
Urupedia – Film tentang kemerdekaan yang menitikberatkan pada perjuangan santri melawan penjajah ini berjudul “Sang Kiai” yang disutradarai oleh Rako Prijanto. Film yang diperankan oleh Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, dan Adipati Dolken ini pertama rilis pada 30 Mei 2013 dan sampai saat ini masih sering ditonton oleh masyarakat Indonesia.
Mengangkat kisah mengenai sosok besar Hadratus Syaikh K.H Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdatul Ulama), film ini mengandung banyak pesan-pesan kehidupan seputar perjuangan kebangsaan dan jihad menegakkan agama Tuhan.
Berawal dari kehidupan pesantren yang begitu tenang, dibumbui kisah lamaran Harun sang santri teladan untuk Sari yang direncanakan oleh Sang Kiai, dan tawa riang para santri yang memberi hukuman untuk anak yang tidak berjamaah. Komedi dan kehangatan itu hanya pemanis di awal. Sebelum akhirnya tentara Jepang benar-benar telah singgah di bumi mereka, tepatnya kota Tebuireng.
—
Sejak saat itu penjajah terus menciptakan suasana menegangkan bersama senjata dan teriakan bengisnya. Tatkala takbir menggema di langit-langit pesantren, ancaman Jepang semakin mendesak. Hingga Sang Kiai harus rela dibawa tentara Jepang untuk memaksa umat Islam melakukan Sikerei yang jelas-jelas perbuatan musyrik.
Teguhnya penolakan beliau menjadikan tentara Jepang tidak segan-segan memberi siksaan kejam. Di tengah kemarahan para santri, upaya demo yang dipimpin oleh Harun justru membuat temannya tertembak oleh tentara Jepang setelah tahu bahwa mereka adalah santri Tebuireng.
Lain dengan K.H Wachid Hasyim dan K.H Wahab Hasbullah yang memilih jalan damai. Meskipun mampu memanfaatkan situasi dengan pura-pura bekerja sama dengan Jepang, penderitaan rakyat masih saja tidak berkurang. Bahkan saat pendudukan Jepang berganti dengan kedatangan Belanda dan Sekutu. Hingga menimbulkan tragedi Surabaya sebagai pertempuran yang harus memakan nyawa Harun setelah berhasil membunuh Jenderal utama Sekutu-W. S. Mallaby.
Sepanjang perjuangan ini, penonton akan terus merasakan suasana ketegangan. Bahkan saat menyaksikan Sang Kiai disiksa hingga berdarah dan bergetar tangannya, kalian bisa ikut merinding. Emosi marah yang bercampur aduk karena tidak terima dengan perlakuan tentara Jepang, bisa membuat air mata keluar begitu saja. Apalagi merelakan sosok Harun, santri teladan yang harus terbunuh di tangan Sekutu, hingga meninggalkan istri dan anaknya.
Ditutup dengan wafatnya Sang Kiai, suasana kesedihan semakin menjadi. Padahal nasihat beliau masih begitu diharapkan oleh perjuangan Indonesia di era selanjutnya. Namun, fatwa beliau yang mengatakan bahwa ‘Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardu ‘ain’, membuat semangat para santri terus bangkit. Bahkan harus tetap menyala sampai saat ini.