KesehatanOpini

Baby blues atau gangguan psikolog?

×

Baby blues atau gangguan psikolog?

Sebarkan artikel ini

Urupedia Berawal dari curhatan dari istri terkait baby blues tiga hari yang lalu, kemudian saya pun mencari informasi terkait baby blues. Sebenarnya istilah baby blues ini tidak asing lagi, akan tetapi dari pada saya beragumen tanpa dasar ilmu, akhirnya saya googling.

Dilansir dari laman alodokter menyatakan bahwa baby blues adalah masalah psikolog yang umum dirasakan oleh ibu setelah melahirkan. Kondisi tersebut menyebabkan emosional seorang ibu tidak terkontrol dan sensitif, seperti mudah sedih, cemas, lelah, lekas marah, sering menangis, kurang nafsu makan, sulit tidur, dan sulit konsentrasi.

Seperti halnya kasus yang terjadi pada Senin (26/6/2022). Dilansir dari laman CNN Indonesia memberitakan bayi yang ditinggal sendirian di rumah hingga membusuk, sedang orang tua bepergian. Jika dibaca dengan seksama, rupanya si Ibu bisa terkena baby blues atau memang psikolognya terganggu. Tinggal menggali informasinya dari orang yang ahli.

Dari penjelasan di atas, kita dapat menangkap pemahaman bahwa baby blues adalah emosi yang tidak terkontrol dan lebih sensitif. Isrti saya pernah mengalami hal ini saat saya dinyatakan positif Covid-19 dan harus isolasi mandiri. Di sini istri saya merasakan sedih dan kadang menangis seorang diri.

Andaikan saja ada dukungan psikologi yang di dapat dari keluarga inti, keluarga besar, masyarakat, dan fasilitas kesehatan, maka hal semacam itu tidak akan terjadi.

Di sini saya akan meregulasi dari pengalaman pribadi dan dari cerita-cerita dari orang yang saya kenal.

Dukungan dari keluarga inti yakni dukungan dari suami kepada ibu yang melahirkan. Jika suami tidak respon terhadap keluhan istri, tidak membantu dalam keseharian, seperti mencuci baju, mengganti popok, menggantikan menggendong anak, jika ada masalah si suami terkesan cuek bisa saja baby blues terjadi?

Dukungan dari keluarga besar lebih mengarah dukungan keluarga seperti menasehati yang baik-baik dan memberikan solusi. Akan tetapi jika keluarga besar meluapkan amarah hanya kaena kesalahan kecil tanpa memberikan contoh yang benar, memberikan informasi berdasarkan “jamanku biyen” tanpa berdasarkan ilmu terbaru yang mengakibatnya si bayi sakit. Misalnya saja si istri melihat si bayi di gendong dengan cara yang salah tetapi suami lebih diam, kira-kira baby blues bisa saja terjadi?

Biasanya masyarakat suka maido (berkomentar, red), entah itu tetangga dekat maupun jauh seperti halnya “Kemarin persalinan operasi apa normal, bayinya kecil ya, suaminya kok tidak menunggu istri saat persalinan”. Hal sepele tetapi kadang membuat perasaan terbawa untuk ibu setelah melahirkan.

Petugas kesehatan juga ambil penting dalam memberikan support. Sedikit cerita ada dari sebelah, ada yang pernah dikatakan anaknya kecil ini calon-calon stunting ? Jikalau hal ini terjadi di indonesia ada bayi yang kecil biasanya langsung mendapatkan bantuan dari posyandu seperti yang di alami teman istri saya.

Jadi, Ibu muda setelah melahirkan memang harus ada support terutama dari suaminya, kalaupun suami tidak bisa maka dari keluarga bisa dari ibu si Istri ataupun dari mertua.

Bayangkan saja jika menjadi ibu muda setelah melahirkan tanpa ada yang mendampingi, suami pun juga sibuk kerja. Atau kadang mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan, seakan-akan ibu muda melahirkan dianggap masih anak kecil dan belum mampu mengurus anak.

Dalam ilmu kesehatan pun banyak ilmu yang mungkin jarang diketahui sebagian orang, seperti halnya bayi diperbolehkan makan pada saat umur enam bulan, akan tetapi ada juga yang menganjurkan umur 1 bulan dan 3 bulan boleh diberikan makanan berupa pisang. Kita sebagai orang tua harus paham betul makanan apa yang hendak diebrikan kepada seorang anak, ada yang mengatakan bahwa pemberian kopi untuk mencegah anak step pada umur anak 1 bulan? logikanya di mana? sedangkan anak di umur 1 bulan organ tubuhnya belum terbentuk maksimal.

Dari berbagai peristiwa yang keluarga kecil kami rasakan dan berdasarkan informasi yang kami terima, kami harus memutus mata rantai yang salah dalam membangun keluarga.

Saya bersyukur diberikan kesempatan belajar langsung dari keluarga kecil saya dan menemukan solusinya sendiri. Kendati demikian, kadang-kadang solusi juga muncul dari masalah dari orang lain ataupun dari nasihat dari saudara.

Mari bersama menjadi suami siaga, tidak siaga saat melahirkan anak saja akan tetapi setelah melahirkan anak pun juga harus siaga. Siaga saat istri membutuhkan bantuan maupun mau mendengarkan keluh kesah istri.

Editor : Ummi Ulfatus Sy