Urupedia – Berbicara tentang ketidakadilan sosial dalam Masyarakat sangat menarik apabila dinarasikan secara sederhana dan lugas. Karena dalam sejarah umat manusia, memerangi ketidakadilan dalam masyarakat sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial. misalnya seperti analisis dan teori kelas yang dicetuskan oleh Karl Marx, Yang berbicara tentang ketidakadilan ekonomi.
Kemudian juga seperti teorinya Antonio Gramsci dan Louis Althuser yang membahas tentang idiologi dan kultural yang menentang keduanya karena dianggap sebagai alat dan bagian dari mereka yang diuntungkan akan melanggengkan ketidakadilan. Kemudian ada juga yang membahas tentang ketidakadilan sosial, yang bersumber dari metodologi dan epistimologi positivisme. Yang mengutarakan tentang ilmu pengetahuan dan wacana selama ini yang dianggap netral, namun akhinya perlu dipertanyakan oleh pemikiran pascamodern yang dicetus oleh mazhab Frank Furt.
Oleh karena itu dari berbagai macam gugatan yang telah dinarasikan di atas terhadap ketidakadilan sosial pada akhirnya lahirlah gagasan dan ide bagi kehidupan masyarakat yang akan datang. Akan tetapi dari pernyataan di atas masih belum disebutkan tentang ketidakadilan atas gender. Dimana dewasa ini masih menjadi problematika sosial dimana masyarakat masih terisolasi oleh ketidakadilan.
Perlu dipahami ada sebuah gerakan yang bernama feminisme. Gerakan ini telah banyak menyumbangkan inspirasi pemikiran atau pemahaman terhadap dunia yang lebih baik dan adil. Gerakan ini tidak hanya mempengaruhi lembaga birokrasi pembangunan, teori-teori baru terkait dengan Ilmu sosial. Melainkan juga sangat mempengaruhi pandangan berbagai agamawan.
Paling tidak, gerakan ini lebih memaksa lagi untuk melihat, mengevaluasi, bahkan memaksa untuk memerhatikan kembali terkait dengan posisi perempuan yang selama ini ada. Bahkan ada banyak kultur dan tradisi yang mempengaruhi kondisi dan posisi perempuan di berbagai macam tempat. Gerakan feminisme ini bersinergi untuk mendorong menciptakan sebuah gugatan terhadap kultur dan tradisi yang seolah merendahkan kaum perempuan.
Kita lihat kembali kepada sejarah. Ada sosok wanita yang sudah sering didengar oleh telinga kita, yaitu adalah RA. Kartini. Dimana Kartini merupakan orang Indonesia yang mencita-citakan sekaligus memperjuangkan emansipasi wanita sehingga keteladanannya dalam kesamaan antara kaum perempuan dan laki-laki.
Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya batasan bagi seorang perempuan untuk memperoleh sekolah formal di masa lalu. Sehingga pada akhirnya Kartini mulai melakukan perjuangan hak-hak perempuan sekaligus mengkampanyekan melalui tulisan-tulisannya dan pada akhrinya dimuatlah oleh banyak orang di berbagai majalah. Terutama di Belanda De Hollandsche Lelie.
Sejak saat itulah masyarakat telah mulai menyadari dan mempunyai pandangan bahwa kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan harus dipertahankan. Hasilnya pun hingga saat ini gerakan persamaan kedudukan ini terus digalakkan.
Akan tetapi walaupun telah banyak diperjuangkan dan digaungkan oleh banyak gerakan-gerakan modern, kenyataanya hingga saat ini ketidakadilan atas gender masih ada dan berkembang di tatanan masyarakat Indonesia.
Hal tersebut bisa dibuktikan dengan adanya ketimpangan yang masih dialami oleh seorang perempuan. bahwa seorang perempuan masih merupakan bagian dari laki-laki. Dimarginalisasi, hingga didiskriminasi dan ini akan membuat perempuan semakin terbelenggu untuk mengekspresikan hak-hak nya seorang perempuan.
Ada banyak berbagai macam pekerjaan yang berada didalam sebuah keluarga. misalnya seperti mengatur keuangan, kepiawaian didalam memilih pembelanjaan yang harus sesuai dengan selera anggota keluarga, menjaga kebersihan, kerapian rumah, sekaligus kelestarian lingkungan di dalam rumah, mendidik anak, memasak, serta semua kebutuhan yang berada didalam rumah. Semua Itu merupakan suatu hal yang mutlak harus dikuasai oleh seorang perempuan.
Laki-laki tidak seperti perempuan, kalau laki laki hanya sebatas bekerja mencari nafkah. Kemudian laki-laki merupakan pemimpin keluarga yang merasa bukanlah kewajibannya untuk melakukan pekerjaan rumah. Dari berbagai macam ketidakadilan ini biasanya yang sering menjadi landasan adalah agama baik agama Islam ataupun agama yang lainnya.
Dewasa ini agama telah mendapatkan ujian baru, karena agama dianggap sebagai faktor pertama dalam masalah ini. Bahkan agama dijadikan sebagai kambing hitam terkait dengan terjadinya pelanggengan atas ketidak adilan gender. Hal yang paling mengganggu, misalnya seperti gambaran bahwa tuhan seolah-olah adalah laki-laki. Penggambaran ini terjadi hampir semua agama, misal seperti dewa Krishna dan dewa Siwa dalam agama Hindu, atau bahkan dalam Islam itu sendiri jika Nabi Muhammad adalah seorang laki-laki yang merupakan pemimpin agama, serta nabi terakhir yang diutus oleh Allah untuk menyebarluaskan agama Islam.
Kemudian banyak ulama yang mengklaim serta menjadikan firman Allah dalam surah An-Nisa ayat 34 yang mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa perempuan berada dalam posisi yang dipimpin.
Tafsir klasik ini sering dijadikan bahan argumentasi penguatan supremasi laki-laki atas perempuan. Laki-laki telah memiliki kekuasaan dan status lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga pola kekuasaan dan status ini sangat berpengaruh secara universal dalam menetapkan kebijakan dan aturan yang berlaku di tengah kehidupan bermasyarakat.
Perlu dipahami bahwa sepirit apa yang dibawa oleh agama islam pada awal mula kelahirannya, yakni melakukan perbandingan kondisi dan posisi perempuan pada zaman sebelum dan sesudah Islam. Ketika dikembalikan kepada sejarah bahwa dalam masyarakat pra-Islam (zaman Jahiliyah).
Kedudukan seorang perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah dari pada seorang laki-laki dan ini menandakan bahwa diskriminasi dan marginalisasi sangatlah berlaku pada saat itu. Bahkan dianggap tidak berharga keberadaannya. dalam suatu riwayat kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup, sudah merupakan suatu hal yang sudah biasa saja dan sudah menjadi kebiasaan yang membentang luas di dunia Arab Pada zaman pra-Islam.
Akan tetapi setelah turunya Al-Quran kepada Nabi Muhammad Saw, dunia Arab pun semakin maju dan keadaannya semakin baik. Baik dalam hal keadilan atau bahagiaan saat itu. Sehingga Al-Quran dijadikan sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, yang pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Dengan kata lain bahwa seorang perempuan mempunyai tanggung jawab atas seorang laki-laki, begitupun sebaliknya seorang laki laki mempunyai tanggung jawab atas seorang perempuan.
Untuk memahami lebih dalam lagi terkait dengan kesetaraan seorang perempuan dengan laki-laki, maka diajurkan untuk memahami konteks ayat ini. Diriwayatkan suatu hari seorang sahabat Nabi bernama Saad bin Rabi menampar istrinya yang bernama Habibah bin Zaid karena ada suatu persoalan. Kemudian Habibah tidak terima dan mengadu terkait peristiwa tersebut kepada ayahnya. Dan pada akhirnya ayanya pun pergi mengadu kepada Nabi.
Keputusan yang telah ditetapkan oleh Nabi adalah meminta kepada Habibah untuk membalasnya. Terkait dengan keputusan tersebut para laki-laki di Madinah saat itu protes. Dari situ kemudian bisa dipahami bahwa seorang perempuan juga memiliki hak yang layak untuk mengaktualisasikan hak-haknya seorang perempuan. Dan laki-laki pun tidak semerta merta harus mendiskriminasi, memarginalisasi apalagi melakukan penindasan bagi seorang perempuan.
Penulis: Suhal