
Tulungagung- Urupedia.id- Konferensi Cabang (Konfercab) PC PMII Tulungagung resmi berakhir dengan terpilihnya Ketua Cabang dan Ketua Kopri Cabang yang baru. Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum demokrasi internal yang menguatkan legitimasi kader, sekaligus meneguhkan tradisi musyawarah sebagai fondasi gerakan mahasiswa. Namun, di balik ketukan palu persidangan yang melambangkan kesepakatan, terdapat problem serius yang menyangkut integritas presidium sidang dan validitas keputusan forum.
Anomali dalam Proses Persidangan
Dalam pleno yang membahas ketentuan pemilihan Ketua Kopri Cabang, muncul dua opsi. Pertama, pemilihan dilakukan oleh Ketua Kopri Komisariat bersama Ketua Kopri Rayon. Kedua, tetap berpegang pada aturan lama, yakni hanya Ketua Kopri Komisariat yang memiliki hak suara. Berdasarkan kontrak persidangan, opsi pertama memperoleh afirmasi mayoritas, sehingga secara sah dan formal seharusnya ditetapkan sebagai keputusan forum.
Namun, presidium justru menunda pengesahan dengan alasan absennya sebagian Ketua Kopri Rayon. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai independensi presidium, sebab kontrak forum yang telah disepakati bersama dilecehkan melalui justifikasi yang lemah dan tidak rasional.
Legitimasi dan Kontrak Sosial
Mengacu pada pemikiran Jean-Jacques Rousseau, legitimasi kekuasaan hanya dapat lahir dari kontrak sosial yang menghormati kehendak umum. Dalam konteks Konfercab, kontrak persidangan merupakan manifestasi dari kontrak sosial antar kader. Ketika kontrak itu diabaikan demi manuver politik, maka yang terjadi bukanlah musyawarah mufakat, melainkan distorsi demokrasi internal.
Lobbying yang dilakukan pasca-pleno bukanlah upaya mencari titik temu, melainkan strategi untuk melegitimasi dominasi kelompok tertentu. Dengan demikian, kesepakatan yang lahir bukan representasi dari kehendak kader, melainkan produk kompromi elitis yang mencederai asas keadilan organisasi.
Pembungkaman Suara dan Tirani Politik
Dampak paling nyata dari praktik tersebut adalah pembungkaman hak suara Ketua Kopri Rayon. Di forum yang seharusnya memberi ruang setara bagi semua perwakilan, mereka justru dideligitimasi. Ini bukan sekadar pelanggaran prosedural, tetapi bentuk tirani politik yang mereduksi kedaulatan kader menjadi sekadar formalitas. Kepemimpinan yang lahir dari mekanisme seperti ini kehilangan ruh moral dan keabsahan politik, sebab dibangun di atas manipulasi, bukan kepercayaan.
Refleksi
PMII sejatinya adalah rumah bersama bagi seluruh kader, tempat dinamika dijalankan sebagai proses pembelajaran kolektif. Jika organisasi hanya diarahkan untuk kepentingan segelintir kelompok atau instruksi senior, maka nilai kaderisasi akan tereduksi menjadi sekadar instrumen kekuasaan. Seperti ungkapan yang sering dilontarkan di ruang-ruang kaderisasi: “PMII bukanlah milik personal atau kelompok tertentu, melainkan milik seluruh kader.”
Dengan demikian, demokrasi internal harus dijaga dengan integritas, transparansi, dan keberanian moral untuk menghormati kontrak sosial organisasi. Tanpa itu, setiap keputusan hanya akan menjadi simbol kosong yang menjauhkan PMII dari cita-cita awalnya sebagai gerakan pembebasan dan pendidikan kader bangsa.






