
Dalam dunia politik terutama momentum pemilihan pemimpin baru, hampir dapat dipastikan selalu terjadi polemik, baik berupa struktural maupun kultural. Polemik tersebut bisa disebabkan oleh perbedaan pendapat, orientasi politik, hingga hal yang mendasar seperti perdebatan produk perundang-undangan yang berlaku.
Inilah yang terjadi beberapa hari belakangan di PMII Cabang Tulungagung pada serangkaian agenda Konferensi Cabang (Konfercab) XXVIII, sebuah agenda tahunan yang menjadi pintu keluarnya pemimpin lama dan masuknya pemimpin baru.
Polemik yang terjadi seakan-akan memecah kekompakan antar pengurus. Mulai dari diterbitkannya SK Badan Pengurus Konfercab (BPK) oleh ketua Cabang Ahmad Muzakki, pembubaran BPK secara sepihak yang dilakukan ketua umum PC PMII Tulungagung, hingga “orasi kebudayaan” yang meledak-ledak waktu pembukaan sidang Konfercab tanggal 25 September kemarin.
Bahkan terdapat pengurus komisariat tertentu yang melayangkan gugatan terhadap BPK yang dinilai tidak memenuhi aturan perundang-undangan.
Meski begitu serangkaian Konfercab terus berjalan sesuai timeline yang sudah ditentukan sebelumnya.
Pihak BPK sendiri telah memberikan pernyataan sikap bahwa seluruh mekanisme Konfercab telah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Serta menilai tindakan kesewenang-wenangan Ketua Cabang Ahmad Muzakki tidak berdasar.
Hingga pada dini hari tanggal 26 September terpilihlah pemimpin baru yakni sahabat Aris sebagai ketua cabang mandataris dan sahabat Septhia sebagai ketua Kopri PC PMII Tulungagung mandataris.
Persis pada momen inilah seolah-olah mengakhiri segala polemik yang ada sebelumnya. Sebab, keduanya memiliki arah gerak visioner yang diharapkan dapat melerai pola destruktif yang merugikan PMII Tulungagung sendiri.
Harmonisasi Kembali
Potongan polemik yang ringkas di atas tidak seberapa jika dibandingkan dengan masalah utama yang diakibatkan dari orientasi politik sektoral dan temporal. Orientasi politik semacam ini akan berdampak buruk bagi kemajuan PMII kedepannya.
Tentu, kita semua tidak mengharapkan subur makmurnya sentimen politik— misalnya fragmentasi atau kubu-kubuan— yang berkepanjangan. Perlu di ingat juga bahwa momentum Politik adalah agenda jangka pendek yang musti diminimalisir konflik internalnya demi kemajuan bersama.
Apabila pola dekadensi ini dikembangbiakkan, maka PMII akan semakin jauh dari tujuan besarnya. Visi besar tentang membentuk kader yang bertaqwa, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung-jawab, serta berkomitmen akan cita-cita kemerdekaan Indonesia menjadi hal yang utopis, alias tak mungkin dapat dicapai.
Maka dari itu merajut kembali benang-benang harmonis melalui proses rekonsiliasi menjadi syarat wajib
Konsekuensi dari proses rekonsiliasi ini ialah menangguhkan ego sektoral atau kepentingan kelompok dan beralih fokus kepada tujuan PMII itu sendiri.
Kepentingan pribadi maupun kelompok tidak menjamin kemajuan kader secara keseluruhan. Oleh karenanya hubungan kader yang harmonis perlu disatu-padukan kembali demi kepentingan bersama, kepentingan besar yang telah dirancang oleh pendiri PMII.
Dengan begitu, mengharmoniskan hubungan kader yang sebelumnya sempat retak adalah syarat mutlak. Sesimpel kita tidak memandang kader lain dari kelompok mana, mendukung calon yang mana, dan seniornya siapa. Semua-muanya adalah sahabat kita sendiri serta memperlakukan yang lain layaknya sahabat dalam arti yang sebenarnya. Inilah yang disebut hubungan sehat, hubungan dimana kedudukan menjadi egaliter, tidak ada relasi kader yang tumpang tindih. Dan pada titik inilah progresivitas akan terjamin.
Jaminan Egaliter-Progresif
Kader yang baik adalah mereka yang mampu memahami dirinya sebagai manusia yang bijak ketika dihadapkan pada konflik politik yang nir kemanusiaan. Kesadaran akan memanusiakan manusia lain berada di atas segalanya, termasuk politik.
Proposisi tersebut berbanding lurus dengan adagium terkenal Gus Dur: “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.”
Dalam Islam, prinsip ini diwujudkan melalui pandangan bahwa seluruh manusia memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan dan saling menghormati tanpa memandang perbedaan status atau latar belakang.
Hal yang sama juga diterapkan dalam aspek sosial PMII, bahwa setiap kader memiliki kedudukan yang sama di hadapan antar kader lain tanpa memandang latar belakang.
Jika dilihat konteks PMII Tulungagung, yang notabene kader terbanyak berasal dari UIN Satu Tulungagung, maka mayoritas musti mengakui yang minoritas, memberi hak yang setara kepada mereka, begitupun sebaliknya.
Apabila hal ini tidak dipenuhi, yang terjadi justru tampak seperti demokrasi mayoritarianisme. Sebuah pandangan politik yang senantiasa menomorsatukan kader dominan, alih-alih memprioritaskan yang non-dominan.
Saya bertolak dari gagasan Martin Suryajaya soal infrakrasi, suatu pandangan yang melihat suara-suara minoritas menjadi dasar pengambilan keputusan.
Bukan berarti juga mengabaikan yang mayoritas, akan tetapi lebih memfokuskan mereka yang minoritas demi mewujudkan keadilan universal, keadilan yang dapat dirasakan bersama antar kader PMII.
Pandangan egalitarian semacam ini penting diwujudkan, lagi-lagi untuk kemaslahatan bersama. Untuk mewujudkan kembali relasi yang harmonis.
Mengikis relasi sosial—relasi antar kader PMII Tulungagung—yang timpang. Hingga kader tidak merasa dirinya dikucilkan, dinomorduakan, diabaikan dan seterusnya. Saya yakin betul, gerakan kaderisasi yang progresif berangkat dari sini. Terima kasih sahabat.






