Mencari ketenangan untuk lebih memaknai tentang diri sendiri, semakin hari pikiran terus bergejolak menghadirkan sebuah perasaan miris, bingung dan terkadang muak untuk dirasakan. Dewasa ini saya semakin sadar bahwa tak ada yang benar-benar murni (dalam melakukan sesuatu), jika mengacu pada pemikiran Kant tentang filsafat moral lebih dikenal dengan istilah the good will.
Kalau bisa jangan biarkan saya tahu, namun sebuah jalan yang saya anggap sebagai bagian dari proses pendewasaan diri selalu membawa saya untuk memafhumi (memahami) fakta-fakta yang seharusnya tidak saya ketahui, dan lebih parahnya lagi sampai meresap tumbuh berakar dipikiran. Lenyap sudah rasa ketidakpedulian saya, jika pada awalnya getol tidak mau tahu maka lambat laun saya pun tenggelam dengan sebuah fakta yang berhasil meluluhlantakkan pikiran.
Jelas, saya bukan Gie yang selalu menyampaikan keresahannya melalui goresan pena yang ia tuangkan dalam buku diari atau media lainnya, dan saya bukan Gie yang holistik bisa melihat sebuah peristiwa atau gejala yang ditimbulkan dengan perspektif yang sangat luas. Saya hanyalah mahasiswa yang tidak membawa mimpi dan tanggung jawab budi luhur seorang mahasiswa.
Sejauh ini saya menyandang sebuah predikat yang digadang-gadang sebagi agent of change, sosial control, guardiant of value mungkin masih banyak lagi tanggung jawab yang harus ditanggung oleh mereka dan termasuk saya sendiri yang tengah menyandang predikat sebagai mahasiswa tentunya. Tetapi, selaras dengan digaungkannya semua tanggung jawab itu menimbulkan perasaan yang tidak semestinya. Semoga saya tidak disalahkan karena pikiran liar ini. Perihal rasa, tidak percaya hingga kemuakan yang saya rasakan ketika berbicara tentang kemurnian dalam melakukan sesuatu yang dianggap benar.
Tanpa menyudutkan segala pihak, saya mencoba memahami idealisme seorang Gie dalam tulisannya di media Mahasiswa Indonesia/edisi Jabar pada tahun 1968. Gie membawa kekhawatirannya sebagai mahasiswa tua di perguruan tinggi mengharapkan kesadaran dari mahasiswa yang sedang dan masih menyandang predikat itu untuk kembali membawa kebebasan mimbar yang fundamental dan berguna bagi kehidupan mahasiswa tanpa memakai topeng dan embel-embel yang sedemikian rupa.
Saya pribadi sadar tentang sebuah kebebasan mimbar, namun saya merasa tidak mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan mimbar itu, tentu dengan alasan yang logis saya merasa tidak mampu. Saya hanyalah seorang mahasiswa biasa, tidak berpengaruh, tidak pandai bersosialisasi, tidak bisa membaca situasi dan kondisi, itulah wajah saya sebagai mahasiswa bopeng yang cacat tidak berparas intelektual dan tidak revolusioner. Maka dari itu, saya merasa tidak pantas mewujudkan mimpi dan cita-cita Gie dalam tulisan itu.
Saat ini saya belum bisa dikategorikan sebagai mahasiswa akhir, namun posisi saya saat ini berada dalam masa yang darurat, penentuan sejauh mana kesiapan saya mengemban tanggung jawab. Menentukan pilihan untuk memberikan sebuah perubahan dan melanjutkan suatu proses yang telah berlangsung dan mencoba berpolitik demi kemaslahatan bersama.
Ketika pertanyaan tentang good will hadir dalam benak pikiran maka semua ulasan semua itu terasa basi, entahlah saya juga tidak tahu kenapa, saya begitu pesimis ketika dihadapkan dengan persoalan itu. Mengambil narasi dari buku Pram Bukan Pasar Malam “Demokrasi sungguh sistem yang indah. Engkau boleh menjadi presiden, engkau boleh memilih pekerjaan yang engkau sukai. Engkau boleh mempunyai hak yang sama dengan orang-orang lainnya. Dan demokrasi itu membuat aku tak perlu menyembah atau menundukkan kepala kepala pada presiden atau menteri-menterinya. Sungguh ini pun suatu kemenangan demokrasi”.
Singkat, padat, dan jelas. Namun saya merasa sebaliknya, semua hanyalah bualan semata karena nyatanya tak ada demokrasi yang indah, yang ada sebuah sistem yang tersusunan rapi, tertutup dan terselubung, itu yang katanya indah.
Saya mencoba tidak tamak dengan menelan berbagai informasi yang isinya belum tentu benar semua, namun dimanakah letak kebenaran itu? bukankah kita sendiri yang menentukan?, tentang kemurnian dari setiap keputusan dan tindakan yang diambil, apakah kita mampu menjadi seorang yang bertanggung jawab dan revolusioner dengan good will berlandaskan imperatif kategoris dengan menanggalkan hasrat-hasrat subjektif tertentu? Jawabannya ada apa diri masing-masing. Kebebasan mimbar itu cita-cita dan mimpi milik kita namun semua itu harus dilaksanakan dengan demokrasi yang jelas bukan demokrasi yang abal-abal.
Jangan bingung, semua isi dari tulisan ini hanyalah seni retorika saja. Memperhatikan berbagai gejala yang muncul, lepas kendali dalam berpikir, memutar otak untuk menerima segala keadaan. Tidak peduli perihal benar atau salah, saya hanya ingin hidup damai dan kedamaian, namun jangan biarkan saya terlalu damai dan lepas kendali seperti cita-cita kaum Sade dengan hedonisme ekstrim yang mentertawakan kontrol sosial, melepaskan diri dari dogma yang menjerat, menabrak moral dan kultus moralitas tetapi sungguh semua itu hanyalah orang-orang dengan politik pragmatis yang bisa melakukannya. Sapere Aude!! dari filsuf abad pencerahan.
Biodata Singkat penulis:
Hidayat adalah mahasiswa aktif STKIP PGRI Sumenep, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif berkegiatan di Lembaga Pers Mahasiswa Retorika, Komunitas Sastra 3 Indonesia, dan Kampung Pentigraf Indonesia. Beberapa karyanya telah dibukukan di antologi bersama, antara lain Takziah Bulan Tujuh (Obituari untuk Sapardi), Hari-hari Huru-Hara, Nama-nama yang Dipahat di Batu Karang.