Opini

Mengenali Hati Nurani dalam Era Distraksi Digital: Sebuah Krisis Makna pada Insiden SMAN 72 Jakarta

×

Mengenali Hati Nurani dalam Era Distraksi Digital: Sebuah Krisis Makna pada Insiden SMAN 72 Jakarta

Sebarkan artikel ini
Gemini-Ai

Urupedia.id- Insiden ledakan yang berlalu di SMAN 72 Jakarta merupakan tragedi yang tidak hanya mengguncang dunia pendidikan, tetapi juga membuka tabir persoalan kultural dan mediatik yang telah lama berakar dalam masyarakat Indonesia.

Penggunaan perangkat IED oleh seorang siswa SMA bukan semata aktor kriminal individual, melainkan manifestasi dari krisis budaya kekerasan.

Akses tak terkendali terhadap media digital, serta kegagalan ekosistem sekolah dalam menyediakan ruang kebermaknaan sosial.

Melalui lensa filsafat—khususnya pemikiran Hannah Arendt, Albert Camus, dan Umberto Eco—kasus ini dapat dibaca sebagai gejala yang jauh lebih dalam daripada sekadar “kenakalan remaja”.

Budaya Kekerasan di Sekolah, Normalisasi dan Invisibilitas

Kultur sekolah yang menormalisasi perundungan telah lama dicatat oleh para peneliti pendidikan.

Studi fitososiologis oleh Astuti (2021) menunjukkan bahwa sekolah-sekolah Indonesia kerap gagal membangun moral community yang inklusif.

Dalam konteks kasus SMAN 72, temuan catatan harian pelaku—yang menggambarkan isolasi sosial serta pengalaman bullying berulang—menunjukkan bahwa mekanisme pelaporan dan respons dini tidak berjalan efektif.

Dalam perspektif filsafat Arendt, kondisi ini menggambarkan “banalitas keburukan”, yaitu proses di mana tindakan ekstrem tumbuh dari pengabaian yang berulang, bukan kebencian ideologis.

Lingkungan sekolah yang tidak peka terhadap luka-luka emosional anak secara tidak langsung menjadi ruang kosong di mana kekerasan dapat bertunas.

Media Digital dan Imitasi Kekerasan, Ekologi Baru Pembentukan Diri

Kemampuan pelaku merakit IED serta ketertarikannya pada konten perang dan gim tembak-menembak menyingkap problem baru dalam budaya digital Indonesia.

Riset teknologi-perilaku oleh Hakim (2023) mencatat bahwa akses bebas terhadap tutorial “DIY weapons”, forums of extremist fantasies, dan konten visual kekerasan telah menciptakan generasi yang mengonstruksi identitas mereka melalui estetika kekerasan.

Dari perspektif filsafat budaya Umberto Eco, media digital bekerja bukan sekadar sebagai penyampai informasi, tetapi sebagai “mesin semiotik” yang menciptakan simbol-simbol baru tentang kekuasaan, dominasi, dan balas dendam.

Bagi remaja yang mengalami keterasingan sosial, konten semacam ini menawarkan narasi alternatif tentang bagaimana memperoleh kendali atas hidupnya—kendali yang tidak ia temukan di dunia nyata.

Dengan demikian, pelaku tidak sekadar mengonsumsi media; ia menginternalisasi struktur naratifnya dan membawanya ke realitas.

Krisis Makna dan Subjektivitas Remaja

Di sinilah perspektif Camus menjadi relevan. Dalam The Myth of Sisyphus, Camus (1942) menjelaskan bahwa tindakan ekstrem sering muncul dari perasaan absurditas, yaitu kondisi ketika individu merasa dunia telah kehilangan maknanya.

Kesendirian pelaku—yang tercatat dalam diary—memperlihatkan krisis eksistensial khas remaja yang tidak mendapatkan wadah artikulasi.

Ketika institusi keluarga, sekolah, dan pertemanan gagal menyediakan “ruang dialogis” sebagaimana dikembangkan oleh Taylor (1996), individu dapat beralih ke bentuk pelampiasan destruktif yang memberi ilusi makna.

Ledakan di masjid sekolah di tengah Shalat Jumat bahkan dapat dibaca sebagai simbol perlawanan terhadap “ruang sakral” yang ia rasa tidak lagi melindunginya.

Budaya, Media, dan Politik Regulasi, Antara Reaksi dan Transformasi

Pernyataan pemerintah yang berfokus pada pembatasan game online mencerminkan logika responsif jangka pendek.

Padahal, riset komunikasi massa oleh Hidayat (2022) menunjukkan bahwa kekerasan pada remaja tidak bersumber dari konten tunggal, tetapi dari interaksi kompleks antara faktor sosial, psikologis, dan ekologi digital.

Filsafat politik Habermas mengingatkan bahwa problem sosial tidak dapat diselesaikan melalui pendekatan teknokratis semata.

Yang diperlukan adalah ruang publik komunikatif di sekolah—forum di mana siswa dapat mengutarakan kegelisahannya sebelum ia berubah menjadi api dalam sekam.

Kasus SMAN 72 adalah peringatan keras bahwa budaya kekerasan dan ekologi media digital telah membentuk lanskap baru subjektivitas remaja Indonesia.

Filsafat membantu kita melihat bahwa tragedi ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi ekspresi dari:

  • Kegagalan dialog sosial,
  • Krisis makna di kalangan remaja,
  • Normalisasi kekerasan dalam budaya sekolah,
  • Fragmentasi identitas dalam dunia digital yang hiper-realistis.

Oleh karena itu, solusi jangka panjang tidak boleh berhenti pada regulasi konten digital atau sanksi pidana anak, melainkan harus membangun budaya sekolah dialogis.

Ekosistem media yang etis, serta ruang kebermaknaan yang memungkinkan remaja menemukan dirinya tanpa harus meledakkan dunia di sekitarnya.

Oleh: Krisna Wahyu Yanuar

Advertisements
Index