
Urupedia.id- Seharusnya, kampus dan organisasi mahasiswa menjadi ruang dialektika, tempat mengkaji permasalahan lokal, daerah, maupun nasional. Dari problem petani yang kehilangan lahan, buruh yang tertindas upah murah, sampai isu nasional seperti ketimpangan pendidikan dan kebijakan yang timpang. Diskusi bukan hanya soal teori, tapi pemetaan realitas, membaca situasi, dan merumuskan strategi perubahan.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Di Tulungagung, gerakan mahasiswa berubah rupa. Bukan lagi barisan intelektual penggerak perubahan, melainkan EO kampus yang lihai mengurus backdrop, konsumsi, dan proposal dana. Kritik masih ada, tapi hanya di forum seminar. Jalanan sepi, rakyat tetap sendiri.
Padahal sejarah Indonesia tidak pernah lahir dari seminar. Dari 1966, 1978, hingga 1998, mahasiswa turun ke jalan, menggetarkan kekuasaan, dan menyambung lidah rakyat. Kini, mahasiswa di daerah justru kehilangan nyali.
Diskusi berhenti jadi wacana, kritik berakhir di notulensi, dan rakyat kecil tetap menanggung beban sendirian.
Pertanyaannya: kalau mahasiswa diam, siapa lagi yang akan bersuara?
- Guru: Dari Ujung Tombak Bangsa Jadi Beban Anggaran?
Pernyataan viral soal Menteri Keuangan yang disebut menyebut guru “beban negara” memang dibantah, tapi kegaduhan itu membuka luka lama.
Negara sering kali memperlakukan guru bukan sebagai pilar peradaban, melainkan sekadar pos anggaran yang ingin ditekan.
Anggaran pendidikan mencapai Rp 724,3 triliun. Janji kenaikan gaji ASN dan tunjangan guru non-ASN diumbar. Tapi kenyataannya, banyak guru honorer, termasuk di Tulungagung, digaji setara uang jajan anak SMA.
Bagaimana mungkin bangsa ini menyiapkan generasi tangguh kalau gurunya diperlakukan sebagai beban?
- DPR: Gaji Ratusan Juta, Kinerja Nol Besar
Bandingkan dengan DPR. Gaji dan tunjangan mereka bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Tetapi fungsi mereka lebih sering jadi “tukang stempel” pemerintah. Mereka jarang berdiri di pihak rakyat, apalagi berani menolak kebijakan yang menindas.
Ketika buruh bekerja 12 jam hanya untuk puluhan ribu per hari, DPR menikmati Rp 3 juta per hari tanpa harus berkeringat. Demonstrasi buruh dan mahasiswa pada 25 Agustus 2025 di Jakarta menjadi bukti amarah rakyat.
Tetapi jawaban negara tetap sama: gas air mata, tameng polisi, dan telinga yang ditutup rapat.
- Rakyat Kecil yang Terus Dikorbankan
Petani digusur oleh tambang, nelayan dilindas industri besar, pedagang kecil digilas retail modern. Namun, suara mereka jarang sampai ke meja kebijakan. Elit politik lebih sibuk memperjuangkan tunjangan rumah, kendaraan dinas, dan fasilitas mewah.
Ini bukan lagi ketimpangan. Ini penghinaan terang-terangan.
- Mahasiswa Harus Kembali ke Jalan, Bukan ke Aula Hotel
Sudah cukup mahasiswa Tulungagung bersembunyi di balik seminar. Diskusi harus jadi bahan bakar aksi, bukan arsip kegiatan. Kampus harus kembali jadi markas perjuangan, bukan panggung acara glamor.
Gramsci menyebut mahasiswa harus jadi “intelektual organik” yang menghubungkan ilmu dengan rakyat.
Habermas menegaskan pentingnya ruang publik kritis. Paulo Freire mengingatkan: pendidikan sejati bukan hanya refleksi, tapi juga aksi.
Kalau mahasiswa ingin disebut gerakan, mereka harus berani:
- Menyuarakan nasib guru yang dipinggirkan.
- Melawan DPR yang rakus anggaran.
- Berdiri di sisi rakyat kecil yang ditindas.
Mahasiswa tidak boleh puas jadi komentator. Kritik tanpa aksi hanyalah kebisingan di ruang hampa.
Gerakan mahasiswa Tulungagung harus memilih: tetap jadi EO kampus yang sibuk dengan proposal dana, atau kembali ke jalan rakyat dengan keberanian.
Sejarah tidak pernah mencatat seminar yang megah. Sejarah hanya mencatat siapa yang berani berdiri bersama rakyat dengan gagah.









