Esai

Resensi Filosofi Kopi: Mencinta Tanpa Takut Kehilangan Cinta

×

Resensi Filosofi Kopi: Mencinta Tanpa Takut Kehilangan Cinta

Sebarkan artikel ini
  • Judul: Filosofi Kopi
  • Penulis: Dewi Lestari
  • Penerbit: Bentang
  • Cetakan: Kelima belas, Juni 2015
  • Tebal: 140 halaman
  • ISBN: 978-602-8811-61-3
  • Peresensi: Al Fatih Rijal Pratama
Resensi

Urupedia – Pada buku yang berjudul “Filosofi Kopi” karya Dewi Lestari atau lebih dikenal dengan nama penanya Dee merupakan buku yang berisi tentang kumpulan cerpen yang di dalamnya ada 18 judul. Yaitu, Filosofi Kopi, Mencari Herman, Surat yang Tak Pernah Sampai, Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Sikat Gigi, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Sepotong Kue Kuning, Diam, Cuaca, Lara Lana, Lilin Merah, Spasi, Cetak Biru, Buddha Bar, dan terakhir Riko de Coro.

Dari 18 Judul tersebut, telah menghipnopthis saya sebagai pembaca, dengan susunan kalimat yang lugas, tidak ruwet, dan tidak bertele-tele yang telah membuat saya cengar-cengir dan terharu serta kagum. Bagaimana tidak? Ia telah membuat suatu alur cerita yang begitu implisit dengan ditutup ending cerita yang tak terkira dalam pikiran pembaca.

Setiap cerita yang dituangkan banyak sekali mengandung makna hakikat cinta yang diungkapkan secara lugas dan komprehensif, seperti judul yang saya tulis dalam resensi ini tak lain adalah mencintai tanpa takut kehilangan cinta.

Saya sangat merasakan sendiri, setiap alur yang ditulisnya menceritakan tentang suatu kejadian atau peristiwa erat kaitannya dengan hubungan percintaan. Di mana hubungan itu, telah diracik tanpa meninggalkan bumbu penyedap rasa.

Uniknya dari kumpulan cerpen dalam buku berjudul “Filosofi Kopi” ini tidak hanya membahas tentang hubungan percintaan antara manusia dengan manusia, tetapi lebih universal yaitu hubungan cinta antara makhluk hidup.

Dalam kumpulan buku tersebut juga membahas terkait perjuangan yang di dalamnya tersirat makna cinta salah satunya, dalam judul cover bukunya yaitu “Filosofi Kopi.” Yang isinya menceritakan mengenai perjuangan tokoh bernama Ben dan Jonny yang mendirikan sebuah kedai kopi yang bernama Filosofi Kopi dengan slogan “Temukan diri anda di sini.”

Ben yang merupakan peramu dan barista handal di jakarta yang mencintai aroma kopi dan proses dari pembuatan kopi, sedangkan Jody merupakan seorang ahli dalam ilmu administrasi. Ben juga mencintai pelanggannya yang hadir dalam kedainya dengan memberikan secarik kertas yang berisi tentang filosofi kopi sesuai dengan selera pelanggan yang memesan.

Sampai akhirnya Ben berhasil membuat dan meramu kopi yang dinamai dengan Ben’s Perfecto yang artinya “sukses adalah wujud kesempurnaan hidup”. Di sinilah makna cinta dari Ben dalam berporses meramu kopi dan melihat pelanggganya yang juga suka dengan kopi buatannya.

Saya tidak akan menceritakan detail terkait tentang cerita filosofi kopi, pembaca bisa membacanya sendiri dalam buku yang berjudul “Filosofi Kopi” karya Dee. Namun di cerita itulah saya menemukan makna cinta dari seseorang yang mencintai kopi serta perjuangan untuk meracik kopi yang sempurna.

Selain itu, dalam buku tersebut, juga menceritakan seorang tokoh bernama Egi dan Tio dalam judul ceritanya “Sikat Gigi”. Judul itu di ambil dari perilaku Egi yang suka berlama-lamaan ketika menyikat gigi dan menyukai kebiasaan menyikat gigi itu.

Dalam cerita tersebut uniknya Dee bisa mengemas cerita yang begitu mengalir hingga membawa saya sebagai pembaca ikut terhanyut oleh kata-kata dan setiap kalimat yang dungkapkannya. Dee secara terang-terangan menjadikan seorang tokoh bernama Tio untuk mencintai tanpa takut kehilangan apa itu cinta. Meskipun Egi sendiri masih mempunyai seorang yang dicintainya.

Ada salah satu judul yang membuat saya lebih terhanyut dan merasakan rasa yang diceritakan, judulnya yaitu, “Sepotong Kue Kuning” yang menceritakan tentang tokoh Lei dan Indi. Lei yang telah mempunyai istri dan Indi yang mencintai Lei.

Dari sini saya merasakan kondisi emosional dan psikis yang dirasakan oleh tokoh Indi, barangkali memang seperti suatu fenomena yang seringkali terjadi dilingkungan sekitar kita. Tokoh Indi ini mencintai Lei meskipun sudah tahu kenyataan tentang kehidupan, seakan-akan Indi sendiri mencintai meskipun tidak memiliki.

Terasa sekali perjuangannya, dan rasa sakit yang diterima oleh tokoh Indi ini ketika memabacanya. Karena Indi merasa telah memberikan separuh hatinya dan jiwanya untuk Lei yang membuat dirinya dan hatinya merasa nyaman, namun kenyataan memang tak bisa di pungkiri bahwa Indi harus melepas jiwanya yaitu Lei.

Sampai akhirnya Indi menyadari bahwa yang selamanya ini menemani dirinya di pinggir jendela hanyalah sepotong kue kuning. Cerita tersebutlah yang membuat saya tertarik dan berimajinasi, bahkan cara Dee mengekspos berbagai kalimat yang begitu puitis dan cara menggambarkan peristiwa serta perjuangan yang dialami oleh si tokoh benar-benar terasa, meskipun dikemas dengan cerita yang singkat dan padat. Lebih lengkapnya silahkan memabaca bukunya.

Tak hanya itu Dee juga membuat suatu cerita yang menarik penuh perjuangan. Salah satunya adalah cerita dengan judul “Mencari Herman”.Yang mengisahkan tentang tokoh aku dan Fanny Herman yang merupakan adik dari sahabatnya. Dalam ceritanya begitu menarik serta alur yang mengejutkan tentang perjuangan mencari sosok lelaki yang bernama Herman sampai Ia mencari-cari di seluruh daftar nama siswa di sekolah maupun mendatangi Pak RT dan Pak Lurah.

Cerita itu di awali dengan kalimat kunci dari perkataan seorang pepata yang berbunyi, “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, dan dua melenyapkan”. Seakan-akan kata pepatah itu dalam pikiran saya adalah jangan suka berlebihan atau rakus kalau satu cukup. Namun kenyataanya, kalimat itu ternyata merupakan alur cerita yang mengalir dan telah membuat saya tersentuh dan terkejut.

Dalam cerita itu Hera panggilannya cuman ingin mempunyai impian berjabat tangan dengan sosok orang yang bernama Herman tanpa campuran, “to” atau “syah”. Seperti nama Hermansyah dan Hermanto. Namun yang mengejutkan dan membuat saya terharu cerita itu tidak hanya menceritakan tentang mencari Herman saja. Akan tetapi, juga menceritakan tentang penderitaan Hera yang telah melakukan hubungan terlarang dengan seorang Pilot bernama Bajuri yang ternyata sudah memiliki anak lima.

Hubungan itu dalam sudut pandang tokoh Aku memang tidak di restui karena bukan Herman namanya. Tak hanya berhenti di situ ceritanya, sosok Hera ini juga telah mengalami berbagai kondisi lika-liku sampai mempengaruhi kondisi psikis dalam dirinya. Sampai Ia malu ketemu dengan orang tuanya.

Belum lagi, kondisi dirinya mengalami keguguran dua kali dan kehilangan pekerjaan karena perusahannya gulung Tikar. Hingga Ia harus bekerja sebagai seorang pedagang kain batik dan menyambi menjadi sales barang elektronik. Dari pengalamannya itulah Hera menjadi sosok yang rapuh sering berkeluh-kesah dan menganggap hidup itu kejam.

Dan lebih mengejutkan adalah puncak alur cerita tersebut yang bercerita tentang suatu peristiwa yang telah mengejutkan tokoh Aku dan membuat dirinya kecewa. Kekecewaan itu berasal ketika Hera kedatangan seorang pria yang menawarkan model iklan dengan memberikan kartu namanya yang ternyata dicari-cari yaitu bernama Herman Suherman. Namun,  nahasnya nama itu adalah nama kuadrat yang membuatnya tak kembali lagi.

Dari uraian singkat mengenai beberapa kisah dalam cerita tersebut, yang telah membuat saya tidak menyangka-nyangka adalah endingnya. Yang mana setiap cerita ditulis oleh Dee semuanya mengalir dengan kalimat kunci. Dan setiap kalimatnya kaya akan makna hingga telah menentukan akhir dari kalimat itu. Seperti kata dalam pengantar yang di sampaikan oleh Gemawang Mohamad,

“Jika ada yang memikat Dee adalah cara dia bertutur: ia peka pada ritme kalimat. Kalimatnya berhenti atau terus tidak hanya karena isinya selesai atau belum, tapi karena pada momen yang tepat ia menyentuh, mengejutkan, membuat kita senyum, atau memesona”.

Sebagai penutup yang mungkin menarik ditulis tuk mengakhiri dari akhir tulisan resensi ini adalah sepenggal kalimat yang saya dapatkan setelah membaca buku karya Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang berbunyi, “Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan”.

Terima kasih telah menjadikan ejakulasi dalam imajinasiku, seperti kata Immanuel Kant “Kebahagiaan bukanlah ideal akal, melainkan imajinasi”.

Editor: Munawir Muslih

Advertisements

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *