
Urupedia.id- Lagu “Sebelum Cahaya” yang dipopulerkan oleh band Letto bukan sekadar karya musik biasa. Dengan lirik yang puitis dan melodi yang menenangkan, lagu ini menyimpan makna spiritual yang mendalam, mencerminkan perjalanan batin manusia dalam mencari cahaya ilahi (Kebenaran).
Dirilis pada tahun 2007 dalam album Jangan Buat Aku Sedih, “Sebelum Cahaya” ditulis oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh, penyanyi Letto yang terkenal dengan lirik-liriknya yang penuh arti. Walaupun Letto bukan grup musik religi, lagu ini mengandung pesan spiritual yang mendalam, menggambarkan perjalanan seseorang dalam menemukan arti hidup dan hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan (Brilio.net, 2024).
Menariknya, makna tersebut selaras dengan kisah dan perjalanan spiritual Rasulullah SAW sebelum menerima wahyu pertama di Gua Hira. Sebelum mendapatkan wahyu, Nabi Muhammad SAW kerap menghabiskan waktu sendiri di Gua Hira untuk berpikir dan mencari tahu kebenaran. Proses itulah yang membuat beliau berkeluh kesah dengan keadaan sosial yang terjadi pada masa itu (Jahiliyah), dan beliau juga menghabiskan waktu disana untuk beribadah, menemukan ketenangan batin dan kesadaran sosial- reflektif.
Kesendirian ini bukanlah tanda terasing, tetapi proses yang mendalam dalam usaha mencari kebaikan dan hubungan yang lebih dekat dengan Tuhan. Lagu “Sebelum Cahaya” mencerminkan momen ini, menunjukkan bagaimana dalam keheningan, seseorang bisa menemukan cahaya dari Tuhan yang membimbing langkahnya.
Kesunyian Gua Hira bukan sekadar tempat yang hampa, melainkan sebuah cara memahami—metode yang digunakan Nabi Muhammad SAW untuk menilai kenyataan lewat penghayatan mendalam (kasyf). Dalam perspektif epistemologi Islam, terutama dalam ajaran Sufi seperti yang disampaikan Al-Ghazali, pengetahuan tidak hanya berasal dari pancaindera atau rasio, tetapi juga dari qalb (hati) yang suci.
Dengan demikian, keheningan tersebut berfungsi sebagai sarana pengetahuan, bukan hanya sekadar pengalaman emosional. Pengetahuan yang diperoleh bukanlah hasil dari deduksi logis, melainkan pencerahan dari dalam yang berasal langsung dari sumber kebenaran, yaitu Tuhan. (Al Ghozali, 2010)
Ketika beliau berusia 40 tahun, tepatnya di bulan Ramadhan, beliau menerima wahyu pertamanya dari Malaikat Jibril yang menyampaikan lima ayat awal dari Surah Al-Alaq. Wahyu ini menegaskan pentingnya ilmu, pengajaran, dan nama Tuhan sebagai pusat pencerahan. Maka dari itu, pengalaman spiritual Rasulullah yang berlangsung dalam keheningan Gua Hira menjadi simbol permulaan misi kenabian yang sarat dengan makna ketuhanan dan kesadaran akan tanggung jawab besar terhadap umat manusia.
Analisis Semiotika terhadap Lagu Sebelum Cahaya
Hubungan dengan lagu ini merupakan gambaran lirik per lirik yang menampilkan spiritualitas yang mendalam. “Sebelum Cahaya” secara literal berarti keadaan pra-terang, pra-kenabian, atau masa kegelapan yang menanti pencerahan.
Dalam konteks Rasulullah SAW, ini dapat dikaitkan dengan zaman jahiliyah sebelum adanya cahaya (wahyu) sebagai pencerahan. Analisis semiotik lirik lagu “Sebelum Cahaya” dengan judul dan subtitle “Refleksi Spiritualitas Rasulullah SAW dan Awal Kenabian” mencoba menjelaskan makna simbolis dan konteks historis keagamaan dalam setiap bait.
Pendekatan yang digunakan mengacu pada teori Roland Barthes tentang hubungan antara tanda, penanda, petanda, dan mitos budaya. Dalam kacamata Roland Barthes, lirik ini adalah “mitos modern” yang menghidupkan kembali arketipe nabi, sufi, atau pencari kebenaran yang menjauh dari hiruk dunia untuk menyentuh keheningan yang maha hakiki (Barthes R, 1977).
Lirik pertama “ku teringat hati yang bertabur mimpi.” Menggambarkan hati” dan “mimpi“, yang melambangkan harapan dan kerinduan akan makna hidup, serta pencarian spiritual, terinspirasi dari masa muda Rasulullah yang merenungi masyarakat Mekah.
Lirik selanjutnya “Kemana kau pergi cinta”. Mengindikasi harapan Nabi terkait cinta yang hilang di kota mekkah dengan tradisi membunuh anak perempuan, perbudakan, dan kejahiliyahan yang lain.
Lirik selanjutnya, “Perjalanan sunyi engkau tempuh sendiri, kuatkanlah hati cinta.” menonjolkan kesunyian sebagai proses kontemplasi, terkait ritual Rasulullah di Gua Hira untuk mendekatkan diri kepada Tuhan serta bertahanust (tafakur) apa yang beliau rasakan terhadap kaumnya, dan kekuatan iman beliau menghadapi kaumnya.
Selanjutnya, “Ingatkah engkau kepada embun pagi bersahaja, yang menemanimu sebelum cahaya.” Menyimbolkan kesucian dan ketenangan yang datang sebelum wahyu, menandakan rahmat Allah untuk datang dengan ayat pertama “Iqro’” yang artinya bacalah. Mengindikasi bahwa seluruh proses refleksi nabi muhammad berdasarkan pembacaan sosial- spiritual yang dialami.
Lirik mengenai “ingatkan engkau kepada, angin yang berhembus mesra” mencerminkan kasih sayang Tuhan dan proses kenabian yang lembut dan gradual. Terakhir, lirik “Yang kan membelaimu cinta” mencerminkan kehadiran Ilahi yang setia dan relasi spiritual yang mendalam dalam perjalanan pencarian.
Sebelum Cahaya, Tasawuf, Ironi Fenomena Sosial- Politik Indonesia
Dalam ranah tasawuf, kesunyian bukan berarti kehilangan. Ia berfungsi sebagai tempat untuk menerima ilham, sebuah ruang interaksi antara jiwa dan Sang Pencipta. Lagu ini seakan menghidupkan kembali salah satu pokok ajaran tasawuf: takhalli (melepaskan diri dari dunia), tahalli (menghias diri dengan sifat-sifat mulia), dan tajalli (penampakan cahaya Tuhan).
Kita hidup di tengah riuh—politik yang gaduh, korupsi merajalela, phk massal, dan agama yang dijadikan alat hegemoni politik dan spiritualitas yang mulai menjadi formalitas. Nietzsche menyatakan bahwa krisis spiritual di era modern disebabkan oleh “kematian Tuhan”—yang menyebabkan munculnya nihilisme secara luas. Lagu ini seakan menjawab: bahwa sebelum munculnya cahaya, terdapat kegelapan. Manusia perlu menjelajahi jurang eksistensial untuk menemukan kembali “yang mutlak.”
Dalam pemikiran Mulla Sadra, manusia tidaklah makhluk yang tetap, melainkan subjek yang mengalami perubahan melalui gerak substansial (harakah jawhariyyah). Dengan demikian, keheningan dan kesendirian bukanlah sebuah kemunduran, melainkan langkah-langkah menuju transformasi menuju cahaya sejati.
Kita lupa untuk diam, lupa untuk menyepi. Kita takut sendiri, padahal justru dalam kesendirian itulah Tuhan kadang datang berbisik. gambaran jiwa profetik yang tengah bertumbuh dalam keheningan Gua Hira. Bukan pelarian, tapi i’tikaf eksistensial—sebuah revolusi spiritual sunyi yang akan melahirkan perubahan kosmik. Keheningan ini mengandung potensi transformasi sosial yang mendalam. Sebagaimana dalam tasawuf, kesendirian bukan kerapuhan, melainkan ruang ilham (Mutholingah, Siti, 2021).
Lagu ini dengan lembut menanyakan: “Ke mana kau pergi cinta? ” sebagai sebuah pertanyaan tentang eksistensi di indonesia yang telah kehilangan makna. Lirik ini menggugah spiritualitas yang bersifat kenabian yang dijelaskan oleh Muhammad Iqbal dan Fazlur Rahman: “bahwa agama bukan sekadar cara untuk melarikan diri dari realitas, melainkan sumber kekuatan moral untuk melakukan perubahan” (Rahman, F, 1982).
Oleh karena itu, “Sebelum Cahaya” dapat dipahami sebagai sebuah bentuk tasawuf sosial—spiritualitas yang tidak memisahkan diri dari sosial, melainkan muncul dari rasa peduli yang mendalam terhadap lingkungan sekitarnya.
Dalam konteks Indonesia saat ini, spiritualitas semakin menjadi tanda publik: terlihat melalui berbagai ritual agama, kampanye moral yang terpilih, atau pesan dakwah yang instanFenomena agama sebagai alat untuk hegemoni politik bukanlah sekadar teori, melainkan kenyataan yang telah diteliti dalam berbagai survei dan studi sosial.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2019 mencatat bahwa lebih kurang 53,7% responden berpendapat bahwa politisasi agama terjadi secara luas dalam kompetisi politik, khususnya menjelang pemilihan umum. Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pemilu 2019, pemanfaatan simbol serta isu agama dengan cara yang strategis telah menjadi sarana untuk memobilisasi politik yang memecah masyarakat (LSI, 2019).
Namun, dibalik semua itu, komunitas kehilangan aspek yang lebih mendalam: ketenangan hati dan kesadaran Ilahi yang lembut. “Kita berada di era pasca-kebenaran (post truth), tapi jiwa masih merindukan haqq (kebenaran sejati)”, artinya banyak kebohongan, ketidakrasionalan yang dilakukan bangsa indonesia.
Lagu Sebelum Cahaya mengangkat sebuah pertanyaan yang mendalam: apakah kita masih dapat sepi dan mendengarkan kembali suara embun dan hembusan angin?. Saat agama digunakan sebagai instrumen kekuasaan, lagu ini mengingatkan bahwa Tuhan tidak hadir dalam suara politik, tetapi dalam hembusan lembut (Nurani).
Saat masyarakat berfokus pada pencarian pengakuan sosial, lagu ini menekankan bahwa cinta sejati tidak membutuhkan pengakuan, tetapi loyalitas dalam kesunyian. Saat banyak individu menghadapi perjuangan mental dan spiritual secara sendirian, lagu ini memberikan kehadiran yang penuh makna: “Aku tidak akan pergi meninggalkanmu sendiri”. Artinya masih ada upaya indonesia menuju cahaya.
Seorang pemimpin selayaknya berkiblat kepada keheningan dan penalaran mendalam (kontemplasi) bukan hanya transaksional atau hanya sekedar citra politik. Ia seharusnya memikirkan akar permasalahan, bukan menambah masalah baru. Spiritualitas yang gersang, akan hanya dijadikan kendaraan nafsu yang transaksional (sementara).
Lagu Sebelum Cahaya menggambarkan pencarian spiritual yang mendalam, di mana kesunyian Gua Hira menjadi awal mula kenabian. Dalam konteks Indonesia saat ini, makna dari lagu ini sangat sesuai: spiritualitas yang sejati muncul dari pemikiran mendalam, bukan hanya dari ritual atau simbol semata.
Di saat terjadi krisis moral dan intervensi agama dalam politik, kita diundang untuk kembali ke dalam keheningan—membangun hubungan yang tulus dengan Tuhan dan diri kita sendiri. Spiritualitas bukanlah cara untuk menghindar, melainkan kekuatan untuk menolak ketidakadilan dan menjadi individu yang perhatian.
Secara spesifik, pembaca dapat mengimplementasikan nilai ini dengan meluangkan waktu untuk merenung, menjauhi fanatisme simbolik, serta menjadikan agama sebagai sumber empati dan tanggung jawab sosial. Dalam ketenangan, kita mendapati petunjuk. Dalam keadaan sendiri, kita mengasah kemampuan untuk mendengarkan suara Tuhan yang mengarahkan kita menuju cahaya—cahaya transformasi, yang bukan hanya memberikan ketenangan pribadi, tetapi juga memberi pencerahan bagi seluruh bangsa. Sekian
Referensi
- Al-Ghazali. (2010). Ihya’ ‘Ulumuddin [Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama]. Beirut: Dar al-Ma‘rifah.
- Barthes, R. (1977). Image, Music, Text (S. Heath, Trans.). New York: Hill and Wang.
- Brilio.net. (2024, Februari 12). Makna lagu Letto ‘Sebelum Cahaya’ yang penuh perenungan. Diakses dari https://www.brilio.net/musik/makna-lagu-letto-sebelum-cahaya
- Chodjim, A. (2006). Tasawuf Modern: Jalan Menuju Allah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
- Quraish Shihab. (1996). Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan.
- Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.
- Mutholingah, Siti. (2021). METODE PENYUCIAN JIWA (TAZKIYAH AL-NAFS) DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM, Jurnal TA’LIMUNA, Vol. 10, No. 01
- Al-Qur’an al-Karim. Terjemahan Kementerian Agama Republik Indonesia (2002). Jakarta: Departemen Agama RI.
- Mulla Sadra. (2003). The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect (al-Asfar al-Arbaʿa). Trans. James Winston Morris. London: ICAS Press.
- Nietzsche, Friedrich. (2005). Thus Spoke Zarathustra. Trans. Graham Parkes. Oxford: Oxford University Press
- Lembaga Survei Indonesia. (2019). Opini Publik Nasional tentang Politisasi Agama di Tahun Politik. Jakarta: LSI.