OpiniPendidikan

Mahasiswa dalam Pusaran Data dan Dominasi Global: Refleksi Nasional atas Krisis Gerakan

×

Mahasiswa dalam Pusaran Data dan Dominasi Global: Refleksi Nasional atas Krisis Gerakan

Sebarkan artikel ini

Di tengah hiruk-pikuk disrupsi digital, dominasi global, dan perang proxy yang tak lagi berupa senjata tapi algoritma, Indonesia berdiri dengan populasi muda yang melimpah, namun nyaris lumpuh dalam kesadaran kritis.

Mahasiswa—dulu garda moral bangsa, kini justru banyak tereduksi menjadi garda statistik: jumlah, indeks, ranking, dan laporan tracer studi. Saat dunia sedang bersiap menuju geopolitik kecerdasan buatan, pertanyaannya bukan lagi “di mana mahasiswa?”, tapi “mengapa mereka diam?”

Dari Budi Utomo ke Kampus Digital: Evolusi atau Dekadensi?

Sumpah Pemuda 1928 bukan sekadar simbol linguistik, melainkan momen transformatif yang memecah sekat etnis demi kebangsaan. Gerakan mahasiswa dari era Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia di Belanda, hingga mahasiswa 1966 dan 1998, adalah entitas yang meletakkan narasi bangsa di atas narasi diri. Namun, pada hari ini, mahasiswa seakan kehilangan arah dalam pusaran data tanpa makna, identitas tanpa sejarah, dan teknologi tanpa keberpihakan.

Dalam lanskap global saat ini, pengaruh hegemoni asing tidak lagi hadir dalam bentuk kolonialisme teritorial, tetapi melalui penjajahan infrastruktur digital. Platform belajar, sistem kampus, bahkan ruang demokrasi mahasiswa dikendalikan oleh logika kapitalisme data yang memperkuat struktur global yang timpang. Inilah babak baru dari neo-imperialisme algoritmik.

Krisis Identitas Mahasiswa: Dari Intelektual Organik ke Influencer Apolitis

Gramsci pernah menyebut mahasiswa sebagai “intelektual organik”—penghubung antara rakyat dan perubahan struktural. Kini, justru banyak yang berubah menjadi influencer kampus yang sibuk dengan lomba, seminar internasional, atau branding pribadi, namun tak memahami gejolak petani yang digusur tambang, buruh yang dilucuti jaminan kerjanya, atau konflik Palestina yang dimanfaatkan sebagai konten belaka.

Mahasiswa Indonesia dihadapkan pada struktur neoliberal pendidikan yang menjadikan kampus sebagai pabrik tenaga kerja global, bukan ruang produksi kesadaran kritis. Dalam konteks ini, agensi mahasiswa lumpuh bukan karena ketidaktahuan, tetapi karena sistem yang membentuk habitus baru: kompetisi, kurasi prestise, dan seleksi kapital simbolik (Bourdieu, 1986).

Geopolitik Kampus: Perang Sunyi dalam Ruang Akademik

Hari ini, Indonesia tidak sekadar menjadi objek eksploitasi sumber daya alam, tapi juga eksploitasi sumber daya kognitif. Mahasiswa Indonesia dikomodifikasi sebagai “talenta digital” untuk pasar global—dimana negara-negara besar, dari AS hingga Tiongkok, berlomba mencetak dominasi melalui penguasaan data, kecerdasan buatan, dan riset teknologi. Kampus menjadi simpul penting dalam perang sunyi antara negara-negara adidaya.

Dalam konteks ini, pertanyaan kritisnya adalah: Gerakan mahasiswa Indonesia berpihak kepada siapa? Apakah mereka sadar bahwa ketergantungan pada platform teknologi asing, sistem belajar daring yang dipantau, dan arus pendanaan riset dari luar negeri merupakan bagian dari agenda geopolitik global yang lebih besar?

Kebangsaan di Era Digital: Dilema Simulakra dan Realitas Baru

Jean Baudrillard menyatakan bahwa kita kini hidup dalam dunia “simulakra”—realitas yang digantikan oleh gambar, tanda, dan representasi. Dalam dunia mahasiswa hari ini, keberpihakan pun menjadi simbolik: aksi diunggah, kritik ditweet, dan empati dikomentari. Ini bukan sekadar krisis gerakan, tapi krisis makna.

Pancasila sebagai fondasi kebangsaan menjadi teks kosong yang dibacakan saat upacara, tapi tak hidup dalam ruang diskusi. Nasionalisme mahasiswa tak lagi bersifat kolektif dan ideologis, tapi afektif dan konsumtif. Mereka lebih tahu algoritma TikTok daripada sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia.

Mahasiswa sebagai Produk Kapital: Kampus, Komoditas, dan Ilusi Mobilitas Sosial

Di tengah narasi besar pendidikan sebagai “tangga mobilitas sosial”, kampus justru menjelma menjadi pabrik produksi tenaga kerja, bukan laboratorium kesadaran. Mahasiswa hari ini lebih banyak dibentuk sebagai produk siap jual, bukan sebagai subjek kritis. Paradigma neoliberalisme merasuk hingga ke dalam silabus, metode pengajaran, bahkan motivasi belajar: kuliah untuk kerja, bukan untuk berpikir.

Pendidikan tinggi dipaksa mengikuti logika pasar. Akreditasi, peringkat, output tracer study, dan link-and-match antara kampus dan industri menjadi tolok ukur utama keberhasilan institusi. Dalam sistem ini, mahasiswa bukan lagi warga belajar, melainkan konsumen dan produk sekaligus—mereka membeli pendidikan, dan dijual kembali ke pasar tenaga kerja sebagai “SDM unggul”.

Fenomena ini selaras dengan konsep komodifikasi pendidikan yang dijelaskan oleh Henry A. Giroux: ketika pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai alat pembebasan, melainkan sebagai alat kompetisi. Di Indonesia, banyak lulusan sarjana justru terjebak dalam pekerjaan yang tak relevan dengan bidang studinya, bahkan menjadi gig worker yang rentan dan tanpa jaminan. Kampus menjanjikan masa depan, tetapi justru menciptakan generasi bergelar tapi gamang, penuh CV tapi kehilangan posisi sosial yang tegas. Mahasiswa menjadi bagian dari rantai produksi kapitalisme:

  • Masuk kuliah sebagai konsumen, berutang lewat KIP-K, pinjaman pendidikan, atau biaya tinggi dari kampus swasta.
  • Selama kuliah menjadi alat branding kampus, dibentuk untuk memenangkan lomba, magang, dan akreditasi institusi.
  • Lulus sebagai tenaga kerja fleksibel, dieksploitasi dalam pasar kerja yang tidak stabil, tidak adil, dan makin digital.

Kapitalisme pendidikan menjebak mahasiswa dalam ilusi meritokrasi—seolah-olah kerja keras individu cukup untuk sukses, padahal sistem sosial dan ekonomi tetap timpang. Maka, mereka lulus bukan sebagai pembebas masyarakat, tapi sebagai pekerja pasar yang siap diperintah dan ditata oleh logika korporasi.

Dalam situasi ini, gerakan mahasiswa kehilangan arah ideologis-nya. Mereka lebih sibuk mempersiapkan “karier pasca kampus” daripada mengadvokasi hak-hak rakyat. Maka tak heran, gerakan mahasiswa yang dulunya anti status quo, kini sering menjadi bagian dari sistem yang ingin segera mereka masuki. Apakah kampus masih menjadi tempat untuk membentuk pemikir yang merdeka, atau justru tempat pelatihan elite teknokrat masa depan yang jinak?

Merumuskan Strategi Baru: Nasionalisme Digital dan Politik Pengetahuan

Di sinilah mahasiswa harus merekonstruksi perannya: bukan dengan meniru romantisme masa lalu, tapi dengan menata strategi baru yang berbasis pada kedaulatan digital, keberpihakan sosial, dan nasionalisme epistemik. Apa artinya?

  • Kedaulatan digital berarti mahasiswa harus sadar terhadap siapa yang mengontrol data, platform, dan logika belajar mereka.
  • Keberpihakan sosial berarti menyuarakan isu-isu global (Palestina, perubahan iklim, ketimpangan ekonomi) dengan pendekatan lokal.
  • Nasionalisme epistemik berarti membangun pengetahuan berdasarkan realitas Indonesia, bukan sekadar meniru kurikulum luar negeri atau mengikuti logika akademik Barat tanpa kritisisme.

Alih-alih menjadi “korban” algoritma, mahasiswa harus menjadi “pengganggu” sistem dominasi pengetahuan global yang memarjinalkan realitas Indonesia.

Penutup: Dari Kampus ke Kancah Global

Gerakan mahasiswa hanya akan relevan jika ia mampu melampaui batas-batas kampus, menyentuh nadi bangsa, dan menjadi bagian dari peta perlawanan global terhadap ketimpangan, penjajahan baru, dan krisis eksistensial manusia. Maka tugas utama mahasiswa Indonesia hari ini adalah merebut kembali ruang berpikir, membangun solidaritas lintas kelas dan bangsa, serta menjadi produsen narasi, bukan hanya konsumen data.

Jika Budi Utomo adalah simbol kesadaran awal bangsa, maka gerakan mahasiswa hari ini harus menjadi simbol kesadaran akhir bangsa: apakah kita akan menjadi bangsa yang berdaulat, atau sekadar pasar dari kolonialisme berbasis data?

Referensi

  1. Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. International Publishers, 1971.
  2. Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation. University of Michigan Press, 1994.
  3. Bourdieu, Pierre. “The Forms of Capital”, in Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education, Greenwood, 1986.
  4. Giddens, Anthony. The Constitution of Society. Polity Press, 1984.
  5. Pilliang, Yasraf Amir. Hantu-Hantu Sosial Politik dan Matinya Sosial. Tiga Serangkai, 2003.
  6. Harari, Yuval Noah. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. Vintage, 2017.
  7. Paristiyanti Nurwardani, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Kemristekdikti, 2016.
  8. Teguh Dartanto (2023). Geopolitik Ekonomi Digital Asia Tenggara. LIPI Press.
Advertisements
Index