“Sikap Keberagaman yang otentik terekspresikan dalam cara pandang yang benar, adil, dan bersikap rendah hati, bukan dalam cara pandang dogma ortodoksi dan fanatisme yang menakutkan.”
-Husein Muhammad-
Urupedia- Perdamaian adalah cita-cita seluruh umat manusia. Karena secara naluri kesejaheteraan dan kemakmuran adalah harapan yang diidam-idamkan. Melihat realitas keberagaman di Indonesia yang nyata, maka diperlukan perjuangan dari semua pihak untuk merealisasikan kerukunan. Perbedaan sudut pandang, pendapat, keyakinan, budaya, dan ideologi memberikan kekayaan bagi bangsa. Perbedaan itu wajar, yang tak wajar adalah perpecahan sebab adanya perbedaan
Dalam menyikapi perbedaan ada empat sikap yang harus kita ketahui; eksklusif, inklusif, pluralis, dan multikultiralis. Eksklusif merupakan sikap kaku dalam beragama. Ia hanya mengaku kebenaran tunggal yang ada pada agamanya. Penganut eksklusif yakin bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan. Sikap inilah yang kemudian memunculkan tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama, karena hanya menganggap kebenaran ada pada agama sendiri dan yang berada di luar dirinya itu salah.
Sedangkan inklusif merupakan sikap yang terbuka terhadap kebenaran agama lain. Agama yang dianut mengisi dan menyempurnakan jalan agama lain. Sementara sikap pluralis beranggapan bahwa setiap agama memiliki jalan kebenaran sendiri untuk mencapai keselamatan.
Zuhari Misrawi memberikan paradigma toleransi yang terdiri dari inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Inklusivisme merupakan tangga awal menuju pluralisme, dan sebelum sampai pada taraf pluralis, seseorang pastilah melewati tangga inklusif. Hal ini pun diamini oleh Rachman, bahwa pluralisme sejati dibangun di atas inklusivisme dan keterbukaannya terhadap agama lain.(Munawar Rachman, 2011)
Capaian yang tertinggi dalam paradigma toleransi yang diberikan Misrawi adalah multikulturalisme, jika pluralisme hanya toleransi pada tataran teologis belaka, maka multikulturalisme pada tataran yang lebih luas, yakni etnik dan budaya. (Misrawi, 2010)
Buya Husein Muhammad mengungkapkan ciri-ciri nalar eksklusif dan inklusif dalam laman instagramnya @husein553. Ciri-ciri nalar eksklusif di antaranya; terbelenggu oleh identitas priomordial, nalar yang lebih suka mengulang-ulang kata dan berputar-putar di tempat yang sama meski telah usang, nalar yang gemar mencurigai dan menyesatkan orang lain hanya karena berbeda dengan dirinya, mengajak orang lain dengan mengindoktrinasi dan membangun fanatisme buta, serta nalar yang tidak memberikan ruang untuk memikirkan logika, metafora, dan ruh.
Sedangkan ciri-ciri nalar inklusif adalah nalar yang tak bicara soal identitas melainkan manusia dalam ruang yang terbuka tanpa sekat, memandang teks sebagai respon atas sejarah manusia sehingga pemaknannya tidak statis. Manusia inklusif selalu bertanya mengapa dan untuk apa bukan hanya menerima apa adanya yang sudah ada, mereka tak pernah berhenti mendefinisikan ulang akan terma usang dan tak relevan, serta memandang dunia sebagai realitas yang bergerak, berubah dan berjalan ke depan.
Sebagai bahan renungan saja, nalar mana yang telah kita miliki? Perlukan kita berbenah untuk hidup menjadi manusia sejati yang menghargai manusia lain? Bagaimana cara kita merawat keberagaman untuk Indonesia yang damai dan sejahtera? Kita sendiri yang dapat menjawabnya.
Jika kita membaca lebih banyak buku, akan menemukan para tokoh nasional yang memberikan sumbangsih pemikiran dan tenaga untuk senantiasa merawat keberagaman di Indonesia ini. Gus Dur, dengan getolnya membela kaum minroitas yang terdeskriminasi. Sosok Gus Dur tak hanya berhenti pada tataran teoritis melainkan praktis. Ia berani membela hak kemanusiaan meskipun harus berhadapan dengan penguasa. Seharusnya kita sebagai kaum muda memiliki semangat untuk meneruskan perjuangan para tokoh bangsa, setidaknya jika tak bertindak ke lapangan, mempropagandakan toleransi lewat tulisan.
Masih banyak para tokoh yang belum penulis sebutkan, mungkin pada tulisan ini lebih penulis fokuskan pada paradigma toleransi yang digagaskan oleh beberapa gelintir tokoh.