
Dampak Sosial dan Psikologis Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Urupedia.id- Kebijakan publik bukan sekadar persoalan angka dan anggaran, tetapi juga menyentuh segi terdalam dalam kehidupan masyarakat.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah Indonesia sejak 2025 adalah contoh nyata bagaimana kebijakan ekonomi dapat menjalur hingga ke ranah psikososial masyarakat, terutama bagi kelompok rentan seperti anak sekolah dan keluarga miskin.
Di sekolah, program MBG menghadirkan suasana sosial yang unik.
Anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi makan bersama tanpa perbedaan. Momen ini dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan empati sosial di kalangan siswa.
Anak-anak belajar untuk saling menghargai dan memahami keberagaman melalui aktivitas sederhana yakni makan bersama.
Program MBG pada dasarnya bertujuan menyediakan makanan bergizi gratis untuk meningkatkan status gizi masyarakat.
Namun di balik misi kesehatan itu, terdapat getaran sosial dan psikologis yang lebih dalam seperti rasa aman dari kelaparan dapat memulihkan martabat, menumbuhkan semangat belajar, dan memperkuat ikatan sosial antar- warga.
Tantangan Gizi dan Aspek Psikososial Program MBG
Indonesia masih menghadapi tantangan serius di bidang gizi dan kemiskinan.
Data Global Nutrition Report menunjukkan bahwa satu dari lima anak di Indonesia mengalami stunting akibat kekurangan gizi kronis.
Situasi ini bukan hanya berdampak pada kesehatan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif dan emosional anak.
Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah meluncurkan program MBG dengan anggaran sekitar Rp71 triliun pada 2025 (Kementerian Keuangan, 2025).
Kebijakan ini tidak hanya menargetkan peningkatan gizi, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal dengan memberdayakan petani, nelayan, dan UMKM sebagai penyedia bahan pangan.
Namun, lebih jauh dari itu, MBG juga menyentuh aspek psiko- sosial masyarakat. Dalam konteks ini, makanan bukan sekadar kebutuhan biologis, melainkan simbol keberpihakan negara kepada warganya yang rentan.
Seperti dikatakan psikolog sosial Erich Fromm (1956), “tindakan memberi adalah bentuk tertinggi dari kebebasan manusia.”
Dalam konteks kebijakan publik, memberi makanan berarti mengembalikan rasa kemanusiaan bagi mereka yang kerap terpinggirkan oleh sistem ekonomi.
Dampak Ekonomi dan Tantangan Inflasi Program MBG
Secara ekonomi, MBG telah menimbulkan efek berantai terhadap permintaan bahan pangan.
Pemerintah memperkirakan kebutuhan beras untuk menjalankan program ini mencapai 4,5 juta ton per tahun, atau sekitar 6.000 ton per hari (Bisnis.com, 2025; DetikFinance, 2025).
Kebutuhan sumber karbohidrat dan protein bahkan diprediksi menyentuh 12,7 juta ton per tahun (Kompas.id, 2025).
Lonjakan kebutuhan tersebut memicu peningkatan aktivitas di sektor pertanian, peternakan, dan perikanan.
Kementerian Pertanian menyatakan optimisme bahwa produksi pangan domestik mampu mendukung MBG, namun tetap dibutuhkan peningkatan produktivitas dan distribusi yang efisien (AntaraNews, 2025).
Namun, dari sisi lain, kenaikan kebutuhan bahan pokok juga memunculkan tantangan harga.
Permintaan besar terhadap beras, telur, dan sayur mayur di beberapa daerah menyebabkan kenaikan harga bahan pokok lokal, terutama di wilayah dengan kapasitas produksi terbatas.
Meski tidak berskala nasional, gejala ini menunjukkan adanya tekanan inflasi pangan yang perlu diantisipasi.
Adanya inflasi yang seperti ini sangat meresahkan bagi warga pedesaan maupun perkotaan yang berstatus ekonomi menengah ke bawah.
Pemerintah berupaya menyeimbangkan suplai dan permintaan agar MBG tidak menimbulkan efek negatif terhadap daya beli masyarakat umum.
Tantangan dan Makna Humanis Program MBG
Namun, tantangan tetap ada. Jika distribusi bahan atau anggaran terlambat, masyarakat bisa kembali merasakan kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.
Seperti diulas oleh Media Keuangan (Kemenkeu, 2025), pelaksanaan MBG masih diwarnai dinamika tata kelola dan kesiapan daerah yang belum merata.
Dari sisi psiko- sosial, hal ini dapat menimbulkan rasa frustrasi dan skeptisisme sosial jika tidak diantisipasi dengan komunikasi publik yang transparan. Seperti contohnya tata kelola yang tidak transparan, kedua stabilitas harga pangan menaik, ketiga rawanya praktik pungli yang terjadi di SPPG, kemudian kontroling yang lemah, adanya kasus pelecehan seksual di dapur MBG, membuktikan kontrol publik dan pemerintah tidak boleh lemah.
Kehadiran MBG mencerminkan wajah baru kebijakan sosial Indonesia, kebijakan yang tidak hanya fokus pada bantuan, tetapi juga pada pemberdayaan dan pemulihan martabat manusia.
Di satu sisi, program ini memicu perputaran ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan material. Di sisi lain, ia menumbuhkan rasa percaya diri, solidaritas, dan harapan di kalangan masyarakat kecil.
Namun, agar dampak positif ini berkelanjutan, pemerintah perlu memastikan bahwa kenaikan kebutuhan bahan pokok tidak memicu ketimpangan baru.
Ketersediaan stok, rantai pasok yang efisien, dan kebijakan harga pangan harus berjalan seiring dengan semangat humanis MBG.
Dengan demikian, program ini dapat menjadi simbol kebijakan yang tidak hanya memberi makan tubuh rakyat, tetapi juga menghidupkan kembali jiwa dan semangat kebersamaan bangsa.
Oleh: Rachmania Rizma Melati, Mahasiswa Psikologi Islam UIN SATU
Editor: Krisna Wahyu Yanuar
Referensi
- Kementerian Keuangan RI. (2025). Program MBG Buka Akses Gizi Sehat untuk Masyarakat Indonesia. mediakeuangan.kemenkeu.go.id
- Bisnis.com. (2025). Pemerintah Butuh 6.000 Ton Beras per Hari Demi Layani 82,9 Juta Penerima MBG.
- DetikFinance. (2025). Stok Beras Buat Makan Bergizi Gratis Harus Ditambah 4,5 Juta Ton.
- Kompas.id. (2025). Menanti Berkah Ekonomi Pangan 2025 & Makan Bergizi Gratis dan Kebiasaan Makan yang Menyenangkan.









