
Urupedia.id – Perlu kita ketahui bahwa dalam penentuan awal Ramadhan, diperlukan adanya metode tertentu, yakni Hisab dan/atau ru’yah. Sebagian Ormas Islam (Organisasi Masyarakat Islam) ada yang memilih untuk menggunakan metode hisab, dan ada juga yang menggunakan metode ru’yah.
Adapun saat sidang itsbat yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI dalam penentuan awal Ramadhan dan syawal secara nasional sebagai bahan rujukan, berusaha mengambil kebijakan untuk menggabungkan keduanya, yakni antara ru’yah dan hisab.
Gus Zahro Wardi, memberikan tanggapan terkait dengan legalitas metode hisab untuk menentukan awal puasa yang pernah diterangkan oleh Gus Baha’ dalam suatu pengajian.
Dikutip dari kanal Youtube Gus Zahro Wardi, berikut penjelasan mengenai berbagai cara dalam penentuan awal Ramadhan. Penentuan awal Ramadhan pada tahun ini terdapat berbagai perbedaan.
“Sebelum kita menanggapi satu isi pengajian dari idola para Muhibbin (pengajian lewat medsos) yakni Gus Baha’, kita harus menyadari tentang pentingnya memahami berbagai perbedaan dan menghormati keputusan dalam penentuan awal Ramadhan, khususnya di Indonesia. Ketika kita bicara mengenai penentuan awal Ramadhan dan awal Syawal, di Indonesia itu paling tidak ada empat pola,” ujar beliau dalam video tersebut.
Pola pertama adalah mereka yang menggunakan hisab. Menggunakan hisab ini diperinci ada dua pola. Pertama adalah hisab wujudul hilal, artinya hisab yang tidak membatasi imkanur ru’yah (Bulan dalam posisi mungkin dilihat). Sehingga kalau hisab sudah menunjukkan wujudul hilal maka sudah masuk awal Ramadhan/awal Syawal. Jadi yang penting saat dihisab, hasilnya hilal sudah wujud.
Kesimpulannya adalah ketika sudah wujud sekalipun tidak mungkin di ru’yah (dilihat) secara kasat mata, maka sudah masuk awal bulan. Pendapat dari metode ini digunakan oleh kalangan Ormas Muhammadiyah.
Kedua adalah hisab tapi masih membatasi imkanur ru’yah. Jadi meskipun hasil hisab sudah menunjukkan hilal wujud, mereka masih membatasi bahwa ketinggian hilal harus imkanur ru’yah (batas sudah bisa dilihat). Sehingga kalau masih wujudul Hilal saja, kelompok ini juga tidak mengatakan bahwa itu masuk awal Ramadhan. Yang menggunakan metode ini diantaranya adalah kalangan PERSIS (Persatuan Islam) yang pusatnya di Bandung.
Ketiga adalah menggunakan pola ru’yah. Pola ini juga ada dua macam, ada yang tidak menggunakan batasan atau aturan imkanur ru’yah, yang penting ru’yah. Jadi kalau berhasil ru’yah ya masuk awal bulan, kalau tidak berhasil ru’yah ya belum. Pola ini juga benyak diikuti oleh beberpa ormas, diantaranya adalah Jam’iyah Al-Irsyad.
Pola keempat adalah yang digunakan Nahdhlatul Ulama (NU) yaitu menggunakan pola ru’yah serta imkanur ru’yah. Artinya untuk menentukan awal Ramadhan/syawal, selain hilal berhasil dilihat juga harus ada batas-batas imkanur ru’yah.
Sehingga kalau ada yang mengaku ru’yah hilal tapi posisi hilal masih dibawah imkan ru’yah, persaksiannya tidak bisa diterima, begitu pula sebaliknya, sekalipun sudah imkan ru’yah tapi masih saja gagal untuk di ru’yah, maka prinsipnya menggunakan ikmal (menyempurnakan bilangan bulan). Artinya bulan disempurnakan 30 hari.
Gus Zahro Wardi menjelaskan bahwa ada yang menggunakan pola selain itu tadi, diantaranya adalah Jamaah Al-Nadzir di Sulawesi. Mereka tidak menggunakan hisab dan ru’yah tetapi menggunakan gejala-gejala alam diantaranya pasang surutnya laut dan lain sebagainya.
“Apapun kesimpulannya, saya kira tetap dalam posisi harus saling menghormati perbedaan seperti tahun-tahun kemarin, hal itu biasa saja. Menurut informasi yang saya terima kalau tahun-tahun kemarin imkan ru’yah telah disepakati oleh pemerintah, kemudian NU yang memang menggunakan metode Ru’yah ma’a imkan ru’yah, adalah ketinggian bulan minimal 2°, kemudian Elongasinya (jarak hilal dan matahari ketika ghurub) adalah 4°,” jelasnya.
Beliau juga menambahkan bahwa tahun ini ada informasi telah ada semacam kesepakatan atau MOU of NEO MABIMS, yakni kesepakatan diantara menteri-menteri agama Brunei, Indonesia Malaysia dan Singapura (MABIMS) tentang perlunya menaikkan ketinggian derajat yang bisa untuk di ru’yah, yakni 3° minimal, kemudian Elongisasi (jarak hilal dan matahari ketika ghurub) diputuskan 6°.
Dalam Chanel Youtube-nya Gus Zahro melanjutkan, “Kali ini kita coba ingin menanggapi yang disampaikan tentang kajian ilmiahnya, terkait pola hisab dan ru’yah dari beliau Gus Baha. Sekali lagi kita tidak dalam posisi salah menyalahkan, tapi murni ini adalah perbandingan-perbandingan pendapat beliau dengan pendapat saya pribadi,” ungkapnya.
Berikut penjelasan Gus Baha’ mengenai penetapan keputusan awal Ramadhan dalam pengajiannya.
Saya (Gus Baha’) bercerita bahwa kesalahan terbesar santri itu meyakini faakmilu ‘iddata sya’ban. Ini supaya orang yang tidak ngaji fikih bisa mengerti fikih. Sabda nabi dalam masalah awal romadlon dan syawal yaitu “shummu liru’yatih wa afthiru liru’yatih”. Jadi kamu puasa atas nama ru’yah begitupun nanti kamu lebaran juga atas nama ru’yah. Kemudian “fain ghumma ‘alaikum”. Jika kondisi tidak jelas (tidak bisa di ru’yah) karena mendung/alatnya kurang “faakmilu ‘iddata sya’ban tsalaatsina yauman”. Jika menyangkut puasa ya faakmilu ‘iddata sya’ban, jika menyangkut syawal ya faakmilu ‘iddata Ramadhan. Kalau tidak jelas ya sya’ban diputuskan 30 hari, setelah 30 hari nanti kan pasti tanggal 1. Untuk ‘Ied ya gitu, Ramadhan digenapkan 30 hari, kan nanti pasti 1 syawal. Itu tadi menurut fiqh.
Tapi kan fiqh itu ilmu yang terkadang memang dikarang begitu saja, sebagai rutinitas. Contohnya Rukhin (nama salah satu jamaah beliau) orang ‘alim berfatwa, kemudian Musthofa mengaji kemudia berfatwa karena pandai membaca mu’in dan membaca Wahab. Tapi sebetulnya jika kalian sudah mengaji kitab-kitab imam yang lebih ‘alim dari pada yang mengarang mu’in, yakni seniornya pengarang mu’in yaitu Imam Subki. Imam Subki itu punya fatwa antik. Ru’yah sama hisab lebih dulu hisab, seperti dijelaskan dalam kitab I’anah yakni : fainnal hisab qath’iyun wal ru’yah mazhnunnatun. Kalau ru’yah itu rawan orangnya bento (salah menduga).
Alasan gus baha’ sederhana “kita ini tidak adil, ini kan karena perkataan imam Ghazali. Karena kita punya nafsu berfatwa, itu tok masalahe (itu saja masalahnya, red)”. Tapi secara ilmiah, praktek kita ini hisab, “bukan karena saya membela muhammadiyah”
Gus Zahro menaggapinya dengan membacakan ibarot dari kitab I’anah At-Tholibin Juz 2 Halaman 216
وفى مغني الخطيب مانصه (فرع) لو شهد برؤية الهلال واحد او اثنان واقتضى الحساب عدم امكان رؤيته قال السبكي لا تقبل هذه الشهادة لان الحساب قطعي و الشهادة ظنية والظن لا يعارض القطع و اطال فى بيان رد هذه الشهادة و المعتمد قبولها إذ لا عبرة بقول الحساب إه و فصل فى التحفة فقال الذي يتجه ان الحساب ان اتفق اهله على ان مقدماته قطعية وكان المخبرون منهم بذلك عدد التواتر ردت الشهادة و إلا فلا
Pendapat mendahulukan hisab dari pada ru’yah merupakan pendapat minoritas. Mayoritasnya tetap mendahulukan ru’yah dari pada hisab. (untuk penjelasan ibarotnya silahkan telusuri Chanel Youtube Gus Zahro Wardi, red).
Hal ini diperkuat keterangan kitab Ikhlassun Nawawi juz 1, hal. 357, Karya Imam Ibnu Muqri:
والمعتمد فى المذهب الحنقي ان شرط وجوب الصوم والإفطار رؤية الهلال وانه لا عبرة بقول المؤقتين ولو عدولا و من رجع إلى قولهم فقد خالف الشرع وذهب قوم منهم إلى انه يجوز ان يجتهد فى ذلك و يعمل بقول اهل الحساب و منع مالك من اعتماد الحساب فى اثبات الهلال فقال ان الإمام الذى يعتمد على الحساب لا يقتدي به ولا يتبع و بين ابو الوالد الباجي حكم صيام من اعتمد الحساب فقال فإن فعل ذلك احد فالذي عندي انه لا يعتد بما صام منه على الحساب و يرجع إلى الرؤية و إكمال العدد إه
(Untuk penjelasan ibarotnya silahkan telusuri Chanel Youtube Gus Zahro Wardi, red).
Kemudian kita perkuat lagi dengan fatawa Romli halaman 358. Ini hanya menunjukkan bahwa pendapat Imam Subki lemah, bukan dalam artian menyalahkan, tetapi khilaf. Kita sampaikan bahwa itu pendapat yang lemah. Yang kuat adalah ru’yah ma’al imkan ru’yah seperti yang di ikuti oleh pemerintah saat ini dan Nahdlatul Ulama.

(Untuk penjelasan ibarotnya silahkan telusuri Chanel YT Gus Zahro Wardi, Red).
“Dengan demikian kita hanya ingin mengatakan bahwa pola yang diikuti oleh pemerintah saat ini dan NU beberapa tahun terakhir, yaitu NU menggunakan konsep ru’yah dengan imkanur ru’yah. Saya kira pendapat yang sangat kuat sekali. Tapi bukan berarti pendapat Gus Baha’ yang mendukung minoritas Imam Subki itu salah. Itu tidak salah, jadi hanya soal pilihan2, tapi sekali lagi pendapat yang paling kuat adalah ru’yah serta imkanur ru’yah,’’ ungkap Gus Zahro dalam videonya.
Dalam Video Youtube-nya Gus Zahro juga Menyampaikan, Sumber khilaf itu bermula dari perbedaan dalam memahami hadits nabi seperti yang disampaikan juga oleh Gus Baha’, antara lain:
Nabi bersabda “shumu liru’yatih, waaftiru liru’yatih”. Tapi kan ru’ya artinya melihat, melihat itu bisa meyakini dan berpendapat. Jadi Roa- Yaro-Ru’yatan itu tidak harus melihat fisik.” Kata Gus Baha’
hadistnya ada di Bukhori Muslim.
Lalu dalam Video Youtube-nya Gus Zahro menanggapi pendapat Gus Baha’ tersebut untuk menguatkan kembali pendapatnya Bahwa; “Ru’yah dalam hadits itu yang kuat tetap diartikan dengan “melihat pakai mata”, sebab ada dilalah FAIN GHUMMA ‘ALAIKUM, yakni jika kalian gagal melihat karena terhalang mendung (sahab), hal ini dijelaskan dalam tafsir haditsnya. Bukan diartikan menghitung yang bisa menghantarkan suatu keyakinan pendapat. Sekalipun memang ada yang menafsiri demikian tapi sangat lemah”. Pungkasnya
“NU dan pemerintah saat ini memakai pendapat yang kuat, jadi kalau tidak bisa ru’yah sekalipun imkanur ru’yah, artinya tidak ada satupun orang yang berhasil melihat bulan, atau sebaliknya bila posisi hilal tidak imkan rukyah lalu ada yang mengaku berhasil rukyah, maka ini tetap ikmal, yaitu menyempurnakan sya’ban 30 hari dalam menentukan awal Ramadhan, dan menyempurnakan puasa 30 hari untuk menentukan awal bulan syawal. Namun demikian kembali kita ingatkan, kalua ada kelompok yang berpendapat berbeda karena menggunakan hisab, maka saling menghormati demi kerukunan dalam menjalankan agama tetaplah kita jaga dan kedepankan.” pungkas Gus Zahro dalam videonya.
Penulis: Irfan Shidqon Novvenda
Editor: Ummi Ulfa
Pentashih: Gus Zahro Wardi







Respon (1)