OpiniPendidikan

Kebelet AI dan Coding, Sebenarnya untuk Apa?

×

Kebelet AI dan Coding, Sebenarnya untuk Apa?

Sebarkan artikel ini

Kebelet AI dan coding tanpa membenahi literasi ibarat membangun gedung pencakar langit di atas tanah rawa. Megah di luar, rapuh di dalam.– Al Fatih Rijal

Urupedia.id- Beberapa tahun terakhir, istilah “Genjot Digitalisasi atau Pendidikan Digitalisasi” sudah mulai muncul dipermukaan, terutama di ranah dunia pendidikan. Berbagai platform digital juga mulai menggaung-gaungkan pendidikan berbasis digitalisasi, bahkan sudah mulai dilaksanakan sampai di ujung-ujung pelosok daerah. Semua itu tak lain dan tak bukan untuk kemajuan bangsa ini.

Setelah itu muncul lagi, istilah Artificial Intelligence (AI) dan coding  yang menjadi primadona baru di dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah, industri, dan sekolah-sekolah berlomba mengklaim diri siap melahirkan “generasi digital” yang tangguh.

Seminar-seminar serta pelatihan-pelatihan tentang AI dan coding sudah mulai marak dan muncul untuk sekolah dasar hingga SMA/SMK, pelatihan AI digencarkan untuk para Pendidik, dan perangkat digital diborong demi menunjukkan keseriusan. Bahkan letak menariknya adalah Visi “Indonesia Emas 2045” kerap kali dipoles dengan jargon-jargon futuristik yang memikat, seakan teknologi adalah obat mujarab bagi segala persoalan pendidikan.

Selain itu, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka juga menitipkan kepada Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti supaya anak-anak Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mendapatkan mata pelajaran coding serta kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).

“Jangan sampai kita kalah dengan India. Karena sekali lagi Bapak-Ibu, untuk menuju Indonesia emas kita butuh generasi emas. Kita ingin lebih banyak lagi ahli-ahli coding, ahli-ahli AI, ahli-ahli machine learning, dan lain-lainnya,” kata Gibran saat memberi sambutan dalam rapat koordinasi evaluasi pendidikan dasar dan menengah di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, pada Senin, 11 November 2024. (Tempo.com).

Sejalan dengan itu, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) juga mendukung rencana Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka mengajarkan kecerdasan buatan (AI) dan coding sejak sekolah dasar (SD). Bahkan Ketua PGRI Unifah Rosyidi mengatakan perkembangan teknologi sudah sangat maju. Menurutnya, Indonesia perlu memperkenalkan teknologi-teknologi itu sejak dini agar generasi emas 2045 tercapai.

“Saya ingin memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya pada Mas Wapres kita yang out of the box selalu dalam berpikirannya. Jadi, kita harus berkejaran mengikuti bagaimana beliau berpikir untuk kemajuan Indonesia, dalam hal ini pendidikan,” kata Unifah, dilansir dari cnnindonesia.com.

Namun, di balik gemerlapnya narasi serta pernyataan tersebut, muncul pertanyaan yang seharusnya kita ajukan sejak awal: untuk apa semua ini ketika literasi bangsa kita masih merosot dan skor PISA (Programme for International Student Assessment) 2022 tak kunjung membaik?

Kalau meninjau berdasarkan laporan UNESCO (2023) bahwa digitalisasi pendidikan yang dilakukan tanpa kajian matang justru dapat mengganggu proses belajar. Nah, duduk perkaranya justru terletak di sini, pemerintah tampak “kebelet” menjadikan teknologi digital — termasuk AI — sebagai pilar utama pendidikan. Seperti dicatat UNESCO, Indonesia termasuk negara yang menelan mentah-mentah kebijakan hyper-digital, menambah jam tatap layar, bahkan untuk asesmen. Padahal, negara seperti Swedia dan China justru menarik rem, membatasi penggunaan gawai di kelas, dan kembali menekankan membaca buku cetak.

Lebih lanjut, persoalannya bukan hanya soal literasi dan numerasi yang menurun, akan tetapi sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia yang masih banyak kekurangannya. Tentunya, masih ada beberapa sekolah yang kesulitan mengakses internet dan perangkat penunjang digitalisasi seperti laptop yang masih belum merata ke berbagai sekolah-sekolah terutama daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal).

Jika meninjau secara umum, pengertian Pendidikan digitalisasi yang merupakan proses transformasi pendidikan dengan memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan efisiensi dalam sistem pendidikan. Dalam hal ini melibatkan penggunaan berbagai perangkat digital, platform online, dan sumber daya digital untuk mendukung proses belajar mengajar, manajemen sekolah, dan interaksi antara siswa, guru, dan orang tua. Bayangkan kalau perangkat digital masih belum ada, sinyal internet masih sulit, laptop juga belum merata ke beberapa siswa, boro-boro mau mengamalkan AI dan Coding, sedangkan murid aja masih ada beberapa yang tidak punya gawai, sebab kondisi ekonomi yang berbeda.

Euforia ini mengingatkan kita pada peringatan Ki Hajar Dewantara dalam bukunya, Bagian I Pendidikan, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat menuntun tumbuhnya kodrat itu, bukan membentuknya menurut kehendak kita.” (Ki Hajar Dewantara, Pendidikan, 1935). Artinya, teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Jika AI dan coding tidak diarahkan untuk menuntun kodrat dan potensi anak, ia akan menjadi sekadar atribut kosmetik pendidikan.

Lalu, mengapa kita begitu terburu-buru? Apakah karena ingin terlihat modern di forum internasional? Atau karena tekanan industri teknologi? Seorang dosen yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Siti Murtiningsih dalam esainya yang berjudul “AI dan Masa Depan Pendidikan” (Kompas, 2024) juga mengemukakan bahwa pendidikan masa depan, dengan bantuan AI, harus dikembalikan pada tujuan asalnya; mendidik manusia menjadi manusia, bukan melatih manusia menjadi pekerja. Tetapi, pola kebijakan kita justru condong ke aspek alat, bukan tujuan.

Coding dan AI di Tengah Krisis Literasi

Maraknya pernyataan tentang AI dan Coding, baik dari usulan Wakil Presiden, juga didukung oleh Kementrian pendidikan dasar dan menengah (Kemendikdasmen) dengan alasan pemberian pembelajaran coding dan kecerdasan buatan sebagai bagian dari upaya mempersiapkan generasi muda yang kompetitif dan mampu bersaing di kancah global. Sebab, AI dan coding akan menjadi kunci dalam menciptakan inovasi dan solusi untuk berbagai masalah.

Namun pada kenyataannya, kemampuan membuat program tidak serta merta membentuk cara berpikir kritis dan evaluatif, apalagi minimnya literasi pada peserta didik. AI memang dapat mempermudah pekerjaan teknis, tapi siapa yang akan memastikan hasilnya etis, relevan, dan bermanfaat?

Salah satu fakta yang paling mengkhawatirkan adalah kondisi literasi dasar anak-anak Indonesia. Hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 memang menunjukkan kenaikan peringkat enam tingkat, tetapi skor literasi membaca justru menurun dibandingkan 2018. Peningkatan peringkat terjadi hanya karena negara lain turun lebih tajam.

Bahkan ramai perbincangan di media sosial tentang ratusan siswa sekolah menengah pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali tidak bisa membaca dengan lancar, tapi lancar main medsos.

Senada dengan itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Abdul Mu’ti juga mengatakan kondisi literasi di Indonesia saat ini memprihatinkan. Dia mengungkapkan sebanyak 75 persen anak usia 15 tahun memiliki kemampuan membaca tapi tak memahami apa yang mereka baca. Masalahnya adalah kualitas literasi anak Indonesia rendah karena adanya kesenjangan kualitas hasil belajar antarwilayah.

Melihat Kondisi tersebut, justru bertolak belakang dengan apa yang  dicita-citakan oleh Tan Malaka dalam buku yang berjudul Madilog (2022) yang menegaskan bahwa “pendidikan sejati harus membebaskan manusia dari kesengsaraan, ketertindasan, dan ketidaktahuan.” Mustahil pembebasan itu tercapai jika membaca saja masih menjadi tantangan besar.

Seperti yang dikatakan oleh Prof. Djoko Saryono (2017) bahwa tanpa kemampuan membaca kritis-kreatif, tidak mungkin kemampuan berpikir kritis-kreatif terbentuk. Dalam hal ini, Literasi adalah fondasi semua keterampilan abad 21, termasuk coding dan AI.

Tanpa kemampuan membaca dan memahami konteks, coding akan menjadi aktivitas menyalin sintaks tanpa mengerti logikanya. Sementara itu, multiliterasi di era digital memerlukan kemampuan memahami simbol, multimedia, dan ide lintas format. Tanpa pondasi literasi kuat, anak-anak akan mudah terjebak pada fake news, iklan manipulatif, dan ilusi visual yang mengaburkan fakta.

Menurut Priten Shah (2023) bahwa pendidikan masa depan harus melahirkan “evaluator” yang mampu menilai kualitas suatu informasi, bukan sekadar “generator” yang memproduksi konten atau menghasilkan sesuatu. Jika anak-anak kita hanya pandai membuat kode tetapi miskin logika, analisis, dan empati, mereka akan menjadi “tukang ketik” bagi AI, bukan pengendali AI. Namun pada kenyataannya, kebijakan kita masih berkutat pada kuantitas pelatihan AI dan coding, bukan kualitas berpikir kritis yang menjadi jiwa dari pembelajaran itu.

Arah Kebijakan

Dr. Anthony Muhammad (Alfian, 2023), menekankan bahwa budaya sekolah yang kuat adalah salah satu faktor penting yang membedakan sekolah yang sukses dengan sekolah yang tidak berhasil. Oleh karena itu, sebelum sekolah mengambil sebuah sikap untuk siap pembelajaran AI dan Coding, harusnya langkah yang paling urgen adalah menguatkan budaya literasi, nalar kritis dan berpikir kritis, sebelum melangkah ke pembelajaran AI. Mengapa demikian? Sebab, bila tanpa kemampuan literasi yang mumpuni, bisa jadi pembelajaran AI justru disalahgunakan.

Selain itu, jika berpacu pada AI, kemampuan berpikir secara rasional maupun kritis dalam diri murid tidak akan berkembang, kalau ia sudah nyaman dengan hal-hal yang berbau instan, apapun pelajaran dan tugasnya bakalan tanya kepada AI, dan AI menjadi solusi alternatif ketika para murid bosan berpikir untuk memecahkan masalah. Makanya, Michael Fullan (Alfian, 2023), seorang pakar pendidikan terkenal, menekankan bahwa budaya sekolah yang kuat dan inklusif adalah kunci untuk meningkatkan pembelajaran siswa dan mencapai hasil berkelanjutan.

Mihaly Csikszentmihalyi (2013) juga menjelaskan bahwa kreativitas hanya tumbuh dalam ekosistem yang memiliki domain budaya, bidang pendukung, dan subjek kreatif. Ia juga menyimpulkan bahwa orang-orang berbakat akan menjadi pribadi yang kreatif bila menemukan ekosistem kreatif yang memuat tiga elemen: domain simbolis, bidang pendukung, dan keberadaan orang kreatif.

Di sinilah persoalannya, sekolah di Indonesia belum sepenuhnya menjadi ekosistem itu. Kegiatan yang berbasis pendidikan digitalisasi seringkali hanya menjadi ajang promosi, bukan ruang eksplorasi nyata. Tidak hanya itu, ekosistem yang inovasi dan berbau digitalisasi, seringkali hanya dijadikan pajangan brosur, sementara fasilitasnya minim.

Lebih parahnya, bila pembelajaran AI dan coding yang diterapkan hanya menyalin prompt yang telah disediakan oleh guru, sedangkan murid hanya diminta untuk mengamati dan membaca hasilnya, lalu mencoba prompt-prompt lainnya, di mana posisi guru disini dalam pembelajaran  sekedar mentransfer pengetahuan, kemudian siswa menerimanya, lalu diuji. Sehingga tak ada ruang bagi eksperimen atau problem solving yang sesungguhnya.

Model pendidikan semacam itu, sebenarnya sama halnya dengan pendidikan “gaya bank” yang dikritik oleh Paulo Freire dalam bukunya Pendidikan Kaum Tertindas (2022). Jika model seperti itu terus dipertahankan, AI dan coding hanya akan menjadi cat baru di dinding lama yang retak — tampak modern, tapi rapuh di dalam. Akibatnya, coding dan AI pun diajarkan sebatas hafalan sintaks, bukan sebagai sarana memecahkan masalah nyata.

Oleh karena itu, seharusnya sebagai seorang guru itu harus kritis terhadap kebijakan pemerintah, supaya bisa melihat bahwa proyek pendidikan digitalisasi berbasis AI dan coding, bisa saja rentan jatuh pada tiga jebakan, yang pertama adalah Jebakan Citra, dimana digitalisasi hanya dijadikan alat pencitraan politik, bukan kebutuhan pedagogis. Kedua, Jebakan Industri, yang mana kebijakan condong menguntungkan korporasi teknologi, alih-alih kepentingan pendidikan publik. Ketiga, Jebakan Substitusi, yang mengganti pembelajaran bermakna dengan perangkat canggih tanpa memastikan konten dan metodenya yang relevan.

Maka dari itu, sebagai guru yang sadar akan kebutuhan murid dan perkembangan zaman, harusnya berhati-hati.  Jika kita sebagai guru tidak hati-hati, AI dan coding hanya akan menjadi gimmick seperti pembagian susu kotak untuk mewujudkan “Indonesia Emas 2045”— manis di bibir, hambar di isi.

Revolusi Jalan Tengah: AI dan Coding yang Membebaskan

Kita memang tidak bisa menolak AI dan coding, secara mentah-mentah. Keduanya adalah bahasa baru dunia yang akan terus berkembang. Namun, kita bisa memilih bagaimana menggunakannya. Maka dari itu, penulis akan memberikan solusi atas segala persoalan di atas, sebab seperti kata masyarakat, “Kritik mulu, tanpa solusi, semua orang juga bisa.”

Di sinilah penulis memberikan solusi atas segala persoalan di atas dengan “Revolusi Jalan Tengah” yang membebaskan setidaknya memerlukan empat langkah atau tahapan strategis.

Pertama, reorientasi tujuan pendidikan teknologi. AI dan coding harus menjadi alat untuk memperkuat literasi, kreativitas, dan empati, bukan sekadar target kurikulum. Mengapa demikian? Sebab. mengajarkan AI tanpa literasi sama seperti memberi kapal canggih kepada nahkoda yang buta arah.

Kedua, penguatan literasi dasar sebagai fondasi. Program literasi harus diintegrasikan dalam semua mata pelajaran, bukan hanya pelajaran bahasa. Selain itu, AI dan coding dapat digunakan untuk membuat simulasi interaktif yang memperkaya bacaan dan pemahaman siswa.

Ketiga, pelatihan guru yang bermakna. Guru memerlukan ruang untuk bereksperimen dan mengintegrasikan teknologi sesuai konteks lokal. Pelatihan harus lebih dari sekadar mempelajari platform, tetapi membangun strategi pedagogis yang mendorong siswa berpikir kritis dan kreatif.

Keempat, kebijakan berbasis riset dan keberanian koreksi. Inilah poin pentingnya, di Negara Swedia sudah berani mengubah haluan demi literasi; Indonesia pun harus berani mengevaluasi kebijakan digitalisasinya. Mengikuti tren global tanpa memeriksa dampaknya di konteks lokal hanya akan mengulang kesalahan lama.

Pendekatan ini juga sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yang menempatkan pendidikan sebagai sarana memerdekakan manusia: “Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Sekali lagi, “Kebelet” AI dan coding tanpa membenahi literasi ibarat membangun pencakar langit di atas tanah rawa. Megah di luar, rapuh di dalam. Indonesia memang perlu beradaptasi dengan teknologi, tetapi adaptasi itu harus berlandaskan literasi, kreativitas, dan kemanusiaan.

Tan Malaka telah mengingatkan hampir delapan dekade lalu bahwa pendidikan harus membebaskan manusia dari kebodohan dan ketertindasan. Ki Hajar Dewantara pun menegaskan bahwa tugas pendidik adalah menuntun, bukan membentuk sesuai selera zaman.

Jika kita terus memuja AI dan coding tanpa menguatkan daya baca, nalar kritis, dan keberanian berpikir, maka “Indonesia Emas 2045” hanya akan menjadi slogan di baliho — indah di mata, kosong di makna. AI dan coding seharusnya menjadi jembatan menuju pembelajaran yang memerdekakan, bukan pagar yang membatasi pikiran.

Advertisements