Urupedia – Fenologi merupakan ilmu yang memelajari pengaruh perubahan iklim atau lingkungan, yang mana dalam budaya masyarakat Jawa dikenal sebagai ilmu pranata mangsa (tatanan musim). Masyarakat Jawa yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sangat terbantu dengan adanya ilmu yang ditinggalkan moyang mereka ini.
Mengutip dari Good News From Indonesia (26/9), pernyataan oleh dosen Agrometeorologi di Universitas Gadjah Mada, Ir. Anjal Asmara menjelaskan, bahwa pranata mangsa disusun oleh nenek moyang etnis Jawa untuk menandai permulaan atau berakhirnya musim tanam.
Masyarakat Jawa memerhatikan perilaku hewan dan tumbuhan yang kemudian dijadikannya sebagai patokan penentuan aktivitas bertani, yang disebut dengan pranata mangsa itu sendiri. Pranata mangsa berasal dari kalender surya yang dikaitkan dengan kalender Gregorian. Penghitungan ini mulai digunakan masyarakat Jawa jauh sebelum sistem kalender itu ditetapkan pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1855).
Imam Budhi Santoso, budayawan Dewan Kesenian Yogyakarta menyatakan, bahwa nenek moyang bangsa Jawa menyusun pranata mangsa didasari pengamatan alam. Melalui metode pengetahuan kolektif ini biasa disebut oleh masyarakat Jawa sebagai ilmu titen (mengamati dan mengingat).
Pranata mangsa terdiri atas 12 mangsa (musim), dengan rentang waktu yang bervariasi yaitu antara 23-41 hari dengan indikasi berbeda-beda. Penanggalan pranata mangsa dimulai sejak diperintahkannya pembukuan sebagai hukum formal, saat pemerintahan Pakubuwono VII pada 22 Juni 1855.
Pada 1950-1980 bergesernya pranata mangsa ditandai dengan kehadiran gerakan revolusi hijau. Gerakan ini membawa tiga pilar utama yaitu sistem irigasi, penggunaan pupuk kimia, pestisida dan bibit unggul.
Dampak yang sangat dirasakan masyarakat kala itu berlipat ganda hasil tanaman pangan, hingga pada 1983 Indonesia meraih swasembada beras. Revolusi hijau memberikan harapan yang besar kemungkinan terjadi tiga kali panen padi dalam setahun. Namun upaya ini perlu dukungan pembangunan sistem irigasi, penyediaan bibit transgenik, pupuk, hingga pestisida.
Namun selain dampak positif yang menguntungkan ada sisi dampak negatif yang juga meresahkan para petani dari adanya revolusi hijau ini. Banyaknya penggunaan pestisida maupun pupuk kimia oleh para petani dapat menimbulkan bermacam hama dan penyakit, bahkan dapat berpotensi merusak struktur tanah.
“Revolusi hijau makin menjauhkan para petani dengan pranata mangs. Kondisi itu diperparah dengan perubahan iklim,” ungkap Prof. Dr. Yunita Triwardani Winarto, peneliti perubahan iklim dan perilaku petani Departemen Antropologi Universitas Indonesia.
Meski demikian kondisi saat ini hanyalah perubahan kebiasaan dan pengetahuan petani. Sistem pranata mangsa tetap relevan meski digunakan di zaman serba teknologi instan ini. Tidak sedikit petani yang abai dengan ilmu penanggalan ini mengalami gagal panen.
Pranata mangsa telah menjadi cerminan kehidupan para petani yang menggambarkan hubungan keserasian manusia dengan alam. Manusia dengan kemampuan akalnya yang mampu memahami bahasa alam, menganggap alam sebagai ibu yang merawat dan harus dirawat. Bukanlah benar jika terus diperas, diracuni, dan dimasuki segala sesuatu dengan sesuka hati tanpa memerhatikan kebutuhan alam.
Editor: Munawir







Respon (1)