Esai

Resensi Buku ‘Kiai Gado-gado; Kisah, Kiprah Perjuangan dan Teladan’

×

Resensi Buku ‘Kiai Gado-gado; Kisah, Kiprah Perjuangan dan Teladan’

Sebarkan artikel ini

Judul buku : Kiai Gado-gado; Kisah, Kiprah Perjuangan dan Teladan
Pengarang : Mukani
Penerbit : Nous Pustaka Utama
Tahun terbit : 2022
Peresensi : Ummi Ulfatus Syahriyah

Sinopsis Buku

Buku ini menyajikan deratan biografi ulama-ulama yang memiliki kiprah begitu besar di wilayah masing-masing. Penulis menyajikan 22 tokoh ulama yang diulas secara global. Beberapa tokoh diantaranya sempat ditemui penulis sehingga penulis menyajikan beberapa pengalaman ketika bertemu dengan sosok kiai tersebut.

Kiai memiliki posisi penting dalam kehidupan masyarakat. Otoritas tersebut ditentukan oleh kualitas masing-masing personal. Dalam diri kiai pun terdapat banyak teladan yang bisa diambil oleh masyarakat, namun minim yang memahami dan mengamalkannya. Istilah gado-gado merujuk pada dua hal; pertama berasal dari salah satu artikel pada bagian kedua dengan judul “KH. Sumanan Hidayat; Kiai Gado-gado dari Kota Angin”, kedua karena betapa kompleksnya peran kiai dalam masyarakat.

Kiai tak hanya sebagai penyebar dakwah keagamaan melainkan sebagai motor penggerak dalam perubahan sosial (social movement). Peran mereka begitu kompleks di berbagai bidang, yakni pada bidang pendidikan, pemberdayaan ekonomi, praksis moderasi beragama, emansipasi wanita, geliat literasi, dan peran dalam dunia politik.

Buku ini hadir sebagai bentuk role model bagi para tokoh-tokoh agama atau masyarakat umum untuk dijadikan teladan baik dalam kiprahnya berjuang dalam berdakwah maupun melakukan perubahan sosial. Buku ini mengulas tokoh dengan bahasa yang ringan dan bahasan yang global namun cukup berisi. Setiap tokoh memilki concern pada bidang masing-masing sehingga pembahasan begitu kompleks. Secara umum, setiap tokoh diulas mengenai latar belakang sosial, latar belakang pendidikan serta kiprah dan perjuangannya dalam berdakwah di wilayah masing-masing.

Beberapa teladan yang dapat diambil dari tokoh-tokoh kiai tersebut di antaranya; menggerakkan tradisi literasi sebagai bentuk pewarisan pengetahuan dan wawasan; menyebarkan toleransi dan moderasi beragama serta menampik ideologi-ideologi kaum radikalis-fundamentalis; memiliki jiwa-jiwa pekerja keras, menimba ilmu sekaligus berwirausaha; dan menyuarakan kesetaraan gender.

Kita bisa meneladani semangat literasi dari beberapa tokoh kiai dalam buku ini, yakni; (1) KH. A. Yasin Ashmuni, sosok Kiai yang begitu getol dalam menulis hingga namanya dikenal mancanegara, tulisannya mencapai ratusan kitab (±200 kitab). Beliau juga dijuluki sebagai Imam Suyuhti dari Kediri; (2) KH. M. Ma’shum Ali. Kitab fenomenal yang beliau karang adalah al-amtsilah at-tashrifiyah, kitab yang berisi mengenai ilmu gramatika arab. Kitab ini tak hanya dipelajari di pesantren dalam negeri saja bahkan sampai internasional. (3) KH. Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Solah. Gus Solah merupakan sosok kiai yang santer dalam menulis essay. Tulisannya dimuat dalam beberapa laman internet seperti harian kompas dan jawapos.

(4) KH. Agus Muhammad Zaki. Kegetolannya dalam dunia literasi ditunjukkan dengan semangatnya dalam menjaga karya-karya hadrastussyaikh. Gus Zaki menghendaki untuk meneruskan keinginan Gus Ishom untuk mengumpulkan naskah-naskah tulisan Hadratussyaikh. (5) KH. M. Ishomuddin Hadziq sang Editor kitab Irsyadus Sari karya KH. M. Hasyim Asyari. Kealiman Gus Ishom tak diragukan lagi, karena mendapat pengakuan dari Gus Dur, kiai yang multidimensional. Gus Ishom juga sangat santer dalam membaca pemikiran para tokoh termasuk al-Ghazali, al Syathibi, Hasan Hanafi, al-Jabiri, dan Muhammad Arkoun. Selain menjadi editor kitab hadratussyaikh, Gus Ishom juga memiliki karangan kitab sendiri, yaitu Miftahul Falah, Irsyadul Mu’minin, dan Audhahul Bayan. Selain itu, sosok pendiri NU, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari juga merupakan sosok yang literat. Dalam buku ini naskah yang beliau tulis adalah Irsyadus sari, dan beberapa risalah yang dikumpulkan dan dijilid jadi satu dengan kitab tersebut oleh Gus Ishom.

Gus Dur dalam buku ini diulas dengan teladannya dalam bersikap bijaksana dalam mengelola media. Karena zaman sekarang sudah memasuki era 4.0 maka harus bijak-bijaknya memilah berita. Karakter bangsa harus senantiasa dihidupkan dan ditingkatkan integritasnya. Beberapa informasi yang meledak di media harus diolah dan difilter dengan baik, utamanya untuk tetap menjaga toleransi dan merajut keberagaman.

KH. Zumroni Hasyim memiliki perjuangan besar dalam menjaga persatuan bangsa. Beliau mendirikan sekolah sebagai bentuk penangkalan gerakan radikalisme. Hal ini beliau lakukan dengan membekali para santri dengan amaliyah-amaliyah NU. Ideologi semacam ini memang harus segera ditampik, salah satunya melalui pendidikan karena pendidikan merupakan tonggak utama pembentuk karakter bangsa.
Setiap kiai pastinya memiliki metode dan cara yang berbeda dalam mendidik dan berdakwah. Di antaranya sosokkiai yang egaliter dan humanis, menerima santri dari beragam latar belakang; mulai dari yang kecanduan narkoba, minum minuman keras, bahkan hingga free sex, yakni KH. Sumanan Hidayat dari Ngronggot. Sumber pengambilan istilah gado-gado dalam judul buku ini diambil dari metode Kiai Manan dalam cara menerima santri dari beragam latar belakang ini, gado-gado.

Kiai-kiai lain memiliki kiprah yang tak kalah besar pula dalam dunia pendidikan maupun sosial. Saya masih dibingungkan dengan istilah ‘kiai’ apakah hanya merujuk pada tokoh laki-laki saja? Namun nyatanya dalam pembahasan buku ini disajikan dua tokoh ulama perempuan yang bernama Nyai. Hj. Djamilah Ma’shum dan Nyai Khoiriyah Hasyim. Kedua tokoh ini sama-sama memperjuangkan kesetaraan gender. Nyai Djamilah selain sebagai pengasuh pesantren juga aktif mengabdi menjadi veteran dan reporter. Tokoh-tokoh ini memberikan ruang publik untuk perempuan di kala itu, menggerakkan aktivitas-aktivitas perempuan untuk memiliki kontribusi yang besar pada masyarakat.

Secara keseluruhan, teladan sikap yang dapat diambil dari beberapa tokoh tersebut adalah pertama, sikap kalem dan sabar namun juga tegas. Kedua, kesederhanaan, berapa banyak harta yang dimiliki harus tetap memiliki jiwa dan hirrah kesederhanaan, menjadi orang setinggi apapun harus tetap andhap asor. Ketiga, memiliki sifat yang humanis, menerima dan mendidik santri dari berbagai latar belakang serta memperlakukan mereka dengan baik. Keempat, bersikap egaliter, toleransi, tenggangrasa, menghargai perbedaan;. Kelima, semangat berjuang dan berdakwah di tengah banyaknya cemoohan dan cibiran.

Kelebihan Buku

Buku ini ditulis dengan gaya cerpenis, menuliskan kisah dengan cara bercerita. Beberapa tokoh yang sempat ditemui penulis disajikan beberapa part ketika terjadi pertemuan di antara keduanya. Bahasa yang digunakan lugas dan mudah dipahami. Selama ini, kita juga jarang menemui dokumentasi-dokumentasi pesantren mengenai sosok penting di dalamnya. Buku ini hadir sebagai motivator bagi para pegiat literasi lain untuk menuliskan biografi para ulama yang memiliki kiprah dan perjuangan besar baik di pesantren maupun masyarakat. Buku ini pun mendapatkan review dari beberapa tokoh, diantaranya Prof. Ngainun Naim, guru besar UIN SATU Tulungagung; Dr. Wasid Mansyur, wakil ketua PW LTNU Jawa Timur; Nur Habib; dan Kiai Abdur Rosid, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Kleben.

Kekurangan Buku

Lingkup kiai yang ditulis dalam buku ini masih terbatas di sekitar daerah Jombang dan Nganjuk, bahkan tokoh yang ditulis mayoritas berasal dari Jombang dan hanya beberapa gelintir dari Nganjuk. Asumsi saya sendiri karena notabene penulis berasal dari Pondok Pesantren Tebuireng yang terletak di Kota Jombang sehingga ulama yang ditulis terbatas pada lingkup daerah tersebut. Karena banyaknya tokoh yang ditulis maka pembahasan di dalamnya tidak mendetil hanya beberapa bagian saja secara global. Selanjutnya minim tokoh perempuan yang diulas dalam buku ini, bahkan nyaris 1; 10.

Index