
Di era keterbukaan informasi dan dominasi media sosial, komunikasi publik bukan lagi sekadar penyampaian informasi satu arah, melainkan sebuah medan pertempuran reputasi dan kepercayaan. Bagi para pejabat Republik Indonesia, tantangan ini kian rumit. Setiap ucapan, gerak-gerik, dan kebijakan dapat menjadi viral dalam hitungan menit, memicu gelombang kritik, pujian, atau bahkan badai krisis. Sayangnya, belakangan ini kita menyaksikan semakin seringnya pejabat yang terjebak dalam krisis komunikasi, yang berujung pada erosi kepercayaan publik. Artikel opini ini akan membedah akar masalah krisis tersebut dan mengambil pelajaran dari beberapa kasus paling relevan.
Akar Masalah: Empati yang Hilang dan Inkonsistensi yang Membingungkan
Krisis komunikasi yang dialami pejabat RI sering kali berakar dari beberapa faktor fundamental. Pertama dan yang paling krusial adalah krisis empati. Banyak pejabat yang gagal memahami sentimen dan realitas sosial yang dialami masyarakat. Pernyataan yang mereka lontarkan, meskipun mungkin dimaksudkan untuk menjelaskan kebijakan, sering kali terdengar kaku, jauh dari kenyataan, atau bahkan terkesan mengecilkan masalah yang dihadapi rakyat. Contoh paling menonjol adalah kasus pernyataan Rachmat Pambudy, Menteri PPN, yang menyebut program makan gratis lebih mendesak daripada lapangan kerja, di tengah maraknya PHK dan angka pengangguran. Pernyataan ini menunjukkan disonansi yang tajam antara prioritas pemerintah dengan kekhawatiran masyarakat.
Kedua adalah inkonsistensi dan kurangnya transparansi. Pada awal pandemi COVID-19, masyarakat disuguhi pernyataan yang saling bertolak belakang dari berbagai pejabat, mulai dari Menko Polhukam Mahfud MD hingga Kepala BNPB Doni Monardo. Ada yang meremehkan virus, ada yang membuat pernyataan yang membingungkan, dan ada pula yang menyajikan data tidak transparan. Akibatnya, alih-alih merasa tenang, publik justru diliputi kepanikan dan kebingungan. Ketidakjelasan ini memicu lahirnya “infodemi” dan hoaks, yang jauh lebih sulit dikendalikan daripada virus itu sendiri.
Ketiga, respons yang lambat dan defensif. Ketika sebuah isu mulai viral di media sosial, pejabat atau institusi terkait sering kali terlambat merespons, atau bahkan memberikan jawaban yang terkesan defensif. Kasus Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pada awal 2024 adalah contoh sempurna. Keluhan mengenai bea masuk yang tidak wajar dari para pengguna jasa, yang diunggah di TikTok oleh Medy Renaldy dan Radhika Althaf, menyebar cepat. Respons awal DJBC yang cenderung defensif dan lambat justru memicu kemarahan publik, merusak citra institusi, dan pada akhirnya memaksa mereka untuk melakukan audit internal dan perbaikan komunikasi.
Pelajaran dari Kasus-kasus Terkini
Untuk memahami lebih dalam, mari kita telisik beberapa kasus yang menjadi sorotan publik dalam beberapa tahun terakhir:
Pada awal 2023, kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anak pejabat pajak, Mario Dandy Satrio, memicu gelombang kritik yang mengarah pada ayahnya, Rafael Alun Trisambodo. Yang membuat kasus ini menjadi krisis komunikasi adalah viralnya gaya hidup mewah Mario Dandy di media sosial yang berbanding terbalik dengan kekayaan resmi yang tercatat di LHKPN. Kementerian Keuangan, di bawah kepemimpinan Sri Mulyani, mengambil langkah cepat dan tegas, termasuk pemecatan dan pembentukan tim khusus. Namun, kasus ini menyoroti kerapuhan citra institusi yang dibangun bertahun-tahun, yang dapat hancur dalam sekejap akibat ulah satu orang pejabat dan kegagalan sistem pengawasan. Krisis ini memaksa Kementerian Keuangan untuk menerapkan strategi komunikasi pemulihan citra secara besar-besaran.
Seperti disebutkan sebelumnya, DJBC Kementerian Keuangan mengalami krisis kepercayaan publik pada awal 2024. Pemicunya adalah keluhan konsumen di media sosial yang merasa dirugikan oleh birokrasi dan pungutan bea masuk yang dinilai tidak wajar. Media sosial menjadi “ruang pengadilan” publik di mana DJBC diadili dan citranya dirusak. Meskipun DJBC akhirnya memberikan penjelasan dan perbaikan, kasus ini menjadi pengingat bahwa di era digital, kecepatan, transparansi, dan empati adalah kunci. Kegagalan memahami sentimen publik di media sosial dapat berujung pada krisis institusi yang berkepanjangan.
Kasus pernyataan-pernyataan yang dianggap nir-empati oleh pejabat menunjukkan bahwa krisis tidak selalu berasal dari isu korupsi atau kebijakan. Terkadang, krisis bisa muncul hanya dari satu kalimat. Pernyataan Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, yang merespons teror kepala babi dengan “dimakan saja”, menunjukkan kegagalan memahami makna simbolik dari sebuah peristiwa. Pernyataan-pernyataan semacam ini mengikis kepercayaan publik secara perlahan namun pasti, dan menimbulkan kesan bahwa pejabat tidak memahami realitas atau penderitaan masyarakat.
Jalan Keluar: Membangun Kepercayaan dengan Keterbukaan dan Empati
Krisis komunikasi publik bukanlah takdir yang tidak dapat dihindari. Para pejabat dan lembaga pemerintahan dapat mengambil langkah-langkah proaktif untuk mencegah dan menanganinya. Pertama, membangun tim komunikasi krisis yang kompeten. Tim ini harus mampu memantau sentimen publik, mendeteksi potensi krisis sejak dini, dan merumuskan respons yang cepat, akurat, dan empatik. Kedua, menerapkan strategi “satu suara”. Pastikan semua pejabat yang berkomunikasi mengenai isu yang sama memiliki pesan yang konsisten dan terkoordinasi. Ini akan mencegah kebingungan dan misinformasi.
Terakhir, dan yang paling penting, adalah kembali kepada empati. Komunikasi pejabat tidak boleh lagi hanya berfokus pada penyampaian fakta dan data, melainkan juga harus menyentuh sisi kemanusiaan. Mengakui kesalahan, mendengarkan kritik, dan menunjukkan bahwa mereka memahami kesulitan yang dialami masyarakat adalah langkah awal untuk membangun kembali jembatan kepercayaan yang runtuh. Pada akhirnya, krisis komunikasi bukan hanya tentang bagaimana kita berbicara, melainkan tentang apa yang kita rasakan. Dan jika pejabat ingin dipercaya, mereka harus mampu meyakinkan publik bahwa mereka tidak hanya memiliki kapasitas untuk memimpin, tetapi juga hati untuk memahami.







веб-сайт https://kra36at.at