
Urupedia.id- Ada masa ketika kampus adalah tempat paling bising di republik ini—bukan oleh suara pengeras acara, melainkan oleh debat, kritik, dan keresahan intelektual.
Himpunan mahasiswa, BEM, dan DEMA bukan sekadar struktur, tapi denyut dari akal sehat publik.
Di sanalah lahir pernyataan, protes, pamflet, dan diskusi panjang yang menolak selesai dalam satu malam.
Tapi hari ini, ruang-ruang itu sunyi. Aula tempat dulu mahasiswa berdebat kini lebih sering dipenuhi backdrop warna-warni, logo sponsor, dan MC dengan suara merdu.
ORMAWA, yang dulu disebut benteng nalar kritis, kini menjelma biro jasa acara. Semacam event organizer yang lebih pandai menyusun rundown ketimbang gagasan.
Yang ironis, semua ini dilakukan dengan rapi, sopan, dan efisien. Tak ada yang salah secara prosedural—tetapi ada yang mati secara kultural.
Dari Gerakan ke Jadwal Acara
Dulu mahasiswa menggerakkan massa. Sekarang mereka menggerakkan jadwal. Dulu ada seruan “turun ke jalan,” kini ada seruan “siapkan proposal.”
Semua harus terukur, terdokumentasi, dan terlapor di sistem. Semangat perlawanan digantikan semangat pelaporan.
Kebijakan lama seperti NKK/BKK sudah lama selesai di atas kertas, tapi warisannya hidup dalam bentuk yang lebih halus, yakni kontrol birokrasi, pendanaan yang bersyarat, dan izin kegiatan yang menuntut “relevansi.”
Tak ada larangan eksplisit untuk berpikir kritis, tapi juga tak ada ruang yang sungguh memberi tempat bagi kritik. Kampus kini menuntut mahasiswa yang terampil, bukan yang berpikir; patuh, bukan reflektif.
Maka jadilah ORMAWA beradaptasi dengan ritme baru itu. Mereka membangun budaya efisiensi, budaya proyek, budaya pragmatisme.
Idealisme ditukar dengan “output,” wacana diganti “dokumentasi,” dan pergerakan disulap menjadi “program kerja.”
Pragmatisme Agama Baru Dalam Kampus
Pragmatisme di tubuh ORMAWA bukan hanya soal strategi bertahan hidup.
Ia sudah menjadi budaya, bahkan keyakinan diam-diam.
Bahwa yang penting acara jadi. Bahwa laporan beres. Bahwa sertifikat keluar.
Budaya organisasi yang lahir dari tekanan birokrasi ini menumbuhkan manusia-manusia efisien tapi kehilangan arah.
Mereka tahu cara mencari sponsor, tapi lupa cara membaca tanda zaman.
Mereka jago membuat spanduk dan proposal, tapi gagap ketika diminta menulis opini.
Pragmatisme membuat organisasi tampak hidup di permukaan—penuh acara, ramai dokumentasi, dan sibuk koordinasi—tapi di dalamnya, roh intelektual perlahan kering.
Ia seperti tubuh besar yang bergerak tanpa jiwa, hanya mengikuti irama prosedur.
Akademia yang Pudar, Saat Dunia Buku Tak Lagi Sakral
Namun bukan hanya ORMAWA yang berubah. Dunia akademik sendiri sudah lama kehilangan pesonanya.
Di ruang dosen, diskusi-diskusi hangat tentang teori sosial digantikan rapat akreditasi dan target publikasi.
Di kalangan mahasiswa, buku-buku serius tersingkir oleh template proposal dan e-book motivasi.
Kampus menjadi tempat yang ramai tapi sepi makna. Ruang baca ada, tapi jarang didatangi.
Diskusi kritis di pojok fakultas berganti dengan sharing session yang manis dan netral.
Kata “kritis” kini terdengar seperti lelucon nostalgia.
Literasi bukan lagi jalan menuju kesadaran, melainkan alat untuk memperindah slide presentasi.
Kelas bukan lagi ruang bertukar pikiran, melainkan ajang menghitung absen.
Dalam ekosistem seperti ini, bagaimana mungkin ORMAWA bisa tetap idealis jika induk yang menaunginya sendiri telah menjadi pabrik gelar?
Krisis Budaya Diskusi
Budaya diskusi—yang dulu menjadi nadi organisasi mahasiswa—kini menguap seperti kabar yang tidak penting.
Yang tersisa hanya formalitas, yakni forum yang dihadiri karena kewajiban, bukan karena hasrat ingin tahu.
Diskusi kehilangan daya gesek. Mahasiswa tak lagi terbiasa berdebat dengan argumen, melainkan berlomba menjadi pembicara yang “menginspirasi.”
Semua ingin jadi narasumber, tak ada yang sudi jadi pembaca. Budaya membaca terputus, budaya mendengar pun ikut lenyap.
Di titik ini, organisasi mahasiswa sebenarnya sedang mengalami kematian yang paling sunyi—bukan karena represi politik, tapi karena kehilangan rasa ingin tahu.
Tidak ada pembubaran, tidak ada larangan, tapi juga tidak ada semangat untuk menggugat.
Kampus Sebagai Panggung, Mahasiswa Sebagai Penonton
Di banyak kampus, suasana semakin mirip panggung. Ada acara, ada dekorasi, ada dokumentasi, tapi tanpa narasi yang berarti.
ORMAWA menjadi tim produksi, sementara mahasiswa lain menjadi penonton yang menunggu “konten.”
Logika pasar merasuki cara berpikir mahasiswa.
Popularitas menjadi ukuran prestasi, engagement menjadi ukuran pengaruh.
Aktivisme disulap menjadi “personal branding,” advokasi diganti “kegiatan positif.” Semua terdengar baik, rapi, dan aman—tapi tanpa substansi.
Kritik menjadi tabu karena dianggap “tidak produktif.” Pemikiran yang keras disebut “tidak kolaboratif.”
Maka kampus yang dulu disebut “menara gading” kini lebih cocok disebut “menara branding.”
Sunyi yang Selalu Kita Normalisasi
Kita mungkin tak sadar bahwa dalam setiap spanduk kegiatan yang megah, ada jejak sunyi dari idealisme yang terkubur.
Dalam setiap laporan kegiatan yang rapi, ada tanda tangan yang mengesahkan kepatuhan.
Dan kita, generasi kampus hari ini, hidup di tengah paradoks, lebih bebas dari siapa pun sebelumnya, tapi juga lebih jinak dari yang pernah ada.
Pragmatisme budaya organisasi telah mengajari kita cara bertahan, tapi bukan cara melawan.
Ia membuat kita efisien, tapi juga kehilangan arah. Dan di tengah keheningan ruang diskusi, di antara tumpukan sertifikat dan foto kegiatan, kita mungkin sedang menyaksikan sesuatu yang lebih tragis dari kematian aktivisme, kematian nalar itu sendiri.
Kita hari ini menyaksikan kampus hanya mencetak lembaran sertifikat, bukan mencetak inovasi atau produk, bahkan budaya menerbitkan jurnal meredup dikalangan mahasiswa.
Semua menjadi kuburan akademik yang ramai penuh lalu- lalang absensi, tapi sepi inovasi dan gagasan yang berisi.
Penulis: Gading Haryo & Krisna Wahyu Yanuar.






