
Setiap bangsa punya kisah heroiknya. Namun, menjadi berbahaya ketika bangsa mulai menyusun sejarahnya hanya untuk membenarkan eksistensinya saat ini.
Itulah jebakan teleologis dalam membaca sejarah—melihat masa lalu seakan-akan semuanya mengarah pada satu titik tujuan: kita hari ini.
Di Indonesia, ini sering terjadi. Candi-candi purbakala, kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Majapahit, hingga pantun dan motif batik—semuanya diklaim sebagai “warisan Indonesia”, seolah-olah bangsa ini telah berdiri sejak zaman kuno dan semua yang ada di tanah ini memang dimaksudkan untuk menjadi miliknya.
Padahal, faktanya jauh dari itu. Peradaban Buni di Jawa Barat, misalnya, telah ada sejak 400 SM, sementara Indonesia sendiri baru berdiri pada tahun 1945. Artinya, negeri ini baru eksis di 0,03% dari panjangnya sejarah Nusantara.
Menyimpulkan bahwa semua yang terjadi sebelumnya adalah bagian dari sejarah Indonesia, bukan hanya keliru, tapi juga tidak adil bagi peradaban-peradaban lain yang pernah berdiri di tempat yang sama.
Budaya ini tumbuh dan berkembang lebih dari dua ribu tahun sebelum Indonesia berdiri, dan bahkan telah berinteraksi dengan Siwaisme pada masa awal Masehi, pada menit 01:07 video Fubidon yang berjudul “Sejarah Nusantara Bukan Milik Kita !”. Menjelaskan bahwa, usianya yang lebih dari 2.400 tahun, dibandingkan dengan usia Republik Indonesia yang belum genap seabad, menunjukkan betapa tidak relevannya klaim bahwa peradaban ini “milik Indonesia”.
Bayangkan Anda berjalan ke Museum Prasasti Jakarta, melihat nisan-nisan tokoh kolonial. Salah satunya: Jan Laurens Andries Brandes, seorang Belanda yang memilih desain makam bergaya arsitektur Jawa Kuno. Di satu sisi, mungkin muncul kekaguman—orang Eropa yang menghormati budaya kita. Namun di sisi lain, muncul rasa jengah: bukankah ini semacam perampasan simbolik?
Tapi lalu datang kesadaran. Jika seorang Batak bernama Harahap bisa memakai nama Arab, kenapa seorang Belanda tak boleh memakai gaya Jawa? Identitas budaya tak selalu linear atau eksklusif, dan keterhubungan lintas etnis maupun sejarah tak bisa direduksi jadi klaim kepemilikan nasionalistik.
Masalahnya adalah ketika negara, dalam upayanya membangun narasi kebangsaan, memungut sisa-sisa peradaban lama dan memakainya sebagai pembenar. Borobudur bukan dibangun untuk Indonesia. Ia dibangun oleh Dinasti Sailendra untuk kepentingannya sendiri.
Sriwijaya tak pernah mengenal Majapahit, apalagi republik ini. Menyamakan mereka semua dalam satu narasi linear “nusantara menuju Indonesia” adalah bentuk cherry picking sejarah.
Dalam video fubidon, saya menanggapi rencana Menteri Kebudayaan yang ingin menulis ulang sejarah agar lebih “Indonesia-sentris”. Menurut saya, sejarah bukan ruang untuk glorifikasi nasionalisme. Ia adalah panggung fakta, bukan mimbar propaganda.
Alih-alih menjadi cermin objektif, sejarah kini kerap menjadi kaca spion masa lalu yang dimodifikasi agar wajah kita tampak gagah dan agung.
Pengaruh Hindu-Buddha, misalnya, masuk ke Nusantara bukan lewat dakwah, melainkan lewat transaksi politik dan ekonomi para raja yang ingin meniru sistem pemerintahan India.
Dari sinilah lahir kerajaan-kerajaan awal seperti Cupo, Kutai, dan Poli antara abad ke-4 hingga ke-6. Proses ini sendiri memakan waktu ratusan tahun, jauh lebih panjang dari usia Indonesia.
Objek-objek sejarah seperti Candi Batujaya (Tarumanegara), Muaro Takus (Sriwijaya), atau Borobudur (Dinasti Sailendra) tidak dibuat dengan niat agar “diwariskan” ke Indonesia.
Klaim sepihak atas semua peninggalan ini sebagai “milik Indonesia” adalah bentuk aneksasi simbolik terhadap masa lalu. Sejarah tidak bekerja seperti itu.
Sebagaimana argumen teleologis tentang keberadaan Tuhan—segala yang kompleks pasti punya pencipta dan tujuan—kita sering tergoda berpikir bahwa setiap artefak atau kejayaan masa lalu harus punya tujuan akhir: Indonesia.
Padahal, meminjam logika silogistik, kalau candi dibuat untuk umat Buddha, maka kita tak bisa membaliknya dan bilang Buddha hadir demi pembangunan candi. Itu cacat logika, dan kita melakukannya pada sejarah kita sendiri.
Sisi kelam sejarah juga sering disaring. Kita tak pernah benar-benar ingin mengakui bahwa penjajahan bukan hanya dilakukan oleh bangsa Eropa, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan di Nusantara sendiri.
Majapahit menaklukkan Lamajang. Karangasem di Bali menjajah Sasak di Lombok selama tiga abad. Ketika bangsa Sasak meminta bantuan Belanda, mereka tak sedang berkhianat—mereka sedang mencoba membebaskan diri dari penjajahan regional yang lama.
Kita juga mengangkat istilah “nilai luhur leluhur”, tapi hanya yang kita suka. Padahal nenek moyang kita juga menjual budak ke VOC, melakukan kanibalisme dalam ritual, dan berburu kepala manusia. Semua itu tak kita sebut “luhur”, tetapi kita terus menyebut “nilai-nilai leluhur” sebagai sesuatu yang harus dilestarikan, tanpa jelas mana yang dimaksud.
Akhirnya, tulisan ini mengajak kita untuk jujur: Indonesia bukanlah puncak dari sejarah Nusantara, melainkan hanya satu babak di dalamnya.
Kita bukan penjaga kehormatan dari kerajaan-kerajaan lama. Kita adalah peradaban baru dengan nilai-nilai dan tantangan yang berbeda.
Sejarah Nusantara memang bukan sepenuhnya milik Indonesia. Tapi Indonesia bisa belajar menjadi bangsa yang besar dengan cara membaca sejarah secara dewasa—bukan sebagai warisan untuk diklaim, tapi sebagai cerita panjang yang terus berkembang dan tak pernah selesai. Untuk mengetahui apa yang saya sampaikan bisa ditonton video selengkapnya diatas link video. Sekian, terimakasih.






