
Urupedia.id- TULUNGAGUNG – Di balik gemuruh mesin pemotong marmer dan kesunyian ladang yang menghijau, berdiri teguh sebuah desa yang menyatukan kekayaan alam, tradisi, dan semangat perubahan. Desa Tanggulkundung, yang terletak di Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, bukan hanya sekadar nama di peta, tetapi potret hidup sebuah komunitas yang terus bergerak menuju kemajuan tanpa kehilangan akarnya.
Dikenal sebagai sentra kerajinan marmer kelas dunia, desa ini menawarkan lebih dari sekadar batu yang dipahat. Di sepanjang jalannya, berjejer showroom dan bengkel rumahan yang memproduksi berbagai produk marmer—dari ornamen hingga meja makan—menjadikannya ikon ekonomi lokal. Namun di balik gemerlap industri, denyut kehidupan masyarakat masih kuat di sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan, menjadikan Tanggulkundung sebagai desa dengan ekonomi berbasis sumber daya alam yang holistik.
Desa ini merupakan hasil penggabungan dua wilayah: Kundung dan Tempel, yang telah bersatu sejak 1939. Dengan jumlah penduduk sekitar 4.247 jiwa, kehidupan warga terbagi harmonis dalam dua dusun utama yang terhubung oleh Jembatan Pelangi—simbol keterhubungan sosial dan ekonomi.
Tak hanya unggul secara ekonomi, kearifan lokal menjadi fondasi kuat masyarakat Tanggulkundung. Mulai dari pengajian rutin, tradisi syukuran, hingga larangan adat menikah di bulan Ruwah, menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dan adat lokal berpadu menjaga harmoni sosial. Gotong royong, santunan anak yatim, hingga pawai budaya setiap Agustus menegaskan bahwa identitas kolektif warga tak luntur meski zaman terus berubah.
Namun, jalan menuju desa mandiri bukan tanpa hambatan. Tantangan seperti minimnya akses teknologi, pengelolaan limbah, dan ancaman stunting masih menjadi pekerjaan rumah yang harus dijawab. Karenanya, pemerintah desa bersama masyarakat terus mengembangkan strategi cerdas: penguatan BUMDes, pelatihan keterampilan, promosi produk melalui digitalisasi, hingga pelestarian lingkungan dan budaya.
Dengan kombinasi antara kekayaan alam, semangat wirausaha, dan warisan budaya, Desa Tanggulkundung bukan hanya desa yang bertahan—tetapi berkembang. Ini adalah contoh nyata bahwa pembangunan desa tidak selalu bergantung pada modernitas yang serba instan, tetapi justru pada kekuatan lokal yang dikelola secara kolektif dan berkelanjutan.
“Tanggulkundung tidak hanya punya marmer, tapi juga punya martabat,” ujar salah satu warga senior yang ikut membangun desa sejak awal berdirinya.
Desa ini adalah cermin masa depan: ketika akar tradisi dan ranting inovasi tumbuh dari tanah yang sama—tanah Tanggulkundung.