Esai

Resensi Buku Hati Suhita Karya Khilma Anis

×

Resensi Buku Hati Suhita Karya Khilma Anis

Sebarkan artikel ini
Resensi Novel Hati Suhita: Menyelami Makna Ketabahan dan Ketulusan Perempua
Foto Novel Hati Suhita-Rijal-Dok. Istimewa

Judul: Hati Suhita
Penulis Buku: Khilma Anis
Penerbit Buku: Telaga Aksara
Tahun Terbit: 2019
Kota Terbit: Jakarta
Cetakan: Pertama
Tebal Buku: 405 halaman
Genre: Novel Fiksi
ISBN: 978-602-51017-4-8
Peresensi: Al Fatih Rijal Pratama

Tentang Penulis

Khilma Anis adalah seorang penulis novel yang berjudul “Hati Suhita.” Ia dulunya pernah menempuh pendidikan di Jurusan Komunikasi penyiaran Islam (KPI) falkultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Selain itu, Ia juga pernah mengikuti organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Lembaga Pers Mahasiswa Arena. Tak hanya itu, dirinya juga pernah berkecipung sebagai wartawan kampus, bahkan sampai melahirkan beberapa cerpen di majalah dan buletin Arena.

Resensi

Tentang novel berjudul “Hati Suhita” itu menceritakan kehidupan perempuan di pondok pesantren yang sudah ditakdirkan untuk dijodohkan. Selan itu, di dalamnya terkandung tentang feminisme, dan gender.

Karena saat membaca novel tersebut kita akan dapat menyelami soal pernyataan tentang kaum perempuan dalam lingkungan pondok presanten, apalagi soal perjodohan yang membuat perang bantin antar tokoh di dalamnya. Belum lagi, persoalan dan perlakuan tentang ketidakadilan gender yang telah dialami tokoh perempuan.

Di dalam novel tersebut juga menceritakan mengenai babakan tokoh-tokoh pewayangan yang mencerminkan laku kehidupan wanita-wanita dan laki-laki dalam menjalani dan menyikapi persoalan kehidupan. Ya inilah uniknya dari novel tersebut, adanya perpaduan antara pesantren dan budaya jawa yang dikemas secara popular.

Tokoh sentral perempuan dalam novel tersebut adalah Alina Suhita. Nama Suhita sendiri di ambil dari nama tokoh perempuan Majapahit yaitu Dewi Suhita. Yang mana dalam ceritanya merupakan tokoh yang tangguh, serta telah membuat Candi Sukuh dan Candi Ceta di lereng Gunung Lawu.

Awal mula cerita dalam novel tersebut menceritakan tentang perjodohan yang terjadi antara Alina Suhita dan Abu Raihan Al-Birruni atau seringkali dipanggil dengan nama Gus Birru. Ia putra semata wayang dari Kiai dan Nyai Hanan. Perjodohan mereka berdua memanglah sudah di tetapkan sejak mereka masih muda.

Sebab, Kiai dan Nyai Hanan sangatlah menaruh harapan banyak kepada Alina agar kelak bisa meneruskan perjuangan dan roda pergerakan pesantren dan juga memberikan keturunan yang baik. Karena sosok Alina Suhitalah yang diidamkan oleh kedua orang tua Gus Birru.

Dia adalah seorang perempuan Hafidz atau penghafal Al-Qur;an dan seorang perempuan yang pintar. Bahkan dalam ceritanya, terkait masa depan Alina Suhita juga sudah ditetapkan oleh calon mertuanya, termasuk di mana ia harus mondok dan kuliah.

Namun, persoalan perjodohan tersebut sangatlah membuat Gus Birru terpukul dan masih belum bisa menerimanya. Apalagi dirinya belum tertarik soal mengembangkan amanah untuk pondok pesantrennya.

Dikarenakan Gus Birru telah mengenal dan menyelami dunia pergerakan, dan juga menyukai dunia literasi sampai Ia mendirikan sebuah café yang diisi oleh komunitas jurnalis dengan tujuan untuk memperkenalkan dunia jurnalistik di ranah kepada masyarakat umum. Bahkan, sampai ke ranah dunia pondok pesantren. Meskipun café yang didirikan oleh Gus Birru mengalami suatu perdebatan dengan Abahnya yang mana tidak setuju dengan pemikirannya.

Tak hanya itu, gejolak batin juga dialami oleh Alina Suhita. Di mana Ia ingin mendapatkan kebahagiaannya dengan Mustika Ampalnya yaitu Gus Birru. Namun, pada kenyataannya justru penolakan yang membuatnya ia merenung dan meratapi nasibnya.

Penolakan tersebut terjadi karena Gus Birru masih belum bisa mencintai dan menerima Alina Suhita sebagai istrinya, apalagi ketika dirinya ingin menyentuh Alina akan muncul bayangan perempuan yang dulu dicintainya semasa kuliah. Apalagi perempuan tersebut adalah perempuan idamannya sejalur dengan pemikiran dan kesukaaannya yaitu dalam dunia penulisan dan literasi.

Bahkan sosok perempuan itulah yang telah membuat dorongan untuk dirinya mendirikan sebuah café dan komunitas jurnalistik serta penerbitan perbukuan. Perempuan itu bernama Ratna Rengganis (Tokoh sentral perempuan ke dua), perempuan yang telah mengisi relung hatinya dan mengenali seluk-beluk tentang dirinya. Perempuan cantik, cerdas, dan juga seorang aktivis

Kehadiran Rengganis inilah yang telah memercikan api cemburu pada diri Alina Suhita, yang mana ketika saat malam purnama dirinya ingin justru Gus Birru suaminya malah dingin dan menolak ajakkannya untuk bercengkerama.

Bahkan, saat malam pun Gus Birru masih saja seringkali menatap layar HP-nya untuk mengirim pesan dan sekali-kali bertelepon dengan Rengganis menanyakan sebuah kabarnya serta kerinduannya. Padahal dirinya sudah beristri, tapi ternyata masih belum bisa melepaskan kenangannya bersama Rengganis.

Sudah selama tujuh bulan Alina Suhita mengalami hal seperti itu, karena beranggapan bahwa Rengganislah yang telah mencuri hati Gus Birru. Memang di mata Gus Birru Alina cuman seorang perempuan penghafal Al-Qur’an yang disayangi oleh Ummi Hanan. Tapi, pada kenyataannya urusan pesantren cuman Alina Suhitalah yang lihai mengurusnya, apalagi urusan kedua mertuanya ketimbang Gus Birru.

Tak hanya itu, puncak gejolak batin dan melutusnya percikan api cemburu dalam diri Alina Suhita adalah ketika kehadiran Rengganis di Pondok Pesantren Gus Birru. Di mana ke dua mertuanya tidak mempermasalahkan kedatangan Rengganis bahkan obrolannya membuat kedua mertuanya tak canggung, apalagi keceriaan Gus Birru berkat kedatangannya.

Hal itulah, yang telah membuat Alina Suhita pergi meninggalkan pondok pesantrennya, karena selama itu, kesabaran, ketabahan, ketangguhan yang telah Ia bangun dengan bersusah-payah pada akhirnya sirna berkat kedatangan Rengganis. Meskipun dalam dirinya tersemat, nama Dewi Suhita. Namun, dirinya hanyalah Alina Suhita.

Di sisi lain, Semenjak Ratna Rengganis sudah memutuskan untuk pergi meninggalkannya untuk melanjutkan kuliah di London dan melepaskan jabatannya sebagai ketua komunitasnya. Alasannya memang sudah Rengganis tetapkan dan perbuat, sebab dirinya tak ingin lagi menjumpai Gus Birru.

Karena Sosoknyalah yang telah melahirkan butiran-butiran kenangan yang sudah tak dapat dielak ketika masih bertemu dan bersama dengan Gus Birru. Sosok kehadiran dan munculnya kenangan itulah yang telah membuat dirinya meneteskan air matanya.

Selain itu, kepergian Alina Suhita ternyata telah menyadarkan Gus Birru. Gus Birru sadar bahwa Ialah Pengabsah Wangsa (perempuan ideal yang menjadi wadah kesaktian dan penerus wangsa leluhur) yang salama ini ia idam-idamkan, selama ini ia acuhkan, dan selama ini ia abaikan ternyata adalah mutiara yang masih dalam perut kerang. Yang harus ia buka untuk melihat keindahannya.

Kehadiran Alina Suhita telah menyadarkan kita sebagai seorang pembaca bahwa setiap perlakuaan seseorang pastilah memiliki maksud yang tersembunyi. Bukan serta-merta saling menyalahkan, yang terpenting komunikasi antar sesama yang membuat saling memahami. Karena manusia bukanlah makhluk yang sempurna.

Terlebih, jika menyelami dan memahami novel ini akan ada maksud dan makna tersembnyi tentang ketabahan dan ketelusan perempuanlah yang dapat menyadarkan dan menaklukan isi hati lelaki.

Kelebihan Novel

Dalam novel tersebut penulis memakai banyak sudut pandang, yaitu dari sudut pandang Alina Suhita, Gus Birru, dan Ratna Rengganis. Jadi ketiga sudut pandang yang dihadirkan penulis, pembaca akan mengetahui berbagai problematika dan juga perang batin yang dihadapi sang tokoh.

Lebih uniknya lagi, dalam novel tersebut tidak disuguhkan tokoh antagonis, justru semuanya berperan Protagonis. Selain itu, Novel tersebut dalam menceritakan menggunakan bahasa sehari-hari yang enak di pahami dan menariknya terdapat unsur cerita tokoh pewayangan yang menceritakan tentang lakon dan falsafah kehidupan.

Kekurangan Novel

Dalam novel tersebut juga ada sebagain dialog yang menggunakan bahasa Jawa yang mengandung sebagian kata yang mungkin sulit dipahami bagi orang awam yang tidak tahu bahasa Jawa. Namun, penulis juga menjelaskan dalam glosarium. Jadi, pembaca bisa membolak-balik ketika ada kesulitan dalam memahami maksud yang disampaikan penulis.

Index