
Kisah Pendirian AT- Thohiriyah
Di balik rindangnya pepohonan, dan angin yang melambai- lambai. Terdapat sebuah pesantren yang bernama Pesantren AT-Thohiriyah yang terletak di Ngantru, Desa Pinggirsari, Tulungagung, tersembunyi jejak sejarah yang berakar kuat pada semangat pendidikan dan pengabdian.
Sebuah warisan yang bermula dari tekad seorang ulama bernama KH Ahmad Cholid Thohiri, sosok visioner yang membangun pesantren ini bukan sekadar sebagai institusi pendidikan, melainkan sebagai pusat pembentukan karakter dan akhlak generasi santri.
Segalanya bermula dari pesan seorang guru kepada muridnya. KH Toha Mu’id kepada KH Ahmad Cholid Thohiri, KH Toha Mu’id juga seorang pelopor berdirinya Pondok At- thohiriyah.
Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al Islah Bandar Kidul, yang pernah berpesan kepada santrinya yang beliau cintai yakni, KH Cholid Thohiri — santri yang pernah menimba ilmu di Pondok Al-Islah Bandar Kidul — “ojo lali pondok e, lek wis muleh.”
Sebuah kalimat sederhana, namun menjadi akar spiritual dan moral dalam mendirikan At- thohiriyah. Pada suatu saat dengan usaha dan doa KH Cholid Thohiri, telah menyelesaikan pendidikannya dan kembali ke kampung halaman. Dan tidak berapa lama beliau diberikan amanah untuk menjadi PNS dan dipercaya sebagai kepala madrasah. Namun, bukan status formal yang menjadi kebanggaannya, melainkan keinginan tulus untuk mengabdi lewat jalur pendidikan yang menjadikan beliau selalu harum namanya.
Dari sana, beliau memulai langkah awal untuk dakwah islam, dengan kegiatan santunan anak yatim menjadi awalnya hingga akhirnya mendirikan madrasah dan pondok pada tahun 1999.
Saat itu, santri hanya berjumlah sekitar 20 hingga 30 orang. Walaupun dengan keadaan yang seadaanya dalam proses awal pendirian, cita-cita beliau lebih besar, untuk membangun dan mengabdi kepada umat melalui pendidikan dengan semangat yang kokoh untuk tetap mengamalkan ilmunya.
Nilai- Nilai, Etika dan Keteladanan
Pesantren ini tumbuh sebagai pondok salafiyah yang menjadikan kajian kitab kuning sebagai fondasi utama. KH Cholid Thohiri tidak hanya mendidik, tapi juga membentuk karakter setiap santrinya.
Setiap santrinya diberikan pesan untuk menjaga “sholat jamaah”. Kurikulum Madrasahnya diselaraskan dengan aktivitas pesantren, menjadikan kehidupan santri sebagai satu kesatuan antara ilmu dan amal.
Beliau dikenal dekat dengan tafsir Al- Ibriz dan hadits, pernah suatu saat ketika penulis selesai madrasah diniyah, kerap kali terlihat sorotan lampu dari balik jendela kamar beliau, ternyata beliau sedang mengkaji kitab (Muthola’ah), keseharian beliau selalu konsisten. Yang pada hari ini menjadi teladan seorang penulis untuk selalu belajar, hingga menuliskan artikel ini. Dengan umur beliau yang menginjak usia lanjut dahulu, sorotan lampu malam yang tetaptetap kokoh dan bersemangat dalam mempelajari dan mengawal ilmu.
Dan beliau memiliki tirakat yang luar biasa dengan keistiqomahan beliau berdzikir. Santri dahulu, selalu menyaksikan ketika subuh fajar, beliau tidak langsung beranjak tapi menyepi untuk berdzikir kepada Allah SWT sampai matahari muncul dari permukaan.
Keistiqomahan beliau juga tercermin ketika selalu melafalkan bismillah sebelum makan dan beraktivitas. Penulis menyaksikan beliau penuh dengan kehati- hatian dan lemah lembut serta dengan kepemimpinan yang tegas. Bukti tersebut merupakan sebuah suri tauladan yang seharusnya dicontoh dan diamalkan kembali.
Selain itu juga, beliau gemar mengajak santri- santrinya untuk bersentuhan langsung dengan masyarakat. Seperti mengajak santri untuk mengikuti kegiatan tahlil, lailatul ijtima’ dan kegiatan keagamaan lainya di masyarakat. Sebuah dakwah untuk upaya bagaimana santri selalu berorientasi kepada pengabdian kemaslahatan umat.
Salah satu nilai luhur yang diajarkan Abah Yai Cholid Thohiri adalah pentingnya pengabdian لِإِعَالِا كَلِمَةِ الله, yakni mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual dan sosial.
Sholat berjamaah menjadi alat untuk menanamkan solidaritas dan kepemimpinan. Bagi beliau, pemimpin sejati adalah yang mampu menjadi makmum yang baik — mampu mengikuti, memahami, dan menghargai kebersamaan dan keberagaman dalam masyarakat.
Dalam satu kalimat sederhana ini tersembunyi nilai-nilai etika kepemimpinan yang mendalam: seorang pemimpin sejati adalah dia yang pernah dan bisa menjadi pengikut yang baik. Beliau adalah teladan utama dalam segi Tirakat, Kedisiplinan, Etika dalam pemimpin dan etika dalam bekerja.
Namun, seperti banyak lembaga pendidikan lainnya, AT-Thohiriyah pun menghadapi tantangan zaman. Salah satu tantangan terbesar adalah maraknya pendirian pesantren baru yang membuat persaingan semakin ketat.
Nasihat Utama KH Cholid Thohiri
Dalam menghadapi tantangan, wejangan KH Cholid Thohiri masih menjadi pijakan moral yang kokoh. Tiga nasihat utamanya seolah menjadi kompas dalam menjalani kehidupan dan perjuangan, yakni:
Pertama, dalam mengejar tujuan hidup, berusahalah hingga benar-benar mentok; saat itulah tawakal pada Allah SWT, menjadi kegiatan yang sempurna. Dalam perspektif Islam, ini disebut dengan ide ikhtiar dan tawakkal. Dalam pemikiran filosof Islam seperti Al-Ghazali, manusia diharuskan untuk berusaha sebaik mungkin sebelum menyerahkan hasil kepada kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pesantren ini bukan hanya sekadar tempat untuk mempelajari ilmu, tetapi juga merupakan tempat untuk belajar menjalani hidup, berjuang, dan menerima takdir dengan sepenuh hati.
Kedua, cintailah proses pekerjaan, bukan hanya hasilnya. Ini merupakan sebuah prinsip untuk mencintai setiap langkah dalam proses untuk membentuk dari keaslian dan tekad terhadap keputusan hidup. Bukan hanya sebatas mendorong pencapaian yang bersifat luar yang selalu mengandalkan hasil.
Ketiga, ketika pembangunan awal, seperti ketika peresmian masjid At-Thohiriyah, beliau pernah diberikan pesan oleh KH Toha Muid selaku guru beliau. Beliau bertanya kepada santrinya itu “Duwit ko endi?” Sebanyak tiga kali, dan tidak ada yang bisa menjawab, kemudian beliau diberikan pesan spiritual untuk meminta langsung pada Allah, karena disitulah kekuatan sejati seorang santri berasal. Momen itu bukan sekadar anekdot, melainkan refleksi mendalam tentang keyakinan sebagai dasar gerak. Inilah bentuk iman yang hidup—iman yang tidak hanya diam dalam kata, tetapi bekerja dalam tindakan, membangun lembaga, mencetak santri, dan membentuk masyarakat.
“Pendidikan bukan sekadar mengisi bejana, tetapi menyalakan api (pengabdian).”
— William Butler Yeats
Di Madrasah dan Ponpes At- thohiriyah, pinggirsari, ngantru, tulungagung. Telah berkembang beberapa gedung sudah dibangun dan terdapat Madrasah Aliyah, dan Madrasah Tsanawiyah. Serta pondok pesantren yang siap menampung santri dari luar daerah. Dan progam- progam yang mendukung santri, seperti khitobah, sorogan, badongan, serta pelatihan desain grafis di Madrasahnya. KH Roziqul Anwar, pimpinan madrasah dan pengasuh saat ini, menyadari bahwa keunikan dan kekhasan pondok harus terus dijaga, dan kekuatan finansial menjadi salah satu lokomotif penggeraknya. Ikatan alumni yang belum solid juga menjadi tugas untuk memperkuat jaringan dan kontribusi bagi almamater.
Kini, harapan besar ditanamkan agar At-thohiriyah terus eksis sebagai mercusuar pendidikan dan dakwah. Tidak hanya sebagai warisan fisik dari KH Cholid Thohiri, tetapi sebagai perwujudan dari semangat, nilai, dan perjuangan beliau. Sebuah pondok yang tidak hanya membangun gedung dan program, tetapi membangun jiwa-jiwa yang siap mengabdi kepada masyarakat, agama, dan bangsa. Al- Fatihah terucapkan untukmu guru (KH Ahmad Cholid Thohiri) semoga dengan ini, spirit perjuanganmu tetap terus membara. Al- Fatihah. Amiin.
Sekian.
Dokumentasi:




