapan dengan argumentasi yang mendalam dan rasional, memperkaya perspektif peserta yang hadir.
Selain itu, kegiatan ini turut mendapat dukungan penuh dari Bento Kopi Tulungagung yang menyediakan tempat serta suguhan kopi dan makanan ringan. Suasana diskusi pun terasa hangat, akrab, dan produktif.
Menjelang pukul 22.30 WIB, acara resmi ditutup. Penekanan terakhir disampaikan terkait pentingnya memperkuat literasi politik di kalangan kader muda Ansor sebagai bekal menyambut perubahan besar dalam sistem pemilu nasional. Acara ditutup dengan sesi foto bersama sebagai dokumentasi dan simbol kebersamaan dalam mengawal demokrasi Indonesia ke arah yang lebih matang dan berkeadilan.