
Urupedia.id- Di tanah Jawa, kekuasaan tidak pernah berdiri sendiri. Ia berjalan beriringan dengan kosmologi, dengan keyakinan bahwa jagat harus memiliki satu pusat cahaya.
Karena itulah simbol Surya Kembar dua matahari yang terbit bersamaan menjadi penanda paling kuat tentang ketidakharmonisan dunia.
Dalam imajinasi Jawa, dua matahari tidak hanya mustahil, tetapi juga pertanda bahwa kerajaan sedang memasuki masa genting.
Simbol ini bukan sekadar mitos. Ia pernah menjadi tafsir sejarah pada masa Mataram ketika Pangeran Puger dan Amangkurat III saling mengklaim takhta.
Kini, ratusan tahun kemudian, bayangan Surya Kembar seakan hidup kembali dalam konflik dualisme Keraton Surakarta dengan hadirnya dua tokoh utama, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Purbaya, yang sama-sama tampil sebagai pusat wibawa dan legitimasi.
Dalam lanskap inilah Surya Kembar kembali menjadi bahasa yang paling mudah dipakai untuk memahami apa yang terjadi di Surakarta.
Surya Kembar dalam Kosmologi Jawa
Di dalam kosmologi Jawa, raja bukan hanya sekadar penguasa; ia adalah sumbu alam (axis mundi) yang menjaga harmoni antara manusia, alam, dan dunia gaib.
Munculnya dua matahari berarti munculnya dua sumbu, dua pusat gravitasi, dua pihak yang mengklaim hak ilahiah untuk memegang kekuasaan.
Fenomena Surya Kembar tercatat dalam kronik Jawa sebagai pertanda keretakan legitimasi politik yang selalu terkait pada masa-masa ketika klaim atas takhta Mataram diperdebatkan.
Simbol ini tampak seperti kisah langit yang sejatinya adalah bahasa politik.
Jejak Sejarah: Pangeran Puger dan Amangkurat III (Dua Takhta Mataram)
Konsep Surya Kembar bukan sekadar mitos langit. Ia muncul dari pengamatan masyarakat Jawa terhadap krisis politik yang memuncak menjadi perebutan takhta.
Salah satu peristiwa terbesar terjadi pada akhir abad ke-17, ketika Mataram dilanda pertentangan antara Amangkurat III dan Pangeran Puger, adik mendiang Amangkurat II.
Pangeran Puger bahkan berhasil menguasai Kartasura dan menyatakan dirinya sebagai raja. Selama beberapa waktu, Mataram memiliki dua raja—dua pusat wibawa, dua legitimasi.
Para pujangga zaman itu membaca keadaan ini sebagai “surya kembar,” terbitnya dua matahari politik yang mengacaukan harmoni kosmos. Krisis itu berakhir setelah campur tangan VOC, tetapi jejak simboliknya bertahan lama dalam ingatan budaya Jawa. Jejak itu pula yang kini muncul kembali di Surakarta.
Dualisme Kraton Surakarta: Dua Matahari di Satu Langit
Lompatan ke masa kini membawa kita pada dualisme kepemimpinan Keraton Surakarta. Dua tokoh utama menyuarakan legitimasi berbeda:
Pangeran Mangkubumi (KGPH Hangabehi)
- Mengklaim bahwa mekanisme suksesi tradisional dan garis keturunan menempatkannya sebagai pewaris sah.
- Mendapat dukungan sebagian besar abdi dalem senior dan kelompok budayawan.
- Menyoroti bahwa Keraton adalah lembaga adat sehingga proses legitimasi tidak bisa direduksi pada administratif negara.
Pangeran Purbaya (KGPAA Hamangkunegara)
- Menyatakan bahwa tata aturan internal dan proses pengambilan keputusan keluarga menempatkannya dalam posisi paling sah untuk menggantikan Pakubuwana XIII.
- Mengusung narasi reformasi, transparansi, dan tata kelola keraton yang lebih modern.
- Didukung oleh faksi keluarga yang menilai Keraton perlu pembaruan struktural.
Dua figur ini, dengan basis pendukung masing-masing, menciptakan dualisme simetris—nyaris seperti cermin.
Tidak ada yang sekadar menjadi “pembangkang”; keduanya menyusun argumentasi legitimasi yang kuat dan sama-sama berpijak pada tradisi Mataram.
Dan inilah pola klasik surya kembar: dua pusat wibawa dalam satu sistem yang seharusnya tunggal.
Legitimasi, Jantung Konflik Kraton Surakarta
Pertanyaannya bukan siapa yang lebih disukai publik atau siapa yang lebih mudah diterima negara. Tetapi siapa yang berhak mewarisi “wahyu kerajaan” mataram?
Dalam kerangka legitimasi Jawa, ada empat jalur yang menentukan:
- Garis keturunan (trah)
- Pengakuan kosmologis dan simbolik (wahyu)
- Pengakuan internal keraton (abdi dalem dan keluarga)
- Pengakuan eksternal (negara/pemerintah)
Akibatnya, perebutan ini tidak berlangsung di ruang politik modern, melainkan di ruang makna yang jauh lebih halus.
Perebutan legitimasi di keraton surakarta tidak hanya soal siapa yang akan memimpin, tetapi siapa yang dianggap paling pantas dengan warisan kosmologi mataram.
Di sinilah konflik menjadi panjang.
Surya Kembar Sebagai Kode Politik
Sejarawan budaya keraton sering menyebut bahwa simbol-simbol kosmologis seperti surya kembar merupakan metode lama Jawa untuk membahas keretakan kekuasaan.
Ketika ada dua matahari, yang dipertaruhkan bukan hanya kekuasaan dunia, tetapi:
- Otoritas moral
- Keabsahan spiritual
- Kesinambungan garis wahyu
- Keberlangsungan ritus yang menjaga harmoni dunia
Dalam konteks modern, simbol ini menjadi metafora bagi dualisme kepemimpinan.
Surakarta saat ini seperti kembali pada pola pangeran puger—dua tokoh yang sama kuat, sama-sama mengklaim legitimasi.
Bedanya:
- VOC digantikan oleh pemerintah RI
- Serat kuno digantikan media massa
- Peperangan digantikan perang wacana
Namun struktur konfliknya nyaris sama secara arketipal.
Arah Masa Depan, Surya Mana yang Akan Tetap Bersinar?
Seperti mataram di masa pangeran puger, surakarta berada di titik krisis legitimasi. Yang dipertaruhkan bukan hanya siapa yang nantinya bertakhta, tetapi apakah Keraton mampu mengembalikan otonomi makna, bukan hanya otonomi politik.
Jika Surya Kembar dibiarkan terus bersinar, maka keraton akan tetap terpecah oleh gravitasi ganda. Namun jika satu pusat wibawa dapat dipulihkan, maka harmoni Mataram bisa kembali berdenyut di Surakarta.
Pertanyaannya kini tersisa pada masyarakat, keluarga keraton, dan negara:
Apakah mereka siap memilih matahari yang akan dipertahankan?
Surya tidak bisa selamanya kembar. Dan dalam sejarah Jawa, hanya satu yang akhirnya bersinar.
Oleh: Ipnurisma Nikomastiar, PMII Unesa Surabaya






