EsaiKebudayaan

Makna “Leluhur Iku Jangkung Jampangi Tiyang” dalam Etika dan Spiritualitas Jawa

×

Makna “Leluhur Iku Jangkung Jampangi Tiyang” dalam Etika dan Spiritualitas Jawa

Sebarkan artikel ini
Gemini- Ai

Urupedia.id- Ungkapan “Leluhur iku jangkung jampangi tiyang” merupakan salah satu pitutur Jawa yang memuat pandangan mendalam mengenai hubungan manusia dengan para pendahulunya.

Di dalamnya, tersimpan pandangan kosmologis tentang bagaimana leluhur diposisikan bukan sebagai objek pemujaan, tetapi sebagai sumber nilai, moralitas, serta penjaga etika kehidupan.

Dalam tradisi Jawa, hubungan antara anak-cucu dan leluhur tidak berhenti pada garis darah, tetapi berlangsung dalam bentuk warisan nilai, teladan, dan doa yang diyakini terus mengalir melintasi generasi.

Secara harfiah, kata “jangkung” dalam konteks pitutur ini mengandung makna menjangkau, yakni kemampuan para leluhur untuk tetap hadir sebagai pedoman batin bagi keturunannya.

Sementara itu, “jampangi” berasal dari kata jampi, yang sering disalahpahami sebagai mantra, padahal dalam konteks budaya Jawa, jampi lebih dekat pada makna panglipur, pangayoman, dan pitulungan batin.

Dalam bahasa Jawa, istilah “jangkung” mengandung makna menjangkau, yaitu simbol kehadiran nilai leluhur yang tetap hidup dalam kesadaran anak cucu.

Sementara “jampangi” berkaitan dengan jampi atau jampé yang dalam konteks budaya Jawa lebih dekat dengan panglipur, pangayoman, dan perlindungan moral daripada sekadar mantra mistis.

Clifford Geertz (1960) dalam The Religion of Java menekankan bahwa masyarakat Jawa memahami hubungan dengan leluhur sebagai “continuity of moral order”—sebuah kesinambungan nilai dari generasi ke generasi (Geertz, 1960).

Dengan demikian, ungkapan tersebut lebih tepat dipahami sebagai pernyataan bahwa leluhur memberikan perlindungan moral, bukan perlindungan supranatural.

Kehadiran leluhur dalam kehidupan turun-temurunnya selalu berwujud nilai yang melekat, teladan adab, dan doa baik yang mereka tinggalkan semasa hidup.

Pandangan ini sejalan dengan konsep Jawa tentang sangkan paraning dumadi, yakni kesadaran seseorang tentang asal-usul dan tujuan hidup.

Dalam konteks Islam Jawa, ungkapan ini tetap sejalan dengan ajaran tauhid.

Mark R. Woodward (2011) dalam Java, Indonesia, and Islam mencatat bahwa masyarakat Jawa yang telah Islam menyelaraskan tradisi leluhur dengan ajaran Islam melalui pemahaman bahwa doa dari keturunan adalah bentuk bakti yang dibenarkan, sedangkan nilai moral leluhur dipandang sebagai warisan kultural, bukan entitas metafisik yang dimintai pertolongan.

Karena itu, “jangkung-jampangi” dipahami sebagai perpanjangan nilai (ethical extension), bukan perantaraan sakral.

Niels Mulder (2001) dalam Mistisisme Jawa menjelaskan bahwa identitas Jawa dibangun melalui kesadaran genealogis, di mana laku hidup seseorang dianggap merefleksikan nilai leluhurnya.

Ini membantu menjaga stabilitas sosial dan menjadi mekanisme internal untuk mengontrol perilaku tanpa tekanan eksternal.

Menjaga hubungan batin dengan leluhur berarti menjaga kesinambungan nilai antara masa lalu dan masa kini.

Dalam tradisi ini, seseorang dianggap memiliki “pancer” atau pusat keseimbangan batin yang bersumber dari ajaran keluarga dan leluhur.

Ketika seseorang keluar dari ajaran adab, pitutur Jawa sering menyatakan bahwa ia sedang “ora eling asal” atau melupakan akar budayanya.

Dengan kata lain, mengingat leluhur berarti mengingat kewajiban moral untuk menjaga keluhuran diri.

Konsep ini juga memiliki titik persinggungan dengan ajaran Islam Nusantara.

Doa bagi orang tua dan leluhur menjadi amalan yang dianjurkan, sementara kebaikan yang diwariskan menjadi shadaqah jariyah yang terus mengalir.

Artinya, relasi antara manusia dan leluhur berjalan satu arah maksudnya keturunan mendoakan leluhur, sedangkan leluhur mewariskan teladan yang menjadi cahaya bagi keturunan.

Dalam titik inilah konsep “jangkung jampangi” menemukan relevansinya artinya bukan leluhur yang dimintai pertolongan, tetapi nilai-nilai mereka yang menjadi pelindung moral dalam hidup generasi berikutnya.

Dalam konteks kehidupan modern, ungkapan tersebut memiliki fungsi sosial yang kuat.

Ia mendorong agar seseorang tidak bertindak sewenang-wenang atau bertindak bertentangan dengan martabat keluarga.

Ketika seseorang diingatkan bahwa “leluhurmu ndeleng”, maka itu bukan pernyataan metafisik tentang roh yang mengawasi, tetapi peringatan etis bahwa nama baik keluarga tersemat pada laku hidupnya.

Nilai-nilai seperti kejujuran, kesabaran, tanggung jawab, serta keluhuran budi merupakan bentuk nyata dari “jangkungan” leluhur yang menjaga keturunan dari perilaku menyimpang.

Selain itu, ungkapan ini memberikan kekuatan psikologis bagi keluarga, terutama ketika menghadapi kesulitan atau krisis.

Merasa terhubung dengan leluhur memberikan rasa keberlanjutan, identitas, dan keteguhan.

Ketika seseorang menyadari bahwa ia merupakan penerus dari nilai-nilai luhur, maka ia akan memiliki daya mental yang lebih kuat dalam menghadapi tekanan hidup.

Dalam keluarga Jawa, pitutur semacam ini sering digunakan untuk menenangkan hati, meneguhkan keputusan, atau memberi arah dalam masa-masa sulit.

Dengan demikian, ungkapan “Leluhur iku jangkung jampangi tiyang tidak dimaksudkan untuk menempatkan leluhur sebagai entitas adikodrati, melainkan sebagai sumber nilai yang menjadikan seseorang teguh, beradab, dan mawas diri.

Warisan yang diberikan leluhur bukanlah kekuatan gaib, tetapi kekuatan moral.

Ungkapan ini mengingatkan bahwa seseorang selalu membawa sejarah dan kehormatan keluarga di setiap langkah hidupnya.

Dalam dunia yang semakin cepat berubah, pitutur ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini artinya sebuah ajakan untuk tetap menjaga keluhuran diri, memelihara adab, dan menegakkan martabat keluarga sebagai bentuk syukur dan penghormatan kepada para pendahulu.

Oleh: Krisna Wahyu Yanuar

Referensi:

  • Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: University of Chicago Press, 1960.
  • Mulder, Niels. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2001.
  • Woodward, Mark R. Java, Indonesia, and Islam. Dordrecht: Springer, 2011.
Advertisements