BeritaPolitik

Polemik Kepemimpinan Bupati Pati dalam Polemik Kenaikan PBB

×

Polemik Kepemimpinan Bupati Pati dalam Polemik Kenaikan PBB

Sebarkan artikel ini
https://regional.kompas.com/read/2025/08/06/121006278/profil-sudewo-bupati-pati-yang-tantang-50000-warga-demo-kenaikan-pbb-250

Polemik PBB di Pati: Antara Niat Pembangunan dan Arogansi Kekuasaan

Kebijakan Bupati Pati, Sudewo, untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250% bukan sekadar keputusan administratif, melainkan tindakan politik yang memperlihatkan jarak antara pemimpin dan realitas rakyatnya. Saat masyarakat sedang bergulat dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi, kenaikan pajak sebesar itu tampak seperti penghinaan terhadap nalar keadilan sosial. Terlebih lagi, alih-alih membuka ruang dialog, Bupati justru menyulut api kemarahan dengan menantang rakyatnya turun ke jalan. Apakah ini bentuk kepemimpinan, atau sekadar demonstrasi kekuasaan?

Gaya Kepemimpinan Konfrontatif: Membakar Bukan Meredam

Retorika Sudewo—yang menyebut tak akan gentar meskipun 50 ribu orang berdemo—menunjukkan bahwa ia tidak menganggap rakyat sebagai mitra pembangunan, tetapi sebagai lawan dalam arena politik lokal. Ini bukan soal pajak semata. Ini soal bagaimana seorang kepala daerah memilih untuk menanggapi kegelisahan publik: dengan tantangan, bukan empati; dengan ketegasan kosong, bukan kompromi yang membangun. Bupati seolah menempatkan dirinya sebagai simbol kebijakan yang tak boleh diganggu gugat, bukan sebagai pelayan publik yang mendengar dan bertindak berdasarkan kebutuhan warga.

Legitimasi yang Retak: Ketika Narasi Pemerintah Tidak Konsisten

Penolakan masyarakat terhadap PBB tidak terjadi dalam ruang hampa. Sejumlah perangkat desa bahkan membantah klaim Sudewo bahwa PBB tidak pernah naik selama 14 tahun. Ini menunjukkan adanya kegagalan komunikasi dan—lebih serius lagi—dugaan manipulasi informasi untuk membenarkan kebijakan. Jika narasi pemerintah tidak bisa dipercaya, bagaimana rakyat bisa yakin bahwa uang pajaknya akan digunakan dengan baik?

Aksi Warga: Ketika Gerakan Rakyat Lebih Bermoral dari Pemerintah

Aksi warga dalam mengorganisasi penggalangan donasi logistik untuk demo, termasuk telur dan tomat busuk, adalah ekspresi kritik simbolik yang jauh lebih kuat daripada sekadar spanduk. Ini bukan tindakan anarkis, melainkan satire politik yang mempermalukan otoritas secara elegan. Ketika Satpol PP menyita logistik aksi, justru pemerintah memperlihatkan wajah represi—bukan perlindungan. Alih-alih merespons dengan kepekaan, kekuasaan memilih bersikap represif, membuktikan betapa jauh ia telah kehilangan sentuhan dengan rakyat.

Krisis Kepercayaan yang Terakumulasi

Masalah PBB hanyalah puncak dari gunung es. Sudewo sebelumnya juga menuai kontroversi karena aksi panggung Trio Macan di pendopo, hingga dugaan keterlibatannya dalam kasus suap pengadaan barang DJKA. Tak berhenti di situ, ia juga diam di tengah konflik agraria antara warga dan perusahaan besar seperti LPI. Semua ini menunjukkan pola kepemimpinan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil. Maka, jika saat ini rakyat Pati bersatu menuntut penurunan PBB atau bahkan menurunkan Bupati, itu adalah bentuk logis dari akumulasi kekecewaan yang lama terpendam.

Pembangunan Tak Boleh Jadi Dalih Menindas

Sudewo berdalih bahwa kenaikan pajak adalah bentuk keberanian demi pembangunan. Tapi keberanian macam apa yang menekan masyarakat paling miskin untuk membiayai agenda negara? Bukankah ada cara lain? Di saat daerah lain menggali potensi ekonomi kreatif dan pariwisata, Sudewo justru memilih cara mudah—memalak rakyat lewat pajak. Ini bukan keberanian. Ini kemalasan berpikir dan kurangnya visi.

Dalam demokrasi yang sehat, pemimpin dipilih untuk menyejahterakan, bukan mempersulit. Ketika kebijakan menjadi alat kekuasaan, bukan kesejahteraan, maka rakyat berhak bersuara. Kenaikan PBB di Pati bukan hanya soal hitungan angka, tapi tentang siapa yang dibela oleh kekuasaan: rakyat atau segelintir elite?

Jalan Keluar: Mundur atau Mendengar

Dalam kondisi sekarang, pilihan Bupati tinggal dua: mendengar suara rakyat dan melakukan evaluasi serius, atau menambah daftar panjang kepala daerah yang tumbang karena kehilangan legitimasi moral. Rakyat Pati tidak menuntut hal yang berlebihan—mereka hanya ingin keadilan, transparansi, dan kebijakan yang rasional. Jika seorang pemimpin tidak bisa memberi itu, maka layak dipertanyakan: untuk siapa ia memimpin?

Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *