Mozaik

Daging, Gengsi, dan Makna yang Hilang: Menimbang Kurban di Era Konsumtif

×

Daging, Gengsi, dan Makna yang Hilang: Menimbang Kurban di Era Konsumtif

Sebarkan artikel ini

Hari Raya Idul adha, atau yang kerap disebut sebagai Hari Raya Kurban, adalah momentum spiritual dan sosial umat Islam yang paling kuat menggambarkan semangat pengorbanan dan solidaritas. Namun, di tengah masyarakat modern yang sarat budaya konsumtif, praktik kurban tak luput dari pergeseran makna. Dari semula sebagai wujud pengabdian dan berbagi, kurban kini semakin menunjukkan gejala eksklusivitas, komodifikasi, dan kompetisi gengsi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan krusial: apakah kurban hari ini masih mencerminkan nilai berbagi atau justru melestarikan budaya konsumsi yang dibungkus religiusitas?

Kurban: Antara Spiritualitas dan Solidaritas

Secara teologis, kurban adalah manifestasi dari ketakwaan, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hajj [22]:37: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” Ayat ini menegaskan bahwa nilai kurban terletak bukan pada materialnya, melainkan pada ketulusan niat dan ketakwaan pelakunya. Praktik menyembelih hewan hanyalah sarana menuju tujuan utama: membangun hubungan yang lebih erat antara manusia dengan Tuhan dan sesama manusia.

Namun, spirit berbagi dalam kurban kini kerap tereduksi. Laporan Dompet Dhuafa pada 2022 mencatat bahwa sekitar 60% distribusi daging kurban di kota besar menumpuk di kawasan menengah atas, sementara wilayah miskin dan pelosok justru minim distribusi (Dompet Dhuafa, 2022). Ironisnya, sebagian besar penerima di kota adalah orang-orang yang setiap hari tetap bisa membeli daging tanpa menunggu hari raya.

Kurban Konsumtif: Religiusitas atau Reputasi?

Gejala konsumtif dalam kurban tampak dari maraknya tren memamerkan hewan kurban super jumbo, yang kadang lebih menyerupai parade sosial ketimbang bentuk pengabdian. Fenomena ini banyak terlihat di media sosial, terutama ketika selebritas atau pejabat menyumbang sapi kurban senilai ratusan juta rupiah. Di satu sisi, ini bisa membangkitkan semangat berkurban masyarakat, tetapi di sisi lain, dapat menciptakan hierarki sosial baru dalam praktik ibadah yang semestinya egaliter.

Menurut Hidayat dan Hakim (2021), kurban kini tidak hanya dipahami sebagai bentuk ketaatan spiritual, tetapi juga sebagai cara mempertahankan citra sosial. Mereka menyebutnya sebagai “ritualisasi kapital”, yakni praktik ibadah yang dibingkai dengan semangat kapitalisme konsumtif. Di sinilah kurban berpotensi menjauh dari tujuan sejatinya.

Kurban Kolektif: Alternatif yang Berkeadilan

Sebagai jawaban atas ketimpangan distribusi dan budaya konsumsi ini, muncul model kurban kolektif. Dalam sistem ini, masyarakat atau komunitas patungan untuk membeli satu hewan kurban besar (sapi atau kerbau) lalu mendistribusikan daging ke wilayah yang membutuhkan. Model ini tidak hanya efisien secara biaya, tetapi juga menjangkau lebih luas penerima manfaat.

Lembaga-lembaga filantropi Islam seperti Rumah Zakat dan ACT telah lama mengembangkan program Kurban Berdaya atau Kurban Global. Dalam program ini, daging tidak hanya dibagikan ke daerah tertinggal di Indonesia, tetapi juga ke wilayah krisis seperti Palestina, Afrika, atau pengungsi Rohingya. Data dari Global Qurban – ACT tahun 2023 menunjukkan bahwa program mereka telah menjangkau 35 negara dan 6 juta penerima manfaat, termasuk di daerah rawan pangan (ACT, 2023).

Kurban kolektif juga memperkecil potensi mubazir. Menurut Badan Ketahanan Pangan Nasional, 34% daging kurban di wilayah urban terbuang sia-sia karena distribusi yang tidak tepat sasaran dan ketidaksiapan rumah tangga menyimpan daging dalam jumlah besar (BKP, 2021).

Menggugat Relasi Kuasa dalam Kurban

Kurban juga tidak bebas dari dinamika kekuasaan. Dalam beberapa kasus, daging kurban disalurkan sebagai alat politik untuk membangun loyalitas. Tokoh-tokoh politik membagikan daging sambil menyisipkan pesan-pesan elektoral, mencampurkan ibadah dengan transaksi sosial. Ini memunculkan pertanyaan etis: apakah daging kurban bisa menjadi alat kekuasaan?

Menurut analisis Asfar & Kurniawan (2022), praktik semacam ini menunjukkan bagaimana ritual keagamaan bisa dijadikan alat simbolik untuk memanipulasi kesalehan publik. Kurban, dalam konteks ini, menjadi “investasi politik” yang menyusupi wilayah batiniah umat.

Menuju Etika Kurban Baru

Sudah saatnya masyarakat Muslim menimbang ulang makna kurban. Esensi berbagi dalam kurban tidak boleh dikalahkan oleh nafsu konsumsi atau ego sosial. Kurban bukan tentang siapa yang paling besar, tapi siapa yang paling ikhlas dan berdampak luas. Etika baru dalam berkurban perlu dibangun, yang meliputi:

  1. Keikhlasan sebagai pondasi, bukan pujian publik.
  2. Keadilan distribusi, dengan memprioritaskan wilayah-wilayah yang jarang menikmati protein hewani.
  3. Kolektivitas partisipatif, bukan eksklusivitas simbolik.
  4. Transparansi dan akuntabilitas, dalam penggunaan dana kurban oleh lembaga sosial.

Penutup

Kurban semestinya menjadi refleksi spiritual dan sosial yang dalam. Di era ketika ibadah bisa dikomodifikasi dan dikapitalisasi, penting bagi umat Islam untuk kembali pada hakikat: bahwa kurban adalah tentang melepaskan ego, mendekatkan diri pada Tuhan, dan merengkuh sesama manusia dengan kasih dan keadilan. Kurban kolektif, dalam hal ini, bukan hanya solusi pragmatis, tetapi juga jawaban etis atas pergeseran makna dalam ritual keagamaan.

Daftar Pustaka

ACT. (2023). Global Qurban 2023: Menjangkau Negeri, Menembus Batas Kemanusiaan. Aksi Cepat Tanggap. Retrieved from https://act.id

Asfar, M., & Kurniawan, A. (2022). Kurban dan Politik Simbolik: Analisis Ritualisasi Ibadah dalam Ruang Publik. Jurnal Sosiologi Reflektif, 16(1), 45–60. https://doi.org/10.15408/jsr.v16i1.23987

Badan Ketahanan Pangan Nasional. (2021). Laporan Evaluasi Ketahanan Pangan Wilayah Urban dalam Distribusi Daging Kurban. Jakarta: Kementerian Pertanian RI.

Dompet Dhuafa. (2022). Laporan Distribusi Kurban Nasional 2022. Retrieved from https://dompetdhuafa.org

Hidayat, R., & Hakim, L. (2021). Ritualisasi Kapital dalam Ibadah Kurban di Perkotaan. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 10(2), 112–125. https://doi.org/10.22146/jish.2021.11232

Rumah Zakat. (2023). Kurban Berdaya: Laporan Tahunan Program Kurban 2023. Retrieved from https://www.rumahzakat.org

Index