
Di sebuah kelas kecil yang sunyi di pinggiran kota, seorang guru bertanya, “Mengapa kita belajar agama?” Tak ada yang menjawab. Hanya denting jam dinding dan derit kursi tua yang menyahut. Namun dalam keheningan itu, tumbuh benih pertanyaan yang jauh lebih besar: ke mana arah pendidikan Islam sebenarnya hendak dibawa?
Pertanyaan ini tak lagi semata-mata soal metodologi pengajaran atau silabus kurikulum, melainkan menyentuh akar filosofis dari seluruh bangunan pendidikan Islam: apakah ia hendak tetap menjadi ruang pengulangan atau berani menjelma menjadi ruang perlawanan? Apakah ia akan terus menjadi pelestari dogma, atau mulai menjadi penggali makna?
Dalam konteks ini, nama Prof. Azyumardi Azra (alm) tak bisa dilewatkan. Ia bukan hanya intelektual muslim terkemuka Indonesia, tetapi juga simbol dari keberanian berpikir dalam tradisi Islam. Dalam karya-karyanya, Azra mengajak kita melihat Islam sebagai warisan yang hidup — bukan bangkai yang dimumikan. Pendidikan Islam, menurutnya, bukanlah sekadar transmisi hafalan, melainkan medan dialektika etika dan akal.
Kosmopolitanisme Islam dan Ruang Kritis
Dalam buku The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Azra menelusuri jejak para ulama Nusantara yang tidak hanya tekun menghafal, tetapi juga berpikir, menulis, dan berkelana ke pusat-pusat intelektual dunia Islam. Mereka adalah ulama kosmopolit — pembelajar sepanjang hayat yang menjadikan pengalaman lintas budaya sebagai sumber pembaruan.
Dari Mekkah hingga Kairo, dari diskusi filsafat hingga ilmu sosial, para intelektual muslim masa lalu tidak alergi terhadap modernitas. Mereka menyambut ilmu sebagai bagian dari iman. Inilah yang Azra sebut sebagai wajah “Islam kosmopolitan”, yakni Islam yang terbuka terhadap peradaban, tanpa kehilangan kepribadian.
Azra mendorong pendidikan Islam agar membentuk ruang kritis — ruang di mana murid bukan hanya objek pengajaran, tapi subjek pencarian. Pendidikan bukanlah pabrik penghasil lulusan, tetapi forum dialog yang menumbuhkan keberanian bertanya. Sebab, seperti katanya, “Agama adalah etika,” dan etika memerlukan keberanian berpikir — bahkan mempertanyakan hal yang dianggap final.
Antara Komersialisasi dan Kejumudan
Namun harapan itu berhadapan dengan kenyataan. Banyak lembaga pendidikan Islam hari ini justru tersandera oleh logika pasar dan tekanan sosial. Kurikulum dirancang bukan untuk membentuk insan merdeka, tapi untuk meluluskan “agen syariah” siap pakai. Inovasi pendidikan terjebak dalam lapisan kosmetik — tampak modern secara teknologi, namun tetap konservatif dalam nalar.
Azra mengingatkan agar pendidikan Islam tidak terjebak dalam imitasi Barat tanpa fondasi etik. Ia mendorong agar pembaruan pendidikan bersumber dari nilai-nilai Islam itu sendiri: keadilan, keberpihakan pada yang lemah, dan kejujuran intelektual. Modernitas, bagi Azra, bukanlah musuh, tapi medan yang harus diolah dengan kebijaksanaan.
Menyusun Ulang Makna Mendidik
Gagasan Azra mengajarkan bahwa pendidikan Islam adalah entitas yang tumbuh — hidup, bergerak, dan berdialog dengan zaman. Maka membacanya bukanlah pekerjaan nostalgia, tetapi tindakan menyusun ulang keberanian kita dalam mendidik. Kita harus kembali bertanya: untuk apa kita mengajar? Untuk siapa ilmu itu diarahkan?
Pendidikan Islam yang sehat, sebagaimana dicontohkan Azra, bukan yang segera memberi jawaban, melainkan yang menanamkan pertanyaan. Sebab pertanyaan yang baik akan hidup lebih lama dalam ingatan siswa dibanding seribu jawaban yang basi. Seperti kelas yang sunyi di awal cerita, kadang pendidikan terbaik lahir dari keheningan — dari kontemplasi, bukan indoktrinasi.
Penutup: Mewarisi Jalan Pencarian
Azyumardi Azra telah tiada, tapi lentera yang ia nyalakan masih menyala di banyak ruang kelas, buku, dan benak para pencari makna. Kita berhutang pada keberanian intelektualnya, sekaligus ditantang untuk melanjutkannya.
Maka arah baru pendidikan Islam bukanlah jalan cepat, tetapi jalan sunyi: jalan pencarian, jalan keberanian, jalan pembebasan nalar. Dan seperti yang diungkapkan Azra sendiri, “Islam tidak sekadar warisan, tapi jalan pencarian.”
Daftar Pustaka
- Azra, Azyumardi. Islam Substantif. Bandung: Mizan, 2000.
- ———. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia. Allen & Unwin, 2004.
- Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
- Arkoun, Mohammed. The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books, 2002.