Esai

Negaranya Para Perusak Lingkungan

×

Negaranya Para Perusak Lingkungan

Sebarkan artikel ini
Sumber: https://pusatkrisis.kemkes.go.id/kerusakan-lingkungan-sudah-menjadi-masalah-yang-serius

Urupedia.id- Untuk mengatasi masalah bencana alam kita harus memahami alam, kita butuh pandangan filosofis yang tepat dan utuh terhadap alam.

Sayangnya, para pemimpin dan elit politik kita jarang sekali yang memiliki pandangan yang ilmiah maupun ideologis terhadap alam.

Apalagi para elit yang tujuan mendapatkan kekuasaannya adalah untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya, menjaga kekuasaan material, lalu menggunakan kekuasaan untuk membuat kebijakan dan tindakan yang akhirnya merusak alam.

Di bawah cengkeraman politik yang didominasi kapitalis, keberadaan politisi yang ingin mengubah hutan menjadi tanaman monokultur dan yang ingin mengeruk bumi untuk industri ekstraktif jelas akan terjadi kerusakan alam yang terus-menerus.

Ketika pemimpin dan elit politiknya adalah kapitalis yang punya tujuan untuk mencari keuntungan, maka hukum kapitalisme berlaku, yaitu mendapatkan keuntungan sebesar mungkin.

Inilah sistem ketamakan yang terlembaga, disokong oleh tatanan ekonomi politik, dan dilegitimasi oleh produsen ideologi, termasuk para agamawan yang membuat tafsir agama yang pro industri ekstraktif.

Dalam lingkaran sistem ekonomi politik seperti inilah kita hidup.

Gerak sistem ini berbahaya dan bahaya itu sudah berjalan.

Terutama sejak politik terlalu jauh terbentuk sebagai politik kapitalistik, sokongan politik dan relasi kekuasaan yang kian memburuk ikut mempercepat perusakan alam.

Alurnya sebenarnya sangat mudah dipahami.

Para politisi butuh biaya politik, apalagi politik kapitalistik berpilar pada modal untuk membeli suara dan sogokan membeli alat politik, misalnya agar bisa dapat partai pendukung maka menggunakan sogokan duit.

Lalu saat kampanye butuh banyak buzzer, kemudian saat pemungutan juga harus beli suara tiap pemilih.

Modal utama, bahkan hampir satu-satunya, adalah duit, isi tas, bukan integritas.

Biaya politik harus disediakan lagi untuk pemilu dan pemilihan berikutnya.

Maka selama berkuasa dan dapat kedudukan, para politisi sibuk mengumpulkan biaya politik untuk memenangkan pemilu atau pemilihan selanjutnya.

Sebagian juga butuh duit banyak untuk melunasi hutang-hutang yang dibuat saat pertarungan politik sebelumnya.

Tuntutan untuk melunasi hutang dan menyiapkan biaya politik selanjutnya inilah yang menjadi pendorong bagi para pengambil kebijakan politik untuk menghalalkan segala cara, yaitu korupsi dan gratifikasi.

Cara paling cepat adalah dari kegiatan mengeruk alam. Apa yang sudah ada tinggal dikeruk saja.

Kalau tidak bisa mengeruk sendiri karena ilmu pengetahuan dan teknologi tidak siap, ya diserahkan pada modal besar dan modal asing saja.

Yang penting bisa kebagian keuntungannya. Akhirnya para politisi dari partai politik dan bahkan tokoh ormas juga mendapatkan jatah hak usaha tambang.

Ketika ormasnya adalah ormas agama, maka tokoh-tokoh ormas agama pun harus sibuk mencari pembenaran teologis terhadap pengerukan alam.

Akhirnya agama yang secara substansi berfungsi untuk menyebarkan rahmat bagi alam dan memelihara kemakmuran alam justru dibuat untuk menjadi legitimasi perusakan alam.

Politik Tafsir Agama


Agama yang seharusnya mengontrol sifat ketamakan justru menjadi alat bagi elit agama untuk mendakwahkan sikap pasrah diri dan menjauhkan keaktifan manusia mengatasi masalah alamnya (dunianya).

Ceramah-ceramah dogmatis yang meninabobokan membuat masyarakat hanya sibuk memikirkan akhirat tetapi cuek pada lingkungan duniawi nya.

Tidak jarang kita mendengar ceramah agamawan yang mengajak audiens agar tidak memikirkan dunia terlalu serius, sebab dunia tidak dibawa mati.

Bahkan saya pernah mendengar penceramah berkata bahwa tidak perlu ikut-ikutan mengurusi politik karena politik sudah ada yang mengurusi.

Mereka mengajak rakyat fokus pada urusan akhirat saja.

Ajakannya adalah agar masing-masing orang sibuk untuk rajin ibadah dan tidak usah memikirkan politik yang sudah ada yang mengurusi.

Sebenarnya, pada faktanya, siapa yang mengurusi politik?

Faktanya, para agamawan tidak jarang yang berpolitik, meskipun kebanyakan praktik politiknya adalah politik menjilat pada kekuasaan.

Para agamawan punya partai politik atau aktif di partai politik.

Katakanlah itu adalah praktik berpolitik secara langsung atau yang disebut politik praktis.

Bahkan ada partai yang diklaim sebagai partainya ulama, meskipun ulama yang tidak di partai tersebut juga ada yang masuk partai lain.

Para ulama yang aktif di partai politik ini ternyata tidak mampu menerapkan nilai-nilai agama dalam politik, sebagian besar malah terjebak pada politik koruptif.

Sebagian ulama yang tidak masuk partai politik atau jadi juru kampanye langsung (masuk daftar tim kampanye) juga berpolitik secara lain.

Meskipun mereka ada yang mengklaim tidak masuk politik dan tidak mau berpolitik, justru mereka dapat kue kekuasaan ekonomi dari keberpihakannya pada elit-elit politik.

Di mata masyarakat mereka tidak tampak berpolitik dan terkesan bersih dari politik, bahkan dianggap sebagai zuhud.

Tapi di belakang layar mereka juga berhubungan dengan politisi dan penyandang dana politik.

Bagi sebagian ulama yang punya ketergantungan ekonomi pada politik, misalnya bantuan dana untuk yayasan yang cara mendapatkannya lewat para politisi yang punya otoritas menentukan anggaran pemerintah, tentu tidak bisa dikatakan sebagai sosok-sosok dan tokoh-tokoh yang bebas dari politik.

Banyak yayasan yang berebut anggaran negara lewat bantuan-bantuan yayasan, dan mereka harus bekerja sama dengan politisi dan orang-orang di kekuasaan.

Di sini ada kecenderungan relasi yang transaksional.

Belum lagi tokoh-tokoh ulama yang mendapatkan bantuan dari para pengusaha tambang yang kadang hubungannya tidak diketahui publik atau umat.

Artinya, ada relasi politik antara ulama dengan kapitalis dan penguasa (atau kapitalis yang mendapatkan kedudukan dan kekuasaan).

Sehingga akan munafik sekali ketika ada ajakan-ajakan yang berbunyi bahwa tidak usah mengurusi politik karena sudah ada yang mengurusi.

Seperti ada sesuatu yang nadanya sama atau berkaitan: “kamu tidak usah berpolitik, habiskan waktu untuk berdoa dan tumpuk pahala saja, biar kami saja yang berpolitik.”

Itulah ideologi politik kapitalis yang mewarnai bangsa ini.

Ekonominya kapitalis dengan mata rantai kapitalisme yang paling terhisap karena modal yang beroperasi mengeksploitasi alam didominasi oleh modal asing.

Politiknya politik kapitalis. Ideologinya, termasuk tafsir agamanya, adalah agama kapitalis.

Agama kapitalis ditunjukkan dengan fenomena elit politik ekonomi rajin menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara.

Sedangkan di kalangan rakyat bawah diajak untuk menumpuk pahala pribadi sebanyak-banyaknya.

Pilar ideologi kapitalisme adalah individualisme.

Di sini individu dipacu untuk mencari kepuasan semaksimal mungkin dan menumpuk keuntungan sebanyak mungkin bagi individu-individu pemilik modal.

Tidak peduli pada nasib rakyat banyak, tidak hirau pada nilai-nilai kebersamaan yang mendorong manusia untuk mengontrol diri agar tidak tamak, agar mau berbagi, dan membangun sistem ekonomi yang sosialistik.

Sehingga individualisme di kalangan rakyat bawah justru dipupuk dalam kehidupan keberagamaan.

Jadinya adalah dominannya kesalehan individual daripada kesalehan sosial.

Tiap individu didoktrin untuk rajin ibadah dan dekat dengan Tuhan semata agar menumpuk pahala sebanyak-banyaknya.

Lalu banyak orang yang terlalu banyak waktu untuk Tuhan tetapi tidak mau dan tidak mampu mengatasi masalah-masalah dalam hubungannya dengan manusia.

Agama menjadi suatu hal yang memisahkan diri antara kebutuhan manusia untuk dekat dengan Tuhan dengan kepekaan sosial untuk memikirkan masalah sosial dan kemampuan mengatasinya.

Banyak orang berkumpul untuk berdoa bersama tetapi masalah-masalah riil kemasyarakatan tidak dibahas dan tidak teratasi.

Spirit kemanusiaan hilang tergantikan dengan kemabukan relijius.

Orang banyak mengeluhkan jalan rusak dan hidup susah, tapi tidak diekspresikan dan dikomunikasikan.

Meskipun mereka sering berkumpul, mereka berkumpul untuk berdoa bersama, lalu makan, lalu pulang.

Perkumpulan dan pertemuan di kalangan warga tidak digunakan untuk membahas dunianya dan masalah bersama, misalnya pupuk yang langka bagaimana solusinya, harga-harga yang naik bagaimana solusinya, uang mereka yang dibayar lewat pajak dikorupsi para politisi bagaimana solusinya.

Selain itu, kecenderungan ke arah menjelaskan masalah kehidupan dan mencari solusi akan sulitnya hidup baik para level lingkungan kecil seperti RT, desa, atau level negara berkali-kali dipatahkan oleh ceramah agamawan agar tidak perlu mengurusi dunia yang hanya sementara dan agar memperbanyak doa saja untuk keselamatan akhirat.

Masih adakah Politik Hijau?


Kemudian bencana alam datang dengan dampak yang luar biasa.

Rumah-rumah dan harta benda hanyut dan tenggelam.

Orang-orang mati dan sebagian tidak ditemukan karena terbawa air dan terpendam lumpur.

Sebenarnya ini juga sering terjadi.

Di era pemerintahan siapa pun selalu ada bencana besar.

Bencana banjir tahun 2025 ini memang sangat parah dan kelihatan sekali bahwa sumber masalahnya adalah kerusakan lingkungan.

Juga kentara sekali bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh industri pertanian monokultur yang membuat hutan-hutan gundul dan bahkan yang melakukannya adalah para tokoh-tokoh politik.

Artinya, bencana banjir kali ini tampak nyata hubungannya dengan ekonomi politik.

Dan kita bisa menilai apakah para perusak hutan ini bisa diharapkan akan membawa politik yang lebih pro lingkungan hidup.

Ini adalah fakta awal untuk melontarkan pertanyaan: kapan kita akan punya politisi-politisi yang visi misi lingkungan hidupnya kental?

Kalau misalnya di antara sekian banyak politisi yang mendominasi negara tidak punya ideologi lingkungan hidup tetapi justru didominasi para perusak lingkungan hidup, siapa yang diharapkan akan membangun Politik Hijau?

Oleh: NURANI SOYOMUKTI, Ketua Komunitas Literasi QLC (Quantum Litera Center), sedang nyantri di pascasarjana Jurusan Akidah Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Tulungagung.

Advertisements
Index