Sastra

Cerpen: Kotak Amal

×

Cerpen: Kotak Amal

Sebarkan artikel ini
Cerpen: Kotak Amal urupedia

Waktu baru saja lewat tengah hari. Aku segera beranjak setelah mendapatkan kabar bahwa Sakir tertabrak mobil di sepan masjid. Aku akan benar-benar khawatir kalau saja ia terluka parah dan meregang nyawa. Aku tentu tidak ingin kehilangan tetangga kamar kos yang baik hati itu. Apalagi ia telah kuanggap sebagai guru kehidupan yang alim dan bijaksana.

Baru sekitar tiga bulan aku mengenalnya. Tepat ketika ia pindah ke bangunan indekos, di samping kamarku. Sejak saat itu banyak kesempatan bertemu. Kami sering bercengkerama di teras depan kos. Seiring berjalannya waktu kami akhirnya saling mengakrabi, seolah seperti kakak dan adik.

Sungguh, aku memandang Sakir sebagai sosok yang ideal. Baik dari kerja kerasnya maupun sikap beragamanya. Umurnya masih menginjak 28 tahun, tetapi ia tampak begitu taat pada perintah agama. Selepas bekerja di pabrik tepung, ia menyempatkan waktu pergi ke masjid. Tak luput di setiap menunaikan salat fardhu, ia berjamaah di sana. Bahkan Sakir mulai aktif mengurus masjid, termasuk membersihkan dan mengalokasikan dana kotak amal.

Secara kasat mata, orang-orang pun dapat melihat kealiman Sakir. Paling tidak meski dilihat dari penampilannya yang mencolok, mengenakan gamis dan kopiah hitam, juga rambut yang tumbuh lebat di sekitar wajahnya. Apalagi ia memiliki istri yang taat menutupi aurat dan membatasi pergaulannya. Bahkan lebih sering menutup diri di dalam kamar kos.

Namun uniknya Sakir memiliki pemikiran keagamaan yang berbeda dengan pemkiran pada umumnya. Aku kerap mendengar pendapat-pendapatnya yang lugas mendobrak kemapanan pendapat. Dan sebagai mahasiswa yang berpikiran terbuka, aku pun senantiasa merenungi, atau bahkan mengangumi kekritisannya.

Hingga akhirnya, pada satu hari, ia pun memancing nalarku dengan menyinggung perihal fungsi sosial lembaga keagamaan, khususnya masjid. Pasalnya, ia merasa bahwa selama ini masjid belum memberikan dampak yang nyata dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Ia pun mencontohkan masjid yang tampak semakin mewah di lingkungan kami, di tengah-tengah kehidupan beberapa warga yang tidak memiliki hunian yang layak, atau bahkan masih kesulitan dalam memenuhi kebutuhan makanan pokok.

“Kalau paradigma itu tidak diubah, maka orang-orang akan mengira bahwa urusan agama memang terpisah dari urusan dunia; bahwa masjid tidak punya hubungan apa-apa terhadap kondisi kehidupan manusia. Akibatnya, orang-orang akan semakin gemar pada simbol-simbol keagaamaan, tetapi mengabaikan orang-orang yang mengalami kesulitan hidup. Orang-orang akan berlomba untuk menyumbang demi kemewahan masjid, tetapi abai pada tetangga mereka yang kelaparan,” tuturnya kemudian, dengan sikap tenang, saat kami berbincang-bincang di atas balai-balai, di halaman depan kos-kosan kami.

“Jadi, apa yang harus dilakukan?” tanyaku penasaran.

“Masjid seharusnya mampu berperan baik dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kas masjid dari sumbangan atau kotak amal, semestinya digunakan untuk memberdayakan masyarakat. Kalau masyarakat sejahtera, tentu, mereka pun akan dengan mudah berderma untuk mengupayakan pembangunan masjid menjadi lebih baik lagi.”

Ia lantas tersenyum mendengkus ke arahku. “Jadi semestinya, keadaan masjid sejalan dengan perekomian warga. Kalau masjidnya mewah, semestinya tidak ada lagi warga yang tidak punya tempat tinggal.”

Aku lantas mengangguk-anggukkan kepala terkesima dengan statement yang ia berikan. Kemudian aku menimpaliya “Saya kira, hal ini akan terus menjadi problematika, selama mayoritas muslim memiliki cara pandang satu sisi. Tidak melihat ke dimensi sosial. Bahwa ketertarikan untuk menyumbang ke masjid lebih besar daripada menyantuni fakir miskin.”

Ia pun tertawa bergumam dan menggeleng-gelang, seolah-olah tanggapanku keliru. “Karena itulah, ketimbang melawan dan berusaha mengubah kebiasaan banyak orang, akan lebih mudah dan jitu jika memberikan pemahaman kepada para pengurus masjid. Maksudku, biarlah masyarakat tetap menyumbang ke masjid, tetapi kas masjid semestinya dikelola oleh para pengurus untuk memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.”

Lagi-lagi, aku mengangguk paham dan sepakat dengan pandangannnya. Tetapi aku lekas juga mempertanyakan keraguanku, “Apa mungkin memberikan pemahaman dan mengubah paradigma para pengurus masjid? Bagaimanapun, konsep semacam itu tidak lazim, dan tentu membutuhkan keterampilan lebih dalam pengaplikasiannya.”

Ia kemudian tertawa pendek. “Kalaupun mereka tidak sependapat dan tidak mau berubah, ya tunggulah sampai aku atau kau menjadi pengurus masjid.”

Sontak, aku balas tertawa dengan perasaan yang sedikit tersinggung, sebab ia seakan-akan memintaku untuk sering-sering berurusan dengan masjid.

Akhirnya, setelah percakapan itu usai, aku pun terilhami pemahaman baru, bahwa lembaga keagamaan seperti masjid semestinya mampu berperan dalam peningkatan kualitas kehidupan masyarakat. Tetapi pada saat yang sama, aku pun semakin menyesal, sebab pada kenyataannya aku masih kurang bersentuhan dengan persoalan keagamaan, sehingga aku belum mampu mengaplikasikan pemikiran itu dengan baik.

Hari demi hari aku menyaksikan Sakir senantiasa menjalankan pemikirannya itu. Kalau tidak salah, 25 hari yang lalu, ia mengajakku untuk mengantarkan sekarung beras untuk seorang janda tua. Pada saat itu pula, aku menyaksikan ia menyantuni para pengemis di sebuah warung, saat kami sedang menyantap hidangan di sana.

Berdasarkan kejadian itu, aku pun yakin bahwa Sakir adalah orang yang alim. Ia melakukan kebajikan dengan ilmu kebijaksanaan. Meski hanya sesekali aku melihatnya menyedekahi orang-orang miskin. Namun siapa tahu ia telah berbuat kebaikan yang banyak tanpa sepengetahuanku. Lagi pula aku bukan malaikat raqib yang senantiasa membuntutinya sehingga mengetahui segala kebaikan yang ia dermakan. Satu hal yang kukagumi, biasanya orang-orang hanya ingin mencari pamor. Berbeda dengan dirinya yang melakukan semua itu dengan tulus, nyaris tak pernah setitik tinta menuliskan namanya di papan donatur masjid.

Akhirnya, aku kerap membayangkan, andaisaja semua pengurus masjid memiliki pola pikir seperti Sakir, semua warga di sekitar tempat kosku akan semakin makmur. Kalau para pengurus masjid benar-benar mengambil kebijakan seperti itu, aku yakin, tidak akan ada lagi kasus pencurian isi kotak amal seperti yang terjadi sebulan atau dua bulan yang lalu, yang pelakunya tak berjejak karena tidak ada saksi mata atau kamera pemantau di masjid kami. Aku yakin, tidak akan ada lagi warga yang kesusahan dan terpaksa menggarong uang masjid untuk perkara dunianya, apalagi untuk sekadar bertahan hidup. Jika demikian, aku pasti akan turut mengutuk sang pencuri dan tidak akan menyalahkan pengurus masjid atas aksi pencurian tersebut. Tetapi karena harapan itu masih jauh panggang dari api, kini, aku sangat berharap Sakir segera mendapatkan jabatan di dalam organisasi pengurus masjid, atau sekalian menjadi ketuanya.

Sampai akhirnya, beberapa lama kemudian, di tengah pikiranku yang sedang berputar dan asyik mendeskripsikan seorang Sakir, langkah kakiku terhenti. Seketika pula, aku menyaksikan orang-orang berkumpul di depan masjid. Dengan sergap aku menyeruak di tengah kerumunan. Selang sejenak, aku pun melihat Sakir tak berdaya di dalam bopongan beberapa warga. Dalam sekejap, sebuah mobil akhirnya meluncur ke rumah sakit, membawa Sakir bersama istrinya.

Di tengah rasa penarasanku tentang kejadian yang menimpa Sakir, aku pun berhimpun dan menguping cerita-cerita para warga. Beberapa di antara mereka lantas menuturkan kecurigaannya bahwa ada masalah dengan diri sang penabrak, sebab kejadian tersebut terjadi ketika jalanan sedang lengang. Beberapa di antaranya menuturkan perkiraan bahwa si pengemudi tengah berada di dalam pengaruh minuman keras.

Sesaat kemudian, keganjilan yang lain pun dituturkan oleh beberapa warga yang lain. Mereka mengaku menemukan banyak uang beragam pecahan di balik kopiah, kantung baju, dan gulungan sarung Sakir. Mereka mengaku penasaran, tetapi Sakir tak lagi berdaya untuk memberikan keterangan. Mereka pun tak sanggup menuding Sakir macam-macam, sebab mereka menyaksikan sendiri kalau Sakir adalah seorang pencinta masjid. Hingga akhirnya, mereka mengumpulkan saja lembaran-lembaran uang tersebut dan menyerahkannya kepada istri Sakir.

Diam-diam, aku pun bertanya-tanya seorang diri. Apalagi, recehan uang yang bergelimang di tubuh Sakir tampak sangat mencurigakan. Sampai akhirnya, aku tak bisa menampik dugaanku sendiri bahwa kumpulan uang itu berasal dari kotak amal masjid. Tetapi perkiraan itu tidak berarti membuat Sakir menjadi buruk di dalam benakku. Sebaliknya, kalau itu memang benar, aku yakin ia hanya ingin mewujudkan pandangan baiknya, bahwa uang masjid seharusnya digunakan untuk membantu orang yang membutuhkan.

Aku beranjak menuju kos di tengah kemelut pikiranku yang kacau. Sembari berharap Sakir selamat dan memberikan keterangan yang jelas atas apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa lama kemudian, aku pun sampai di kamar kos. Karena keadaan badan yang kurang istirahat, semua energi terkuras, aku lantas berbaring dan terlelap di atas kasur. Sampai akhirnya, aku terbangun di sore hari.

Selang beberapa lama setelah aku terjaga, tiba-tiba, aku menyaksikan dua pasang laki-laki dan perempuan masuk dan memarkir sepeda motor di halaman depan. Mereka lantas melangkah menuju ke kamar Sakir. Aku melihat dan memastikan mereka menjumpai kamar tersebut sedang terkunci. Sampai akhirnya, mereka pun menengok ke dalam kamarku, seolah hendak mencari informasi.

“Apa benar penyewa kamar yang di samping ini bernama Sakir?” tanya seorang lelaki di antara mereka.

Aku pun mengangguk. “Benar, Pak. Memangnya kenapa?”

“Sakir dan istrinya punya urusan dengan kami,” jawab lelaki itu lagi.

“Urusan apa, Pak?” tanyaku, penasaran.

“Mereka berdua telah menggelapkan uang kami dengan kedok investasi. Mereka berutang banyak kepada kami,” terang sang lelaki.

Sontak, aku pun terkejut mengetahui kenyataan itu.

“Kira-kira, Sakir dan istrinya ada di mana, ya?” tanya seorang perempuan di antara mereka.

Aku lekas menggeleng. “Maaf, saya tindak tahu, Bu,” balasku penuh kebohongan.

Aku syok mendengarnya, untuk menghindari hal yang tak diinginkan aku memilih untuk berbohong kepada mereka. Apakah seorang Sakir di mata ku berbeda dengan pandangan mereka? Atau persepsiku kepadanya selama ini salah? hanya tipuan belaka? Aku hanya sangsi.

Mereka pun tampak maklum, kemudian beranjak untuk mencari informasi pada tetangga kamar yang lain. Aku pun hanya terdiam, merenung dan berfikir. Berharap Sakir segera pulih dari sakitnya dan segera menjelaskan keganjilan tentang dirinya dan kronologi kejadian di depan masjid.

Penulis: Ramli Lahaping

Editor: Ummi Ulfa. S

Ramli Lahaping. Bloger (sarubanglahaping.blogspot.com). Lahir di Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

Untuk mendapatkan tulisan terbaru dari kami, bisa bergabung grup Telegram melalui link berikut (KLIK DISINI)